BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT, ISLAM INDONESIA PADA MASA
PENDUDUKAN JEPANG
Oleh: Harry J. Benda
Terjemahan: Daniel Dhakidae,
Penerbit: Dunia Pustaka Jaya, kerjasama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu
Sosial, Jakarta, 1980
Tebal: 344 halaman, 21 x 15 cm
SEJARAH Islam Indonesia relatif tidak mendapat perhatiam Bahkan
tidak jarang para sarjana memberikan tempat lebih kecil kepada
gerakan-gerakan Islam dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia.
Demikian konstatasi Prof. Dr. Harry J. Benda dalam pengantar
bukunya The Crecent and the Rising Sun, Indonesian Islam under
the Japanese occupation, 1942 -1945 (The Hague, 1958), yang
terjemahannya kini kita bicarakan.
Pengarang, yang pada akhir hayatnya menjabat Guru Besar Sejarah
Asia Tenggara di Universitas Yale -- kini sudah tiada. Namun
karya-karya almarhum merupakan sumbangan sangat berharga bagi
Sejarah Islam Indonesia terutama perioie mutakhir.
Bagian pertama: Warisan Kolonial (tiga bab) merupakan uraian
situasi Indonesia, khususnya umat Islam pada masa-masa terakhir
kekuasaan Belanda. Pokok permasalahan diuraikan dalam Bagian
kedua tudukan Jepang (lima bab).
Dr. Benda mengklasifikasi masyarakat Islam Indonesia dalam
tiga pola yang disarankan Clifford Geertz: abangan, priayi dan
santri. Ia juga menguraikan ulasan politik Belanda terhadap
Islam yang dirumuskan Christ aan Snouck Hurgronye. Meskipun
klasifikasi a la Geertz mengandung kelemahan dan mengundang
kritik (antara lain lihat Harsja W. Bachtiar, The Religion of
Java, A Comentary, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, V(1),
1973), kenyataannya kelas priayi perlu ditinjau secara khusus
-- setidaknya dalam pembahasan mengenai pandangan Snouck
tentang Islam. Sebab Snouck merekomendasikan bahwa untuk
mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, kaum priayi harus
diberi pendidikan Barat, sehingga menjauhkan mereka dari
agamanya - "terlepas dari genggaman Islam" (greemancipeerd van
bet Islam stelsel).
Penulis melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek
yang dapat dipisahkan Islam religius dan Islam politik (h. 44).
Sebenarnya Snouck melihat Islam menliliki tiga aspek Islam
sebagai religi (godsdienstig), sebagai sistem kemasyarakatn
(maatschappelijk ) dan sebagai sistem kenegaraan (staatkundig).
Dalam rekomendasinya kepada pemerintah Belanda Snouck
menyarankan, agar terhadap yang pertama pemerintah bersikap
netral dan jangan ikut campur. Terhadap yang kedua, pemerintah
agar memberikan kelonggaran, malahan jika perlu dibantu sebagai
upaya "mengambil hati umat Islam". Tetapi terhadap orang
ketiga, Snouck mengharap pemerintah jangan sekali-kali
memberikan toleransi dan harus selalu siaga untuk menumpasnya.
Kenyataan menunjukkan, bahwa buah fikiran Snouck ini turut
mewarnai garis politik kolonial baru yang dikenal dengan
"politik etis".
Pemisahan yang dilakukan Snouck antara agama dan politik dalam
IsJam, menurut Dr. Benda tidak realistis. Bahkan, tidak
mencerminkan sifat universaI agama ini. Pemisahan agama dan
politik hanya merupakan fenomena sementara Islam dalam masa
kemerosotannya. Dalam masa kesadaran Islam hal itu tak dapat
berlangsung lama (hh. 50-51).
Ketidaktepatan tafsiran Snouck itu dijelaskan dalam Bab Dua
Renesans Islam Indonesia. Pengarang menguraikan kebangkitan
Islam yang dinamis, sehingga pada awal abad ini Islam Indonesia
tumbuh lebih\ luas daripada batasan abad ke-19 yang menjadi
dasar analisa Snouck dan rekomendasi kebijaksanaannya. Gema
pemikiran para reformis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh, terwujud di Indonesia dalam bentuk organisasi.
Sarekat Islan dan Muhammadiyah. Dan pada gilirannya
gerakan-gerakan reformis ini menimbulkan pula reaksi haru dalam
bentuk kebangunan kaum tradisionalis yang dipelopori Nahdatul
Ulama.
Kalangan Priayi
Jauh sebelum Dr. Benda, sesungguhnya sejak tahun 1930-an sudah
muncul kritik terhadap politik Belanda. Misalnya Prof. George
Henri Bousquet, yang menilai pemerintah Belanda terlalu lemah
menghadapi Islam serta meremehkan "bahaya politik" yang
dikandung gerakan sosio-religius seperti Muhammadiyah (lihat M.
Natsir, "Oleh-oleh dari Algiers", Capita Selecta, I, 1955).
Namun rupanya api telah terlalu menjalar sehingga sukar
dipadamkan. "Kekurangpahaman tentang gerakan pembaharuan Islam
menyebabkan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam
menjadi impoten," komentar Prof. W.F. Wertheim yang turut
memberikan Kata Pengantar dalam buku Dr. Benda ini. Juga perlu
kita garis-bawahi, bahwa Jong lslamieten Bond yang didirikan H.
Agus Salim tahun 1925 memberikan fenomena baru. Fenomena itu
barangkali tidak terbayangkan oleh Snouck, yaitu munculnya para
modernis Islam dari kalangan priayi!!
Dalam Bab Tiga: Tantangan dan Jawaban, Dr. Benda mengungkapkan
bertambah mantapnya gerakan Islam, dengan bersatunya kelompok
modernis dan kelompok tradisionalis dalam wadah MIAI (Majlis
Islam A'la Indonesia), September 1937. Dibayangi ketakutan
perang melawan Jepang, Belanda menyadari kebutuhan memperoleh
sahabat di kalangan Islam. Hal ini ditandai dengan usaha membuka
sekolah penghulu di Jawa Barat, subsidi yang cukup besar bagi
jamaah haji serta prangko amal bagi kepentingan Muhammadiyah.
Namun keharusan sejarah agaknya tak dapat ditahan. 'Matahari
Terbit' melanda Nusantara dan menghapuskan Hindia Belanda.
Bagian Kedua karya Dr. Benda, terdiri 5 Bab, membahas masa
kekuasaan Jepang, sesuai dengan judul bukunya. Bagian ini
dicatat dari sumber tangan pertama, terutama dari harian
berbahasa Indonesia dan dari berkala tahun-tahun tersebut (h.
20).
Masuknya Jepang ke Indonesia membuka era baru dalam tingkah-laku
politisi Indonesia. Jika di zaman Belanda penjara dan pembuangan
merupakan hukuman paling kejam bagi agitasi radikal, di zaman
Jepang penyiksaan dan kematian bisa dijatuhkan bagi mereka yang
cukup dicurigai tidak taat (h. 138). Jika di zaman Belanda
dikenal adanya istilah kooperasi dan non-kooperasi, di zaman
Jepang perbendaharaan istilah politik di Indonesia bertambah
dengan kolaborasi. Dan rupanya Jepang telah merumuskan
politiknya terhadap Islam jauh hari sebelumnya.
Sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studl Islam dan majalah
yang membahas masalah Islam telah muncul di Jepang. November
1939 suatu pameran dan kongres Islam diadakan di Tokyo dan
Osaka. Delegasi MIAI dari Indonesia juga turut hadir. Segera
sesudah kongres, seorang ahli Islam, Prof. T. Kanaya,
diberangkatkan ke Indonesia untuk memperkuat ikatan Islam Jepang
dan Indonesia. Demikian pula sesudah Jepang menduduki Jawa,
pendekatan terhadap Islam Indonesia terus digencarkan menekankan
persamaan Shinto dan Islam. Misalnya tentang Konsep Hakkoichchiu
(Persaudaraan Sedunia). Juga mengadakan kontak dengan para
pemuka MIAI, membuka Kantor Urusan Agama (Shumubu) dengan
Kolonel Horie sebagai ketua, menjamu para pemimpin Islam di
Hotel Des Indes yang mewah, menampilkan "haji-haji Tokyo"
seperti Abdulhamid Ono, Muhammad Abdulmuniam Inada Muhammad
Taufik Suzuki, Yusuf Saze. Bahkan ada juga tentara Jepang yang
ikut bersembahyang di masjid-masjid! Jika organisasi lain tak
diizinkan mencetak majalah, Soeara MIAI sejak Januari 1943
diizinkan terbit.
Hizbullah, Januari 1945
Orang Islam mempunyai senjata moral, dengan mengemukakan
prasarat buat kerjasama dengan "penyembah berhala" itu: asal
agama Islam tidak diganggu. Dan terjadilah permainan
"kucing-kucingan": para pemimpin Islam mencoba mengambil manfaat
dari "kerjasama" itu. Dr. Benda mengemukakan bahwa dalam
konfigurasi politiko-administratif yang baru, elite Islam
memperoleh bagian yang lebih besar dan lebih menyolok
dibandingkan dengan yang pernah diperolehnya pada zaman
pemerintahan Belanda (h. 169). Juga kaum Muslimin memegang
peranan utama dalam pembentukan tentara. Pada Juli 1943 para
kiai dilatih di Jakarta, dengan tujuan memolitikkan Islam di
tingkat desa. Dan dalam latihan korps perwira Indonesia Oktober
1943, meliputi jumlah kiai yang cukup besar.
Menurut Dr. Benda, Islam Indonesia jauh lebih mendapat dukungan
di desa dibandingkan dengan kaum nasionalis 'sekuler'. Itulah
sebabnya dalam usaha mendirikan angkatan bersenjata Indonesia
yang pertama, penguasa Jepang sengaja memalingkan mukanya kepada
Islam. Bendera Peta (Daidan-ki) bukanlah Merah-Putih, melainkan
Bulan Sabit yang ditempatkan di atas Matahari Terbit. Simbol
tersebut secara tepat melukiskan identifikasi perang suci Islam
Indonesia terhadap imperialis Barat yang Kristen (hh. 174-175).
Maka menarik mengikuti bagaimana cara Jepang memandulkan MIAI.
Sbumubu seringkali melangkahi MIAI dalam gerakan politiknya
untuk memperoleh dukungan Islam. Misalnya, dengan mengundang
ulama dari seluruh Jawa dalam resepsi di istana, tanpa perantara
MIAI. Dan dalam kesempatan itu Gunseikan May. Jend. Okazaki
mengemukakan, bahwa ulamalah yang menjadi pemimpin Islam, bukan
MIAI. Sementara itu usaha pemimpin MIAI untuk mengundang rapat
umum tidak diizinkan. Jadi, meskipun MIAI berhasil mengusahakan
berdirinya perbendaharaan Islam atau saitulmal, organisasi ini
terus "dikuras" sehingga yang tinggal hanya kantor pusatnya di
Jakarta. Akhirnya, September 1943, pemerintah Jepang memberikan
status hukum kepada Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama beserta
cabang-cabangnya di Jawa, dan sebulan kemudian MIAI terpaksa
bubar.
Sebagai pengganti MIAI, dibentuk wadah Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia), dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama
sebagai tulang punggungnya. Berbeda dengan MIAI, Masyumi
mempunyai keanggotaan yang meyakinkan di seluruh Jawa. Sementara
para elite nasionalis dipaksa masuk dalam organisasi Djawa
Hokokai yang disponsori dan dipimpin Jepang. Jepang
mengonsentrasikan usahaya terhadap urusan Islam (h. 203).
Menurut Dr. Benda, Jepang tetap menempatkan harapan yang lebih
besar pada penggalangan semangat Muslimin demi tujuannya,
daripada pada kaum nasionalis (h. 216). Pendekatan Jepang ini
lalu dimanfaatkan oleh Masyumi dengan membentuk pasukan
Hizbullah (Tentara Allah), Januari 1945. Bahkan sampai saat-saat
terakhir menjelang kejatuhannya, Matahari Terbit berusaha
menarik Bulan Sabit ke dalam orbitnya. Pada tanggal 1 Mei 1945
Gunseikan mengumumkan hari Jumat libur setengah hari bagi kantor
pemerintah. Pada 11 Juni Al-Qur'an dicetak pertama kalinya di
bumi Indonesia. Dan 8 Juli, Universitas Islam didirikan dengan
Abdul Kahar Muzakkir sebagai ketua, sesudah kemerdekaan
universitas ini dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta (h. 225).
Sayang sekali kita tidak menikmati peristiwa bulan Juni dan Juli
1945 dengan cukup mendetil dalam buku ini. Padahal, bulan itu
penuh dengan kejadian yang boleh dikatakan menentukan "posisi"
Islam dalam zaman Indonesia Merdeka. Betapa gigihnya para pemuka
Islam dalam Dokuritsu Jumi Chosakai memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara, dan betapa gigihnya pula para nasionalis
'sekuler' menolaknya, sehingga muncul Piagam Jakarta 22 Juni
1945 sebagai titik kesepakatan.
Terlalu Besar
Kekurangan lain buku Dr. Benda ini, ialah hanya membahas
perkembanan Islam di Jawa. Alasannya "adalah di Jawa Islam
mendapatkan perwujudan organiSatoris paling penting dan kelompok
Islam paling langsung terlibat dalam membentuk politik
Indonesia". Juga karena catatan tertulis dari pulau lain tak
dapat diperoleh.
Terjemahan Daniel Dhakidae pun bukan tanpa kekurangan. Pertama
penerjemah tidak sedikit pun memberikan informasi siapa Dr.
Harry J. Benda. Dan kemudian alangkah baiknya jika buku ini
dilengkapi dengan suatu indeks. Namun terlepas dari hal yang
bersifat teknis itu, sekali lagi, patut kita acungkan jempol
pada Daniel Dhakidae dengan YIIS.
Kemudian, ada baiknya kita merenungkan kata pengantar W.F
Wertheim dalam permuhan buku ini. Kekuatan-kekuatan yang
mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan politiknya,
tulis profesor dari Universitas Amsterdam itu, pada gilirannya
akan dimanfaatkan oleh politisi Islam untuk mencapai tujuan yang
sangat berbeda dengan tujuan kekuatan tersebut. Bulan Sabit
terlalu besar untuk menjadi satelit siapa pun. Barangkali Prof.
Wertheim akan mengemukakan hal yang sama jika ia diberi
kesempatan menulis Kata Pengantar pada buku Dr. Mitsuo Nakamura,
The Crescent Arises over the Banyan Tree (Ithaca, 1976). Di
samping karya B.J. Boland, The Strugle of Islan in Modern
Indonesia (The Hague 1971), buku Dr. Nakamura boleh dikatakan
"lanjutan" dari uraian Dr. Benda yang melukiskan golak Bulan
Sabit daIam alam kemerdekaan. Terhadap kedua buku yang terakhir
ini, apakah Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial tidak berminat
menerjemahkannya?
Nia Kurnia Sholihat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini