SAYA punya teman yang seperti teman Anda: ia hidup di kota ini, mencari nafkah di kota ini, dan ia memaki kota ini. Dengan bersemangat. Pada suatu malam saya bertemu dengannya di luar sebuah restoran di Pecenongan. Ia tampak kenyang, tapi bersungut-sungut. "Jakarta," semburnya, "ini rantau tanpa induk semang." Lalu dengan kalem ia pergi ke pojok yang agak gelap sebentar, merapat ke sebuah tembok jalan, membuka resliting celananya, kencing. Ketika ia kembali, dipegangnya pundak saya. "Ingat," katanya, seraya mendekatkan kumisnya yang berkilat ke muka saya, "kita orang asing di sini. Kita pesinggah. Kita perdagangkan ke kota Ini segalanya: barang, badan, juga budi pekerti, lalu kita kepingin pulang. Ia pun pulang - ke rumahnya di Matraman. Bagi orang seperti dia (dan mungkin juga saya). "Pulang" memang mengandung dua arti. Orang itu balik ke rumah yang ia diami di Jakarta, atau ia naik sepur dan kembali ke udik, seperti yang dilakukan ratusan ribu manusia di sekitar Lebaran. Bagaimana ia bisa merasa diri sebagai "orang Jakarta"? Bagaimana ia bisa merasa sayang akan taman-taman kota Ini, pepohonannya, kaki limanya, bangunan-bangunan, bahkan pengkolan-pengkolannya? Saya tidak tahu. Baginya Jakarta seperti kehilangan suatu simpul, juga lambang. bersama yang hidup - simpul bagi orang yang di Menteng ataupun di Mester, di Kota ataupun di Kampung Melayu. Jakarta menyajikan banyak hal, tapi adakah sesuatu yang membikin dia unik, berharga untuk dipertahankan, diteruskan? Teman saya itu (yang mungkin seperti teman Anda juga) menggeleng, "Tidak ada." Tapi tiap pagi ia terus saja menggali, mencari sejumlah suap nasi di kota ini. Ia memang jenis orang yang - seperti kita juga - menyimpan kepusingan seorang yang belum berlabuh: seseorang yang tak cukup mencintai tempat asal, tapi juga gagal menambatkan hati ke tempatnya yang baru. Jakarta toh hanya menadahi kita, tak membentuk. Sebaliknya, kita cuma mengakomodasikan tuntutan-tuntutannya, tapi tak mengasimilasikan diri. Ada seorang ahli yang mengatakan, di kota seperti ini kita tak hanya menyaksikan proses urbanisasi. Kita juga menghadapi proses "ruralisasi": suatu arus manusia dan cara hidup yang masuk ke dalam kota, tapi malah membikin kota itu seperti udik - dengan jumlah kelahiran dan kematian bayinya, dengan takhayul dan ketidakbebasannya. Tapi apa daya sebuah kota di Dunia Ketiga pada abad ke-20? Benteng gaya Amsterdam yang didirikan Jan Pieterzoon Coen telah kalah. Dan ia bukan dikalahkan oleh pasukan Mataram. Ia kalah oleh sesuatu yang lain, yang lebih kuat: ia terdesak oleh kenyataan, bahwa sebuah kota di Indonesia tak bisa mandiri. Ia dikelilingi, dan akhirnya dikelola, oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di sekitarnya. Ia tak bisa jadi arena yang punya ciri dan semangat yang khas - suatu watak yang dalam sejarah, khususnya dii Eropa, telah menyebabkan kota jadi sumber kebebasan, penggerak kemajuan. Tapi Eropa memang lain. Di sana kota-kota hadir dan kukuh sebelum negara teritorial tumbuh dan jadi. Di dalam lingkungan yang kurang lebih eksklusif itu, orang-orang kota mengatur hidup mereka sendiri. Di situ mereka bebas dari jangkauan penguasa feodal, yang hidup di kastil-kastil nun jauh di pedalaman. Bahkan para petani, yang sempat lari dari kehidupan setengah budak di ladang-ladang, bisa jadi orang merdeka begitu ia melintasi gerbang kota dan tercatat jadi warga. Kisah kota memang bisa bercerita banyak hal. "Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena hasrat dan ketakutan," kata tokoh Marco Polo kepada Kublai Khan dalam salah satu kisah ajaib Italo Calvino. Saya lalu ingat teman saya kembali: hasratnya mungkin hasrat yang lain, ketakutannya mungkin ketakutan lain, sehingga ia tak merasa ikut menjadikan Jakarta. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini