Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Rather fail with honor than succeed by fraud.”
KALIMAT bijak Sophocles itu pasti tak pernah terlintas di benak siapa pun di balik Vista Bella Pratama. Empat tahun lalu, perusahaan antah berantah itu—karena tak jelas di mana alamatnya—berhasil membeli aset kredit PT Timor Putra Nasional dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bermodal dana Rp 512 miliar, Vista menguasai hak tagih Timor senilai Rp 4,6 triliun.
Vista, di atas kertas, jelas bisa menangguk untung dari transaksi tersebut. Bila dia mampu menagih 50 persen saja dari kredit itu, labanya sudah empat kali lipat dari modal yang dikeluarkan. Vista menjadi potret keberhasilan perusahaan yang membeli aset dari BPPN. Semua kegemilangan seakan sudah dalam genggaman, sampai kemudian ”bau busuk” yang selama ini ditutupi akhirnya tercium.
Bukan cuma tagihan Timor yang menjadi incaran Vista. Perusahaan itu ingin menguasai harta karun lain: deposito Timor di Bank Mandiri Rp 1,3 triliun. Simpanan itu merupakan duit hasil penjualan mobil Timor yang dibeslah negara. Pasalnya, Timor menunggak pembayaran pajak dan bea masuk mobil, seiring dengan dicabutnya fasilitas bebas bea yang dinikmati perusahaan milik Tommy Soeharto itu.
Mengapa Vista bisa langsung mengetahui keberadaan deposito tersebut? Semula soal ini masih berselimut misteri. Yang jelas, begitu mengendalikan Timor, Vista segera kasak-kusuk untuk menguasai harta karun itu. Tahun lalu, lewat gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Vista akhirnya diputus berhak menguasai deposito. Pemerintah tak tinggal diam dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tiga pekan lalu, keluar putusan bahwa banding diterima. Deposito tetap dibekukan dan dikuasai negara.
Kemudian datang kabar mengejutkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Vista disebut melakukan pelanggaran ketika membeli Timor. KPK menemukan ada aliran dana dari Humpuss—perusahaan induk yang juga milik putra bungsu bekas presiden Soeharto itu—ke Vista. Jadi, Vista mempunyai hubungan, bahkan besar kemungkinan merupakan kaki tangan Humpuss untuk menguasai kembali asetnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut modus itu sebagai fronting. Istilah ini berasal dari dunia asuransi di negara maju. Kejahatan kerah putih ini biasanya dilakukan seorang pemuda ketika pertama kali memiliki mobil. Dia mendaftarkan asuransi mobil atas nama orang tuanya sebagai pengemudi pertama. Modus ini dilakukan untuk menghemat biaya premi asuransi. Soalnya, orang tua dianggap memiliki risiko lebih rendah dalam mengalami kecelakaan ketimbang anak muda.
Bila Vista sekadar fronting bagi Humpuss, menjadi jelas mengapa dulu dia segera tahu ada deposito Timor di Bank Mandiri. Sebab, kendati aset Timor diserahkan ke BPPN, sehari-hari pengelolaan perusahaan tetap berada di tangan manajemen lama yang notabene adalah orang-orang Humpuss.
Fronting jelas pelanggaran berat. Dalam kontrak penjualan aset kredit BPPN, disebutkan bahwa bila investor ternyata pihak yang terafiliasi dengan debitor, penjualan dibatalkan. Bukan cuma itu. Investor juga harus melunasi 100 persen utangnya kepada pemerintah, dan pembayaran yang telah diterima tak dapat ditarik. Sebab itulah, langkah KPK, yang telah meminta agar transaksi ini dibatalkan, perlu didukung.
Bila kontrak bisnis merupakan sesuatu yang sakral, pemerintah, yang dalam kasus ini termasuk pihak yang terkait, mestinya harus bersungguh-sungguh menjaga kesuciannya. Juga, siapa dalang di balik Vista Bella harus ditindak. Hal itu bisa dilakukan dengan mengejar utang Grup Humpuss senilai Rp 4,6 triliun. Bila perlu, menyita semua aset kelompok bisnis itu di bawah kendali negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo