Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roby Arya Brata
TERPILIHNYA Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru menuai kontroversi tajam. Namun, kini nasi sudah menjadi bubur. Kita hanya bisa berprasangka baik dan mendukungnya. Melakukan tekanan publik yang kuat dan keras adalah kewajiban kita jika kemudian pimpinan KPK bermain-main dengan agenda pemberantasan korupsi, agenda yang sudah menjadi amanat reformasi.
Tugas berat menghadang di depan mereka. Salah satu tugas sulit tapi penting dalam agenda pemberantasan korupsi adalah menyelesaikan kasus-kasus korupsi politik. Sebab, korupsi politik, seperti aliran dana politik ilegal dalam skandal Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Bank Indonesia, secara sistematis bisa melumpuhkan gerakan antikorupsi dan proses demokratisasi. Mampukah mereka?
Pemberantasan korupsi di negara-negara yang mentransformasi sistem politiknya dari sistem otoriter ke demokrasi sarat dengan korupsi politik. Kekuatan politik korup pro-status quo akan menggunakan segala strategi, termasuk politik uang, untuk mempertahankan kepentingan politik dan ekonomi korupnya. Di negara transisi demokrasi seperti negara-negara bekas Uni Soviet dan Amerika Latin, korupsi politik menjadi faktor penghambat yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi dan proses demokratisasi.
Korupsi politik menggunakan pengaruh dan akses politik ilegal untuk mencapai tujuan politik. Namun, karena pemahaman kita tentang politik dan korupsi sulit dibatasi dengan tegas, tidak mudah mendefinisikan ruang lingkup perilaku politik korup (Philp, 1997). Korupsi politik sering kali sulit dipisahkan dari proses politik.
Lalu, apakah dugaan aliran dana nonbujeter DKP ke partai politik dan tim sukses calon presiden pada pemilu 2004 serta uang pelicin (grease money) dari BI ke beberapa anggota DPR merupakan korupsi politik? Kalau dugaan itu benar, korupsi ini bisa dikategorikan korupsi politik, karena mereka menggunakan akses politik ilegal dan politik uang untuk mencapai kepentingan politik mereka.
Dalam politik, kekuatan-kekuatan politik menggunakan strategi, pengaruh, dan akses politik untuk mencapai kekuasaan politik. Di negara-negara dengan rezim otoriter seperti Nigeria, Peru, dan Indonesia pada masa Orde Baru, korupsi justru digunakan sebagai strategi politik yang efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Rezim tersebut menggunakan korupsi untuk membangun patronase dan loyalitas politik. Penguasa otoriter memanfaatkan isu korupsi untuk melumpuhkan lawan-lawan politiknya.
Ironisnya, dalam negara transisi demokrasi seperti Indonesia, bahkan di negara maju dengan sistem demokrasi pluralistik seperti Italia, politik korupsi pun bisa digunakan untuk mencapai tujuan politik. Dalam transisi demokrasi, proses politik rentan terhadap distorsi politik korup. Dalam keadaan ini, dengan menggunakan isu korupsi, pemerintah korup yang berkuasa bisa memanipulasi proses demokrasi dan hukum untuk melindungi kepentingan politik dan ekonominya.
Sebaliknya, oposisi dan kekuatan politik yang korup, baik yang formal maupun informal, dapat mengeksploitasi isu korupsi untuk menjatuhkan pemerintahan reformasi. Di antara strategi mereka adalah dengan membangun struktur dan kebijakan politik yang korup melalui korupsi kebijakan, seperti dalam skandal DKP dan BI.
Dengan cara itu mereka mendelegitimasi gerakan antikorupsi dan proses pemerintahan. Akibatnya, pemerintahan reformasi yang sah bisa jatuh seperti yang terjadi di Thailand. Apabila tidak dikelola dengan hati-hati, potensi delegitimasi ini bisa terjadi dalam skandal DKP dan BI. Para koruptor dan oposisi politik korup akan memanfaatkan isu dana ”haram” tersebut untuk mendelegitimasi gerakan antikorupsi.
Namun, jika kemudian proses hukum membuktikan kebenaran dugaan diterimanya dana ilegal tersebut oleh tim sukses pemilihan presiden SBY-JK, maka kita dihadapkan pada pilihan politik: berpihak pada kedaulatan hukum atau politik?
Pilihan yang sulit karena, jika proses hukum terhadap SBY/JK dilakukan sekarang, apalagi sampai terjadi impeachment, sangat mungkin kita akan kembali mengalami krisis politik dan ekonomi yang semakin menyengsarakan rakyat. Karena itu, agar pemerintahan efektif, UUD 1945 perlu diamendemen, sehingga presiden tidak dapat dituntut secara hukum dan dijatuhkan pada masa jabatannya.
Di sinilah pimpinan KPK yang baru harus dapat menjaga keseimbangan antara pemberantasan korupsi dan pembentukan pemerintahan yang efektif dalam grand strategy-nya. Pemberantasan korupsi itu sendiri bukan tujuan, melainkan cara untuk mencapai pemerintahan yang efektif, efisien, dan akuntabel (good governance). Yang terjadi sekarang, pemberantasan korupsi justru membuat pemerintahan kurang efektif. Pejabat, misalnya, takut membuat keputusan strategis yang penting bagi masyarakat.
Namun, proses hukum terhadap presiden harus dilakukan setelah dia tidak menjabat. Mekanisme konstitusional ini, misalnya, diatur dalam konstitusi Prancis. Bagaimanapun, prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan kedaulatan hukum (rule of law) harus dihormati, karena sumber penyebab kesengsaraan rakyat dan ketidakberdayaan kita sebagai bangsa selama ini adalah disubordinasikannya kedaulatan hukum di bawah kedaulatan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo