Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kuning

24 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PURBASANGKA tak gampang mati dengan sejarah. Ada sebuah kata, ada sebuah warna, yang di abad ke-19 diperkenalkan di Eropa sebagai sesuatu yang menakutkan: "kuning".

Pada 1853, Arthur de Gobineau menerbitkan bukunya setebal 1.400 halaman, Essai sur l'inégalité des races humaines, sebuah risalah yang hendak membuktikan bahwa manusia tidak diciptakan setara. Akar rasial menentukan mutunya. Ada tiga ras yang menurut Gobineau membentuk umat manusia dan peradabannya: putih, kuning, dan hitam. Di antara mereka, hanya ras putih yang memegang monopoli kecantikan, kecerdasan, dan kekuatan. Sejarah, tulis Gobineau, bermula "hanya dari kontak dengan ras putih".

Tapi sejarah tak selamanya berarti kemajuan. Gobineau seseorang yang memandang masa depan dengan masygul: peradaban akan runtuh. Percampuran ras, ketika si putih tak lagi murni, akan menenggelamkan semuanya. Terutama ketika si kuning masuk.

Ras kuning, menurut Gobineau, adalah kebalikan dari ras hitam. Energi bangsa ini kecil. Ia cenderung bersikap apatis. Hasratnya lemah, kekuatan kemauannya tak menyebabkan tindak kekerasan, hanya menyebabkannya gigih. Si kuning mencintai manfaat, menyukai bisnis, dan menghormati undang-undang. Sifat-sifat itu menyebabkannya lebih unggul ketimbang "negro", tapi tetap lebih rendah dibandingkan dengan ras putih. Meski demikian, ada yang menakutkan dari dirinya. Gobineau menulis Amadis (1881). Dalam sajak epik ini digambarkan bagaimana peradaban Eropa hancur oleh bangsa Cina.

Gobineau bukan seorang pakar biologi atau genetika; sastrawan ini juga penulis buku perjalanan (ia seorang diplomat) dan penulis karya nonfiksi yang terus-menerus menganggap demokrasi dan kesamarataan sesuatu yang buruk. Bisa dimengerti: ia keturunan aristokrat Prancis yang tersingkirkan karena Revolusi. Ia mencoba menegaskan bahwa aristokrasi itu sebuah takdir: kaum bangsawan adalah keturunan satu bagian ras putih yang istimewa, yakni bangsa "Arya", jenis manusia yang punya sejarah panjang.

"Arya" hanya sebuah mithos. Tapi itulah yang kemudian dikumandangkan Hitler ketika ia ingin mengusir ras lain dari Eropa.

Hitler, tentu saja, wujud ekstrem rasialisme Gobineau. Padanya, purbasangka dan kebencian kepada ras lain, terutama Yahudi, bergabung dengan kehendak mendesain sebuah tatanan; ia menyebutnya Neuordnung, "Orde Baru". Ia yang pernah ingin jadi seorang arsitek punya keyakinan bahwa sebuah tata yang sempurna perlu dibangun dari unsur-unsur yang homogen.

Keyakinan ini mirip dengan gagasan Gesamtkunstwerk, "karya seni yang bersatu padu", yang dicita-citakan komponis Richard Wagner, seorang teman Gobineau. Dalam kesatupaduan itu apa yang tak pas, atau dianggap mengganggu, harus disingkirkan atau tak diterima. Ketika perspektif ini masuk ke dunia politik, sebuah struktur dimulai dengan diskriminasi. Ada yang masuk ke ruang yang "sah", ada yang di luar.

Ruang itulah yang dibangun Kaisar Wilhelm II—sebuah ruang yang curiga. Pada 1895, Baginda memesan sebuah lukisan yang didesainnya sendiri, dengan judul "Rakyat Eropa, Jagalah Barang-barangmu yang paling kamu sukai!".

Maka pelukis Hermann Knackfuss pun melaksanakannya: di kanvas itu, Malaikat Mikhail dengan pedang terhunus bercahaya berdiri di sebuah tebing, diiringi sejumlah orang—dalam wujud perempuan, lambang Eropa—yang bersenjata dan berperisai. Mereka siap bertempur. Di hadapan mereka, nun di seberang, tampak sebuah patung Buddha yang dilingkari api yang dibawa seekor naga. Tak ayal: itulah gerombolan "Asiatik".

Pada 1900, kartunis Prancis Bianco menggambar pada satu seri kartu pos. Salah satunya: "Bahaya Kuning, Mimpi Buruk Eropa". Tampak sederet orang tidur—personifikasi bangsa-bangsa Eropa—di tengah lanskap berwarna kuning. Pada saat yang sama, dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya, orang-orang kuning menghambur dari sebuah imperium langit.

Kata Gelbe Gefahr, "bahaya kuning", yang dipakai pertama kali oleh Wilhelm II, jadi bagian dari demagogi Jerman yang cepat beredar. "Kuning" tentu tak dengan sendirinya berarti Cina. Dalam kesadaran orang Eropa, "kuning" berubah-ubah—apa saja yang "bukan-putih-bukan-hitam". Juga kata "Asia": di dalamnya termasuk Yahudi, Arab, Melayu, dan seterusnya. Apabila kemudian Hitler menggaungkan demagogi itu lebih jauh, dengan darah dan besi, kita dapat melihat bagaimana kebencian, purbasangka, dan kekerasan selalu mudah didaur ulang.

2016: daur ulang itu berlangsung lagi. Kali ini "kuning" berarti Arab atau Afrika. Dan di Eropa orang mulai lupa bahwa tiap peradaban adalah warna-warna yang bergerak tak tentu arah. Meskipun purbasangka tak mati-mati.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus