AKHIRNYA perjalanan Abdul Rahman, yang mengaku sebagai pemegang amanah Bung Karno, berakhir di ruang tahanan Kepolisian Wilayah Bandung, dua pekan lalu. Ia, bersama Yayasan Misi Islam Ahlus Sunnah Waljamaah (Yamisa) yang dipimpinnya, selama ini sesumbar menguasai dan akan membagikan harta peninggalan presiden pertama Indonesia sebesar Rp 800 triliun dan 7.000 ton emas. Setelah 14 jam diperiksa polisi, ia pun masuk bui.
Polisi baru bisa menemukan titik terang dugaan keterlibatan Ketua Umum Yamisa itu dalam penipuan dan penggelapan setelah memeriksanya sebagai saksi bawahannya. Sang bawahan, Trisunu Budi Santoso (Wakil Ketua Yamisa korwil Indonesia barat), telah lebih dulu dijadikan tersangka. Dari sinilah kemudian Kepala Satuan Serse Kepolisian Wilayah Kota Bandung, Ajun Komisaris Besar Polisi Masguntur Laupe, dapat menyatakan Abdul Rahman sebagai tersangka.
Kasus ini dianggap polisi sebagai delik aduan. Polisi baru bisa menangkap dan memeriksanya setelah ada pengaduan korbannya.
Adalah Agus Mahmud Salam, Hamdani Brata Suwignja, dan Sumely Nugraha Kusuma yang berinisiatif melaporkan penipuan dan penggelapan Trisunu. Ketiganya merasa dirugikan dengan tindakannya bersama Yamisa. Mereka sendiri sebenarnya telah kehilangan akal sehat. Bayangkan, dengan gampangnya mereka bertiga menyerahkan uang puluhan juta rupiah kepada Trisunu sebagai "persyaratan administratif". Mereka juga dijanjikan menduduki jabatan Ketua Cabang Yamisa dengan gaji fantastis: Rp 500 juta per bulan. Masih ada dana hibah sebesar Rp 2 miliar dan deposito Rp 500 miliar. Apa yang kemudian terjadi? Janji tinggal janji, dan setoran puluhan juta juga "ke laut".
Keterlibatan Abdul Rahman dalam penipuan dan penggelapan baru bisa diketahui setelah polisi yakin ada dana Rp 35 juta yang masuk ke rekening pribadinya.
Memang "sihir" Yamisa begitu mempesona. Bayangkan, lembaga ini mengklaim hampir 75 persen kekayaan dunia—hal yang sungguh tak masuk akal. Dana sebesar Rp 800 triliun dan emas batangan 7.000 ton konon tersimpan di beberapa bank di luar negeri dan dalam negeri. Dana tersebut berasal dari kekayaan sembilan kerajaan di Indonesia di masa lalu, antara lain Majapahit, Singosari, Blambangan, Bali, dan Pajajaran. Ia disimpan dalam bentuk obligasi, surat berharga, emas, intan, dan berlian di luar negeri, seperti di Swiss, Jepang, Cina, dan Amerika Serikat. Surat-surat obligasi dan surat berharganya dikatakan sudah ada di Indonesia.
Konon, dana yang besarnya gila-gilaan tersebut kini dikuasai oleh para sesepuh pemegang amanah. "Pemegang amanah itu ada 152, di antaranya Bung Karno, Saefudin Malik, dan Eyang Ronggolawe," kata Abdul Rahman kepada wartawan di sela-sela pemeriksaannya oleh tim penyidik polisi. Dana tersebut telah ada sejak 1375, tapi dikuasai oleh orang asing. Ia dapat diperjuangkan kembali oleh Indonesia berdasarkan surat wasiat yang dibikin oleh Sukarno pada 1 Desember 1960.
Untuk mencairkannya, dibutuhkan suatu organisasi yang dapat menjamin penyalurannya kepada rakyat Indonesia—ya, Yamisa itu. Pengurus ataupun anggota lembaga inilah yang akan mendapat kucuran dana. Yang tidak mendaftar tidak dikucuri. Para pengurus mulai dari ranting hingga pusat dijanjikan gaji belasan juta, ratusan juta, hingga miliaran rupiah.
Namun, tidak dengan begitu saja. Di sinilah dimulainya akal-akalan mereka. Tiga korban di atas, misalnya. Dengan alasan administrasi, mereka harus menyetor sejumlah uang secara berjenjang ke pengurus pusat, sambil menunggu cairnya dana. Janji terakhir, Mei tahun ini akan cair. Tapi, sama seperti janji-janji sebelumnya, hingga kini sang dana tidak kunjung turun. Kesian deh lu!
Di Manado, Makassar, ataupun Surabaya, polisi belum mengambil tindakan hukum terhadap Yamisa. Itu karena belum ada laporan masyarakat seperti di Bandung. Hanya, di Sulawesi Utara, Gubernur A.J. Sondakh telah menghentikan sementara kegiatan Yamisa karena diimbau oleh para tokoh berbagai agama berkaitan dengan masalah kerukunan.
Abdul Rahman menolak pihaknya telah memungut sejumlah uang dari para pengurus dan anggota. Yang ada hanya penyerahan tiga lembar meterai @ Rp 6.000. Tanggung jawab kehidupan Yamisa berada pada anggotanya sendiri.
Ketika ditanya kapan dana itu akan cair, Rahman masih mampu menjawab dengan penuh keyakinan. "Insya Allah, besok akan cair," kata lelaki yang bergelar Sultan Sepuh Amanah ini. Padahal, ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara karena tindak penipuan dan penggelapan tengah menantinya.
Ardi Bramantyo, Upiek Supriyatun (Bandung), Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini