Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemburu Koruptor Pilihan DPR

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSAH rasanya bagi kami untuk hakulyakin bahwa terpilihnya pengurus baru Komisi Pemberantasan Korupsi—sebut saja KPK—jauh dari unsur sandiwara. Aroma amis dan teknik ”goreng-menggoreng” kandidat yang memang sudah diplot jauh hari terasa menyengat. Hal itu ditandai dengan lobi-lobi intensif para aktor politik parlemen, khususnya di Komisi Hukum, dengan ”para pihak yang berkepentingan”, di hotel-hotel mewah.

Kami maklum kalau banyak yang menduga bahwa ajang fit and proper test hanyalah formalitas, karena semua sudah ditentukan sejak awal. Sejumlah kolega majalah ini yang getol mengamati proses pemilihan itu, termasuk Indonesia Corruption Watch, mengaku tak kaget begitu mendapati komposisi tokoh yang terpilih ternyata sama dengan dugaan mereka. Investigasi rekam jejak para kandidat yang digembar-gemborkan bakal dilakukan oleh Komisi III ternyata hanya sebatas pemanis mulut.

Pilihan lima nama itu pun tampaknya bukan ditentukan berdasarkan patokan integritas dan kompetensi individu, melainkan lebih dilihat dari aspek tawar-menawar politik dari sang calon. Di luar proses yang formal di gedung parlemen, telah terjadi kompromi dan kesepakatan. Hal ini tentunya amat disesalkan. Apalagi kalau mengingat tugas KPK ke depan yang begitu berat: menangani kasus-kasus korupsi kakap dengan tingkat kesulitan tinggi yang selama ini susah diselesaikan polisi dan kejaksaan—lantaran dua lembaga ini terbentur ”hambatan politis”.

Dengan begitu, komisi ini jelas memerlukan pemimpin dengan kualitas dan integritas yang tak bisa ditawar-tawar. Ia haruslah figur yang bersih, berani tanpa kompromi, berpengalaman, dan cergas. Sayangnya, banyak pihak yang meragukan Antasari Azhar, Ketua KPK yang baru terpilih, masuk kategori ideal tadi. Ia masih sarat dengan dugaan tak sedap akan kinerja dan kredibilitasnya di masa lalu.

Rekam jejak Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum ini menunjukkan bahwa dia tak alergi terhadap hadiah. Ia pernah dinilai gagal dalam menangani kasus pelarian Tommy Soeharto. Kami punya pengalaman buruk yang lain. September lalu, setelah diwawancarai, ia menawari wartawan kami lembaran dolar Amerika yang disebutnya sebagai ”uang terima kasih”—yang tentu saja kami tolak.

Prestasi Antasari dalam menangani kasus korupsi kakap juga tidak terdengar. Padahal pengalaman itu amat menentukan dalam menguak kejahatan ini, karena pengungkapan kasus kejahatan kerah putih kerap memerlukan terobosan hukum. Contoh yang gampang diingat adalah ketika KPK memakai teknik sting investigation, di antaranya berupa penyadapan, yang menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum.

Kandidat Ketua KPK dengan kualifikasi seperti itu bukannya nihil. Ada Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK sekarang, yang malah disisihkan. Padahal dia bersih, seperti terbukti dalam hasil uji kelayakan yang dilakukan DPR. Berharta Rp 387 juta, kita patut percaya, selama lima tahun menjabat sebagai wakil ketua, mantan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ini kebal sogok. Amien juga ahli audit forensik yang sangat dibutuhkan komisi ini untuk menangani kasus korupsi yang ditransaksikan melalui sistem keuangan dan perbankan.

Parlemen tampaknya berkepentingan menggusur Amien. Wajar kalau ada yang menduga Dewan keder bahwa Amien akan mengusut kasus korupsi mereka seperti yang telah ia lakukan selama ini. Bagi partai-partai besar, Amien adalah ”pendosa besar”. Ia memenjarakan kader dan kroni partai yang menjadi pejabat korup di masa lalu. Sebutlah, misalnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Theo F. Toemion, Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Antasari akhirnya tak terbendung. Memang belum ada bukti bahwa dia tak mumpuni dalam memimpin superbodi ini. Ia perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Ada sejumlah kasus dugaan korupsi yang bisa segera digarap. Misalnya kasus dugaan suap kepada sejumlah anggota parlemen oleh Bank Indonesia. Pengusutan kasus ini penting untuk menunjukkan bahwa ia dan para pemimpin KPK lainnya tidak mengenal politik balas budi.

KPK juga harus mengusut kasus-kasus korupsi di kejaksaan dan kepolisian. Ini karena, seperti ditunjukkan hasil survei terbaru Transparansi Internasional Indonesia, masyarakat menilai institusi kepolisian merupakan lembaga paling korup di Indonesia, disusul lembaga peradilan (hukum), parlemen, dan partai politik. Lingkup pengadilan seharusnya juga menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim

Komisi ini mestinya juga mengutamakan pemberantasan di sektor penegak hukum itu. Jangan lantas terjebak menangani kasus-kasus yang sederajat dengan yang ditangani polisi dan kejaksaan. Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Karena itulah majalah ini mengimbau para penggiat antikorupsi, publik, dan media massa agar memperketat pengawasan terhadap kinerja komisi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus