Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konglomerat : Antara Samson Dan...

Praktek persekongkolan dagang, penjatahan pangsa dan daerah pasaran di AS pernah dilarang. Justru gelombang merger makin besar. Konglomerasi telah berlangsung di Indonesia.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 1966, Art Buchwald menujumkan perkembangan konglomerasi di negerinya dengan amat canggih. Karena merger yang terus-menerus, kata Buchwald, dalam beberapa tahun di Amerika cuma tertinggal dua perusahaan raksasa. Di barat Sungai Mississippi, berkuasa Samson Securities, di sebelah timurnya, Delilah Co. Tetapi, tak lama kemudian, keduanya kembali ingin bergabung. Mereka mengajukan keinginannya kepada Divisi Antimonopoli Departemen Kehakiman AS. Berhasilkah mereka? Di akhir tulisannya, Buchwald mengutip pengumuman Jaksa Agung. "Saat ini, Samson-Delilah Co. tengah berunding dengan Tuan Presiden di Gedung Putih, untuk membeli negeri Amerika. Departemen Kehakiman, tentu saja, akan menyidiknya, kalau-kalau merger ini bakal melanggar undang-undang antimonopoli kita yang mahakuat itu." Orang Amerika, jelas, paling takut dengan segala bentuk pemusatan kekuatan. Maka, sejak pagi-pagi, mereka mengaturnya dengan ekstraketat. Lantas, melesetkah segala ramalan Art Buchwald? Ternyata, tidak. Undang-undang antimonopoli Amerika pertama lahir pada 1890 (Sherman Act). Praktek persekongkolan dagang, penjatahan pangsa dan daerah pasaran, atau kesepakatan harga di antara pesaing, dilarang -- dan banyak tercegah. Tapi, gelombang merger justru makin besar. Antara tahun 1899 dan 1902, misalnya, rata-rata setahunnya terjadi 531 konsolidasi antarperusahaan, padahal tiga tahun sebelumnya cuma 46 kali. Maka, undang-undang itu terus diperketat. Pada 1914, dilahirkan Clayton Act, yang melarang penguasaan saham yang mengarah pada monopoli. Mulai 1950, lewat Celler-Kefauver Act, larangan itu dipertegas, juga pada penguasaan aset. Tapi, dasar konglomerat, memang sulit diatur. Laju konglomerasi tidak makin berkurang. Sejak 1963, sekitar 65% dari kasus yang ditangani Divisi Antimonopoli Depkeh AS adalah pelanggaran terhadap perangkat antitrust ini. Penguasaan pangsa pasar oleh 500 perusahaan terbesar versi Fortune pun dari waktu ke waktu terus membesar. Makanya, di tahun 1979, Senator Edward Kennedy mengajukan bill baru, untuk mengharamkan segala bentuk merger bagi mereka. Namun, bagaimanakah cara orang Amerika mengukur terjadinya suatu monopoli? Charles E. Mueller, seorang jaksa-ekonom dari Washington -- dengan dasar telaah pada 25 kasus -- mengemukakan suatu indikator yang menarik. Katanya, keadaan akan efektif termonopoli bila empat perusahaan terbesar suatu produk telah menguasai 50% atau lebih pangsa pasar yang tersedia. Oleh para pejabat kantor Divisi Antimonopoli AS, angka ini kemudian dipakai sebagai "indeks persekongkolan" (collusion index). Konon, indeks ini lumayan akurat. Berdasar indeks empat-perusahaan-50% ini, sekitar 40% sektor industri di Amerika, ternyata telah terkonsentrasi. Dan itu tidak saja terjadi pada sektor besar seperti kapal terbang, baja, atau mobil, tapi juga pada industri silet, kertas tisu, bahkan permen karet, dengan rata-rata indeks persekongkolan antara 72% dan 98%. Lantas, apa salahnya? Praktek-praktek monopolistis, bagi orang Amerika, jelas dosa besar. Menurut perhitungan Ralph Nader, aktivis gerakan konsumen Amerika yang tersohor, keadaan seperti itu memaksa konsumen membayar harga yang tidak wajar (involuntary cost) rata-rata sampai 25%, pada kasus-kasus tertentu bahkan mencapai 75%. Logikanya sederhana saja. Kalau di pasar cuma si Akong yang dibolehkan menjual terigu, siapa bisa mengerem keinginannya untuk mengeduk untung seenak udelnya? Dalam bukunya, Corporate Crime, Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager juga menunjukkan bahwa pelanggaran atas antitrust law di AS tidak saja menyebabkan inflasi. Pelanggaran itu juga menyebabkan inefisiensi, menurunkan tingkat penyerapan tenaga kerja, dan menghambat inovasi -- kebalikan dari segala impian semula. Di Indonesia, sejauh manakah konglomerasi telah berlangsung saat ini? Dan, apakah hal itu telah mengarah pada konsentrasi pasar yang, menurut konstitusi kita, jelas-jelas diharamkan? Seberapa besarkah involuntary cost yang harus dibayar oleh konsumen kita? Siapa peduli dan sudi menghitung angka-angka seperti ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus