Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Komisi Baru Berantas Korupsi

Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sangat diperlukan, tapi belum cukup. Perlu orang yang bersih dan mampu membersihkan.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG diadakan undang-undang baru, membentuk alat baru memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi betul sukar diberantas, walau undang-undangnya sering diperbarui dan ditambah. Pemberantasannya sukar, dinilai dari hasil yang tidak terasa ada. Penyebabnya, polisi dan kejaksaan tidak mampu betul, atau tidak betul mau, atau kedua-duanya. Komisi baru ini, disingkat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dirancang untuk mampu dan mau memberantas korupsi. Keampuhan memang banyak ditentukan dari kewenangan. Dalam undang-undang yang baru disetujui DPR pada 29 November laludalam sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPR Akbar TandjungKPK cukup komplet diberi kekuasaan, dan juga keleluasaan. Hanya, pengalaman mengajarkan, soal mampu dan mau itu banyak bergantung pada siapa yang dipercaya menjalankannya. Inilah pembeda yang menentukan. Menurut undang-undang, KPK memang lembaga negara independen, bebas dari kekuasaan mana pun. Tapi anggotanya yang lima orang itu, satu ketua dan empat wakilnya, dipilih dan ditetapkan oleh DPR. Risiko mutu yang dipilih bergantung pada yang memilih, yaitu para wakil partai politik di DPR, tentu tetap ada. Jelek yang membuat, jelek juga produknya; begitu biasanya. DPR belum pernah membuktikan bersih dari kepentingan wakil-wakil partai yang duduk di situ. Ketika memilih hakim agung dan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), DPR masih jauh dari obyektif dalam menilai. Pilihan ditentukan dari kedekatannya dengan calon yang ada. Dari reputasi anggotanya, belum ada tanda-tanda bahwa DPR betul suka korupsi diberantas. KPK sudah harus terbentuk dalam setahun. Kalau kita menitikberatkan pada pilihan personalia, itu bukan mengada-ada. Ketika sistem sudah rusak, yang bisa diandalkan tinggal manusia yang memimpin. Kalau soal kewenangan, sebenarnya KPK tidak terlalu banyak lebihnya dari kejaksaan dan polisi. Jadi, kalau keduanya tak berhasil, bagaimana KPK bisa diharap jika yang dipilih memimpin masih sama saja kemauan dan kemampuannya? Sesungguhnya, ada beberapa kemajuan. Selain independen, KPK berwenang menyelidik, menyidik, dan menuntut. Dengan instansi pemberantasan korupsi lainnya, KPK bisa melakukan koordinasi, dan supervisi. Boleh dikatakan, KPK bisa menjadi polisi dan jaksa sekaligus, atau di atasnya. Aparat penegak hukum yang menyelewengpolisi, jaksa, hakimjuga bisa diperiksa KPK. Perkara yang diurus terlalu lamban oleh polisi atau jaksa boleh diambil alih. KPK juga berhak minta peninjauan kembali perkara yang sudah diputus dengan kekuatan hukum tetap. KPK bisa minta agar seorang tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya. Dengan undang-undang ini, setiap hadiah yang diterima pejabat harus didaftar dan dilaporkan. KPK lalu menentukan apakah boleh disimpan atau harus diserahkan kepada negara. Kekayaan pejabat juga harus dilaporkan. KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Ada sedikit masalah karena peleburan itu dituduh bermotif subyektif, tidak senang kepada KPKPN yang membongkar ketidakberesan laporan kekayaan beberapa pejabat. Masalah yang utama tetaplah soal memilih anggota KPK. Dalam sidang paripurna DPR, anggota DPR Dwi Ria Latifa dari PDI Perjuangan menyatakan protesnya. Ironis sekali bahwa sidang pengesahan undang-undang yang menyangkut pemberantasan korupsi dipimpin oleh seorang ketua yang dijatuhi pidana penjara karena korupsi, katanya. Akbar Tandjung menebalkan sarafnya, tidak mengindahkan protes moral itu. Ria Latifa walk out, diikuti beberapa rekannya. DPR semacam inilah yang nanti memilih anggota KPK lewat fit and proper test. Padahal langkah Ria Latifa keluar melambangkan bahwa DPR tidak fit and proper, tidak cukup dan layak, untuk mengurus soal pemberantasan korupsi. Ini kekhawatiran kita juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus