Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Disinformasi Zaman Dulu

KABAR burung dalam politik menjelang pemilihan umum berusia panjang.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo Doeloe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita tak jelas untuk mengacaukan pemahaman publik terjadi pada 1970-an. Majalah Tempo mengupas sebuah peristiwa soal itu lewat artikel berjudul “Si Gelap Asal Subang” dalam edisi 10 Desember 1977. Ulah para penyebar kabar bohong itu terkuak lewat peradilan di Nusa Tenggara Barat.

Mulanya selebaran gelap dari Subang, Jawa Barat. Lalu, setelah diperbanyak di berbagai tempat, meloncat dari tangan ke tangan, selebaran itu ditemukan oleh yang berwajib di Nusa Tenggara Barat. Baik di Subang maupun di Jakarta selama ini tak terdengar kabar ada orang yang kena urusan gara-gara memperbanyak atau menyebarluaskannya. Tapi justru Pengadilan Negeri Mataram sedang bekerja mengurus selebaran eks Subang tadi.

Terdakwanya sepuluh orang, terdiri atas guru, mahasiswa Universitas Mataram, karyawan Bank Rakyat Indonesia unit Desa Sakra di Lombok Timur, dan pegawai di kantor Gubernur NTB. Mereka dituduh menyimpan dan mengedarkan selebaran tentang isi pidato Mayor Jenderal Amir Murtono, Ketua Umum Golkar, yang dikutip dari acara musyawarah Angkatan Muda Siliwangi (AMS) di Subang, 8 April 1976.

Bukan pidatonya yang salah. Tapi, begitu menurut jaksa, yang tercantum dalam selebaran itu bohong belaka. “Setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kebenaran.” Dan itu, katanya lagi, bertujuan hanya untuk “menerbitkan keonaran di kalangan rakyat yang sedang siap menghadapi pemilihan umum”. “Orang Islam Penghambat Pembangunan, Karena Itu Kikis Habis Golongan Islam”, demikian judul selebaran itu.

Isinya “cuplikan” Amir berjudul “Golkar dan Pemilu 1977”, “Golkar dan Pembangunan”, “Golkar dan Ketahanan Nasional”, serta “Golkar dan Kewajibannya”. Menurut selebaran itu, Amir bilang: “Pembangunan tidak akan berhasil selama orang Islam dibiarkan dan diberi kesempatan melaksanakan agamanya, terutama yang bercokol di pemerintahan.”

Dan mengenai ketahanan nasional, jenderal ini menyatakan: “Sebenarnya yang berbahaya di Indonesia adalah golongan Islam. Sebab mereka selalu berusaha mengubah dan mengganti Pancasila dengan Islam.” Karena itu, begitu bunyi kutipan selanjutnya: “Konsep Golkar adalah mengikis habis golongan Islam baik sipil maupun militer, terutama ulama, mubaligh, yang membangkang terhadap Golkar, selambat-lambatnya tiga tahun sesudah Pemilu 1977.…”

Tuduhan jaksa barangkali tak begitu repot dibuktikan. Pertengahan tahun lalu, M. Tahir Wahab, tersangka berlatar pegawai negeri, tiba kembali di Mataram setelah mengikuti muktamar Pelajar Islam Indonesia di Jakarta. Oleh-olehnya, antara lain, sebuah selebaran yang diterimanya dari seorang rekannya di Jawa Barat. Oleh Tahir, selebaran itu diberikan kepada temannya, Lalu Muzhar. Dari Muzhar pindah tangan ke Nurdin, pegawai kantor Gubernur NTB.

Dari Nurdin, selebaran itu loncat lagi ke tangan Lukmanul Hakim dan dari Lukmanul-lah Poniman tahu soal selebaran itu. Padahal Poniman juga tak mengerti apa-apa tentang AMS. Juga dari Lukmanul Hakim selebaran itu pindah ke tangan Maulangi, selama beberapa bulan. Lalu dikembalikan lagi. Selebaran itu berloncatan sekitar bulan Juli. Baru bulan April tahun berikutnya Lukmanul membawanya ke kantor.

Dari tangan yang terakhir itulah selebaran jatuh ke tangan Drs Akwan, Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Lombok Tengah. Nah, dari Pak Sekwilda ini selebaran mulai jatuh ke tangan yang berwajib. Begitu Bupati dilapori, segera pula urusan dilanjutkan ke Gubernur NTB, akhirnya ke kepolisian. Sementara itu, Poniman, yang ikut menyalin selebaran, menyalurkannya ke tangan Yasin, Sahlan, dan Muhamad--masing-masing mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Mataram.

Yasin “membocorkan rahasia” teman-temannya ke telinga polisi. Tak sulit mengusutnya. Hanya, mungkin yang agak merepotkan: bagaimana mengetahui bahwa selebaran itu tak sesuai dengan isi pidato asli Amir Murtono di Subang menjelang pemilu? Barangkali jaksa perlu menghadapkan Amir Murtono sendiri sebagai saksi setidaknya memutarkan kembali rekaman pidato yang sebenarnya sebagai bukti kebohongan isi selebaran.

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  10 Desember 1977. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201302260119/aduh-pecah-lagi-pdi-partai-demokrasi-indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus