Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Desain penyelesaian sawit di kawasan hutan sarat korupsi.
Aturan dan pembentukan satuan tugas untuk menyelesaikannya menyediakan celah korupsi.
Pengusutan dugaan korupsi tata kelola sawit menjadi bukti skema UU Cipta Kerja cacat prosedur.
KEJAKSAAN Agung menetapkan pejabat eselon I dan II Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai tersangka korupsi tata kelola sawit di kawasan hutan. Pengusutan oleh kejaksaan ini diduga sudah lama sejak Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Desain dan pelaksanaan menyelesaikan perkebunan sawit serta pelbagai jenis usaha ilegal di kawasan hutan menyediakan banyak celah korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UU Cipta Kerja menyisipkan dua pasal tambahan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ruang lingkup perusakan hutan adalah pelbagai usaha ilegal di kawasan hutan, seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Pasal 110A dan Pasal 110B mengatur hukuman bagi perusahaan dan perambah kawasan hutan perorangan yang menanam sawit tanpa izin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 110A berlaku untuk industri yang mendapat izin pemerintah daerah membuka hutan guna perkebunan sawit. Hukumannya denda administratif setelah melengkapi perizinan selama tiga tahun sejak Undang-Undang Cipta Kerja berlaku. Setelah membayar denda dan melengkapi izin, mereka menjadi sah memiliki konsesi sawit. Pasal ini adalah pasal pemutihan sawit industri di kawasan hutan.
Adapun Pasal 110B mengatur hukuman bagi pemilik kebun sawit perorangan. Sanksi yang terdapat dalam pasal ini adalah penghentian usaha dengan denda Rp 5-15 juta per hektare dari keuntungan per tahun. Setelah itu, pemerintah akan mengubah perkebunan sawit menjadi perhutanan sosial dengan tiap orang menggarap maksimal 5 hektare. Dengan menggunakan skema jangka benah, petani wajib menerapkan agroforestri sawit dengan tanaman kehutanan. Secara teori, setelah 25 tahun, kebun sawit itu akan kembali menjadi hutan.
Isi dua pasal ini saja jelas tidak adil. Sawit industri akan diputihkan, sementara sawit masyarakat kembali ke negara. Menurut KLHK, perkebunan sawit masyarakat dan industri di kawasan hutan mencapai 3,4 juta hektare. Mereka membuka hutan untuk dijadikan perkebunan sawit sejak era otonomi daerah pada 2001. Para kepala daerah mengobral kawasan hutan dengan memberikan izin membukanya kepada pengusaha. Pengusaha langsung membuka hutan tanpa mengajukan permohonan izin pelepasan kawasan hutan dari KLHK.
Anehnya, pemerintah menyebut pembukaan hutan untuk perkebunan sawit atau pertambangan sebagai “ketelanjuran”, seolah-olah perbuatan ilegal itu sesuatu yang tak disengaja. Kini, ketika deforestasi menjadi isu penting sebagai tuntutan pasar, sawit Indonesia masuk daftar hitam karena berasal dari lahan ilegal. Undang-Undang Cipta Kerja hendak menyelesaikan masalah itu dengan menciptakan dua pasal tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lalu membentuk Satuan Tugas Pengawasan dan Pengendalian Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja yang dipimpin Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono. Tugas Satgas adalah mengurus deklarasi pengusaha dan menghitung denda yang harus mereka bayar. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah menghitung potensi penerimaan negara dari denda itu mencapai Rp 50 triliun.
Keberadaan satgas itu memunculkan celah korupsi lain. Selain kerja mereka tak transparan dan memungkinkan terjadinya negosiasi denda, tim ini sarat konflik kepentingan. Munculnya perkebunan sawit atau pertambangan di kawasan hutan karena korupsi dan lemahnya penegakan hukum di Kementerian Kehutanan. Jika kini mereka hendak bersih-bersih perbuatannya di masa lalu, sama saja mengepel lantai kotor dengan kain kotor. Satgas ini hanya membuka dan memperpanjang korupsi.
Pengusutan jaksa atas tata kelola sawit ini mesti menjadi alarm agar pemerintah meninjau ulang cara menyelesaikan persoalan sawit di kawasan hutan yang keliru. Pemerintah mesti merevisi dua pasal itu karena tak adil dan sarat korupsi. Penyelesaian persoalan sawit di kawasan hutan semestinya jelas: tak cukup hanya mengenakan denda, tapi juga menegakkan hukum pidana terhadap pengusaha. Mereka harus memulihkan hutan yang hilang seluas area yang mereka buka, lalu menjalani hukuman penjara.
Adapun bagi usaha sawit perorangan, jangka benah dan perhutanan sosial merupakan cara yang tepat karena lambat laun perkebunan sawit akan kembali menjadi hutan. Dengan begitu, deforestasi 3,4 juta hektare akan kembali pulih. Produk sawit Indonesia di pasar internasional, yang kini lahannya mencapai 17,3 juta hektare menurut Badan Informasi dan Geospasial, tak selalu dicurigai berkaitan dengan deforestasi. Tuduhan ini menambah beban biaya bagi pengusaha karena harus mendeklarasikan legalitasnya setiap kali hendak menjual sawit mereka.
Tanpa merevisi dua pasal itu, keinginan pemerintah mendapat untung penerimaan negara dari denda akan berakhir buntung. Petugas yang mengurusnya akan main mata dengan pengusaha yang terbuai melegalkan perkebunan sawit mereka. Bagi pengusaha, mereka akan membayar berapa pun untuk mengganti investasi sawit yang sudah mereka keluarkan demi mendapatkan pengakuan legalitas negara.
Penetapan pejabat eselon I dan II KLHK sebagai tersangka korupsi tata kelola sawit di kawasan hutan menjadi bukti skema omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja melahirkan korupsi baru. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo