Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pola pembiayaan partai politik di negeri ini memang tak menyisakan banyak ruang untuk praktik penggalian dana yang bebas korupsi. Romy—begitu politikus yang kerap bergaya milenial ini biasa disapa—hanyalah orang kesekian dari laku rasuah politik di Indonesia.
Penyidik KPK menangkap Romy di sebuah hotel di Surabaya ketika dia menerima setoran dana dari para pejabat daerah Kementerian Agama di sana. Selain menangkap Romy, KPK mencokok Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur yang baru beberapa bulan dilantik. Ada dugaan, Romy biasa mengatur promosi dan penempatan pejabat di lingkungan Kementerian Agama dengan imbalan harga yang cocok.
Modus korupsi Romy kelak bakal terungkap di pengadilan. Namun yang lebih memprihatinkan adalah ketidakmampuan para pemimpin republik ini menarik pelajaran dari sekian banyak kasus korupsi yang menimpa politikus dan ketua umum partai dalam 10 tahun terakhir. Sejak Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq divonis 16 tahun penjara pada 2013, disusul dua tahun kemudian oleh Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dihukum 14 tahun penjara, tak ada perubahan regulasi yang berarti seputar pembiayaan partai politik di Indonesia.
Tak aneh, kasus korupsi politik terus berlanjut. Pada 2016, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali divonis 10 tahun penjara dan tahun lalu Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Jika dianalisis lebih teliti, semua kasus mereka terkait dengan kementerian dan lembaga negara yang dipimpin kader partainya. Modusnya beragam: dari memainkan kuota impor, menggelembungkan anggaran proyek, sampai mengatur pemenang tender. Motif korupsinya serupa: mereka mencari dana untuk membiayai kegiatan politik partai. Pimpinan PPP membantah kabar bahwa rasuah Romy dipakai untuk kepentingan partai.
Rantai rasuah ini harus diputus. Pengalaman di negara demokrasi lain seharusnya bisa ditiru. Di beberapa negara Eropa, pembiayaan partai politik disubsidi negara. Agar anggarannya cukup, pengeluaran partai pun harus dikontrol ketat. Pemasukan dan pengeluaran partai sama-sama diatur. Selain itu, sumbangan atau donasi politik dibatasi agar keuangan partai tidak bergantung pada segelintir orang atau perusahaan saja.
Aspek pengawasan dana politik juga perlu dibenahi. Saat ini, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Badan Pemeriksa Keuangan sama-sama punya kewenangan meminta laporan keuangan partai politik. Namun ketiganya tidak melakukan fungsi pengawasan secara optimal. Walhasil, tak pernah ada lembaga yang mempertanyakan kejujuran dan kebenaran laporan penggunaan dana kampanye atau laporan keuangan yang disetorkan partai politik.
Di sisi lain, konsistensi dari sistem tata negara kita juga perlu disoroti. Meski di atas kertas Indonesia menerapkan sistem presidensial—kepala pemerintahan memiliki hak penuh dalam memilih anggota kabinet—kenyataannya tidak murni demikian. Pemilihan menteri tidak pernah lepas dari kalkulasi politik partai pendukung. Presiden selalu dipaksa berkompromi untuk memelihara dukungan politiknya.
Akibatnya, kementerian dan lembaga yang dipimpin menteri dari partai politik harus mau menjadi sapi perah untuk menambah pundi-pundi partai. Korupsi sistemis yang terjadi di lembaga pemerintahan kita bukannya hilang, tapi justru makin menjadi-jadi dengan keberadaan politikus partai di pucuk organisasi.
Itulah yang terjadi di Kementerian Agama saat ini. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin—yang notabene kader Partai Persatuan Pembangunan—boleh jadi tahu dan membiarkan praktik jual-beli jabatan yang dirancang Romy. Biarkan KPK mengusut keterlibatan Lukman dalam kasus ini. Namun, selama penyidikan berlangsung, Presiden Joko Widodo bisa menonaktifkan Lukman dari jabatannya.
Perbaikan mendasar sistem pembiayaan partai politik dan penerapan sistem presidensial yang konsisten harus dilakukan jika kita ingin mengakhiri jebakan berulang korupsi politik. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat bisa mulai mempersiapkan perangkat perundang-undangan untuk memastikan politik Indonesia ke depan bersih dari korupsi. Tanpa itu, kita tinggal menunggu siapa ketua umum partai berikutnya yang bakal dicokok penyidik KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo