Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Siasat kucing-kucingan pemimpin ...

Pengarang: harry j. benda jakarta: dunia pustaka jaya, 1980 resensi oleh: nia kurnia sholihat. (bk)

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT, ISLAM INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG Oleh: Harry J. Benda Terjemahan: Daniel Dhakidae, Penerbit: Dunia Pustaka Jaya, kerjasama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta, 1980 Tebal: 344 halaman, 21 x 15 cm SEJARAH Islam Indonesia relatif tidak mendapat perhatiam Bahkan tidak jarang para sarjana memberikan tempat lebih kecil kepada gerakan-gerakan Islam dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Demikian konstatasi Prof. Dr. Harry J. Benda dalam pengantar bukunya The Crecent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese occupation, 1942 -1945 (The Hague, 1958), yang terjemahannya kini kita bicarakan. Pengarang, yang pada akhir hayatnya menjabat Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Yale -- kini sudah tiada. Namun karya-karya almarhum merupakan sumbangan sangat berharga bagi Sejarah Islam Indonesia terutama perioie mutakhir. Bagian pertama: Warisan Kolonial (tiga bab) merupakan uraian situasi Indonesia, khususnya umat Islam pada masa-masa terakhir kekuasaan Belanda. Pokok permasalahan diuraikan dalam Bagian kedua tudukan Jepang (lima bab). Dr. Benda mengklasifikasi masyarakat Islam Indonesia dalam tiga pola yang disarankan Clifford Geertz: abangan, priayi dan santri. Ia juga menguraikan ulasan politik Belanda terhadap Islam yang dirumuskan Christ aan Snouck Hurgronye. Meskipun klasifikasi a la Geertz mengandung kelemahan dan mengundang kritik (antara lain lihat Harsja W. Bachtiar, The Religion of Java, A Comentary, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, V(1), 1973), kenyataannya kelas priayi perlu ditinjau secara khusus -- setidaknya dalam pembahasan mengenai pandangan Snouck tentang Islam. Sebab Snouck merekomendasikan bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, kaum priayi harus diberi pendidikan Barat, sehingga menjauhkan mereka dari agamanya - "terlepas dari genggaman Islam" (greemancipeerd van bet Islam stelsel). Penulis melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan Islam religius dan Islam politik (h. 44). Sebenarnya Snouck melihat Islam menliliki tiga aspek Islam sebagai religi (godsdienstig), sebagai sistem kemasyarakatn (maatschappelijk ) dan sebagai sistem kenegaraan (staatkundig). Dalam rekomendasinya kepada pemerintah Belanda Snouck menyarankan, agar terhadap yang pertama pemerintah bersikap netral dan jangan ikut campur. Terhadap yang kedua, pemerintah agar memberikan kelonggaran, malahan jika perlu dibantu sebagai upaya "mengambil hati umat Islam". Tetapi terhadap orang ketiga, Snouck mengharap pemerintah jangan sekali-kali memberikan toleransi dan harus selalu siaga untuk menumpasnya. Kenyataan menunjukkan, bahwa buah fikiran Snouck ini turut mewarnai garis politik kolonial baru yang dikenal dengan "politik etis". Pemisahan yang dilakukan Snouck antara agama dan politik dalam IsJam, menurut Dr. Benda tidak realistis. Bahkan, tidak mencerminkan sifat universaI agama ini. Pemisahan agama dan politik hanya merupakan fenomena sementara Islam dalam masa kemerosotannya. Dalam masa kesadaran Islam hal itu tak dapat berlangsung lama (hh. 50-51). Ketidaktepatan tafsiran Snouck itu dijelaskan dalam Bab Dua Renesans Islam Indonesia. Pengarang menguraikan kebangkitan Islam yang dinamis, sehingga pada awal abad ini Islam Indonesia tumbuh lebih\ luas daripada batasan abad ke-19 yang menjadi dasar analisa Snouck dan rekomendasi kebijaksanaannya. Gema pemikiran para reformis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, terwujud di Indonesia dalam bentuk organisasi. Sarekat Islan dan Muhammadiyah. Dan pada gilirannya gerakan-gerakan reformis ini menimbulkan pula reaksi haru dalam bentuk kebangunan kaum tradisionalis yang dipelopori Nahdatul Ulama. Kalangan Priayi Jauh sebelum Dr. Benda, sesungguhnya sejak tahun 1930-an sudah muncul kritik terhadap politik Belanda. Misalnya Prof. George Henri Bousquet, yang menilai pemerintah Belanda terlalu lemah menghadapi Islam serta meremehkan "bahaya politik" yang dikandung gerakan sosio-religius seperti Muhammadiyah (lihat M. Natsir, "Oleh-oleh dari Algiers", Capita Selecta, I, 1955). Namun rupanya api telah terlalu menjalar sehingga sukar dipadamkan. "Kekurangpahaman tentang gerakan pembaharuan Islam menyebabkan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam menjadi impoten," komentar Prof. W.F. Wertheim yang turut memberikan Kata Pengantar dalam buku Dr. Benda ini. Juga perlu kita garis-bawahi, bahwa Jong lslamieten Bond yang didirikan H. Agus Salim tahun 1925 memberikan fenomena baru. Fenomena itu barangkali tidak terbayangkan oleh Snouck, yaitu munculnya para modernis Islam dari kalangan priayi!! Dalam Bab Tiga: Tantangan dan Jawaban, Dr. Benda mengungkapkan bertambah mantapnya gerakan Islam, dengan bersatunya kelompok modernis dan kelompok tradisionalis dalam wadah MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia), September 1937. Dibayangi ketakutan perang melawan Jepang, Belanda menyadari kebutuhan memperoleh sahabat di kalangan Islam. Hal ini ditandai dengan usaha membuka sekolah penghulu di Jawa Barat, subsidi yang cukup besar bagi jamaah haji serta prangko amal bagi kepentingan Muhammadiyah. Namun keharusan sejarah agaknya tak dapat ditahan. 'Matahari Terbit' melanda Nusantara dan menghapuskan Hindia Belanda. Bagian Kedua karya Dr. Benda, terdiri 5 Bab, membahas masa kekuasaan Jepang, sesuai dengan judul bukunya. Bagian ini dicatat dari sumber tangan pertama, terutama dari harian berbahasa Indonesia dan dari berkala tahun-tahun tersebut (h. 20). Masuknya Jepang ke Indonesia membuka era baru dalam tingkah-laku politisi Indonesia. Jika di zaman Belanda penjara dan pembuangan merupakan hukuman paling kejam bagi agitasi radikal, di zaman Jepang penyiksaan dan kematian bisa dijatuhkan bagi mereka yang cukup dicurigai tidak taat (h. 138). Jika di zaman Belanda dikenal adanya istilah kooperasi dan non-kooperasi, di zaman Jepang perbendaharaan istilah politik di Indonesia bertambah dengan kolaborasi. Dan rupanya Jepang telah merumuskan politiknya terhadap Islam jauh hari sebelumnya. Sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studl Islam dan majalah yang membahas masalah Islam telah muncul di Jepang. November 1939 suatu pameran dan kongres Islam diadakan di Tokyo dan Osaka. Delegasi MIAI dari Indonesia juga turut hadir. Segera sesudah kongres, seorang ahli Islam, Prof. T. Kanaya, diberangkatkan ke Indonesia untuk memperkuat ikatan Islam Jepang dan Indonesia. Demikian pula sesudah Jepang menduduki Jawa, pendekatan terhadap Islam Indonesia terus digencarkan menekankan persamaan Shinto dan Islam. Misalnya tentang Konsep Hakkoichchiu (Persaudaraan Sedunia). Juga mengadakan kontak dengan para pemuka MIAI, membuka Kantor Urusan Agama (Shumubu) dengan Kolonel Horie sebagai ketua, menjamu para pemimpin Islam di Hotel Des Indes yang mewah, menampilkan "haji-haji Tokyo" seperti Abdulhamid Ono, Muhammad Abdulmuniam Inada Muhammad Taufik Suzuki, Yusuf Saze. Bahkan ada juga tentara Jepang yang ikut bersembahyang di masjid-masjid! Jika organisasi lain tak diizinkan mencetak majalah, Soeara MIAI sejak Januari 1943 diizinkan terbit. Hizbullah, Januari 1945 Orang Islam mempunyai senjata moral, dengan mengemukakan prasarat buat kerjasama dengan "penyembah berhala" itu: asal agama Islam tidak diganggu. Dan terjadilah permainan "kucing-kucingan": para pemimpin Islam mencoba mengambil manfaat dari "kerjasama" itu. Dr. Benda mengemukakan bahwa dalam konfigurasi politiko-administratif yang baru, elite Islam memperoleh bagian yang lebih besar dan lebih menyolok dibandingkan dengan yang pernah diperolehnya pada zaman pemerintahan Belanda (h. 169). Juga kaum Muslimin memegang peranan utama dalam pembentukan tentara. Pada Juli 1943 para kiai dilatih di Jakarta, dengan tujuan memolitikkan Islam di tingkat desa. Dan dalam latihan korps perwira Indonesia Oktober 1943, meliputi jumlah kiai yang cukup besar. Menurut Dr. Benda, Islam Indonesia jauh lebih mendapat dukungan di desa dibandingkan dengan kaum nasionalis 'sekuler'. Itulah sebabnya dalam usaha mendirikan angkatan bersenjata Indonesia yang pertama, penguasa Jepang sengaja memalingkan mukanya kepada Islam. Bendera Peta (Daidan-ki) bukanlah Merah-Putih, melainkan Bulan Sabit yang ditempatkan di atas Matahari Terbit. Simbol tersebut secara tepat melukiskan identifikasi perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis Barat yang Kristen (hh. 174-175). Maka menarik mengikuti bagaimana cara Jepang memandulkan MIAI. Sbumubu seringkali melangkahi MIAI dalam gerakan politiknya untuk memperoleh dukungan Islam. Misalnya, dengan mengundang ulama dari seluruh Jawa dalam resepsi di istana, tanpa perantara MIAI. Dan dalam kesempatan itu Gunseikan May. Jend. Okazaki mengemukakan, bahwa ulamalah yang menjadi pemimpin Islam, bukan MIAI. Sementara itu usaha pemimpin MIAI untuk mengundang rapat umum tidak diizinkan. Jadi, meskipun MIAI berhasil mengusahakan berdirinya perbendaharaan Islam atau saitulmal, organisasi ini terus "dikuras" sehingga yang tinggal hanya kantor pusatnya di Jakarta. Akhirnya, September 1943, pemerintah Jepang memberikan status hukum kepada Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama beserta cabang-cabangnya di Jawa, dan sebulan kemudian MIAI terpaksa bubar. Sebagai pengganti MIAI, dibentuk wadah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai tulang punggungnya. Berbeda dengan MIAI, Masyumi mempunyai keanggotaan yang meyakinkan di seluruh Jawa. Sementara para elite nasionalis dipaksa masuk dalam organisasi Djawa Hokokai yang disponsori dan dipimpin Jepang. Jepang mengonsentrasikan usahaya terhadap urusan Islam (h. 203). Menurut Dr. Benda, Jepang tetap menempatkan harapan yang lebih besar pada penggalangan semangat Muslimin demi tujuannya, daripada pada kaum nasionalis (h. 216). Pendekatan Jepang ini lalu dimanfaatkan oleh Masyumi dengan membentuk pasukan Hizbullah (Tentara Allah), Januari 1945. Bahkan sampai saat-saat terakhir menjelang kejatuhannya, Matahari Terbit berusaha menarik Bulan Sabit ke dalam orbitnya. Pada tanggal 1 Mei 1945 Gunseikan mengumumkan hari Jumat libur setengah hari bagi kantor pemerintah. Pada 11 Juni Al-Qur'an dicetak pertama kalinya di bumi Indonesia. Dan 8 Juli, Universitas Islam didirikan dengan Abdul Kahar Muzakkir sebagai ketua, sesudah kemerdekaan universitas ini dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta (h. 225). Sayang sekali kita tidak menikmati peristiwa bulan Juni dan Juli 1945 dengan cukup mendetil dalam buku ini. Padahal, bulan itu penuh dengan kejadian yang boleh dikatakan menentukan "posisi" Islam dalam zaman Indonesia Merdeka. Betapa gigihnya para pemuka Islam dalam Dokuritsu Jumi Chosakai memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan betapa gigihnya pula para nasionalis 'sekuler' menolaknya, sehingga muncul Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai titik kesepakatan. Terlalu Besar Kekurangan lain buku Dr. Benda ini, ialah hanya membahas perkembanan Islam di Jawa. Alasannya "adalah di Jawa Islam mendapatkan perwujudan organiSatoris paling penting dan kelompok Islam paling langsung terlibat dalam membentuk politik Indonesia". Juga karena catatan tertulis dari pulau lain tak dapat diperoleh. Terjemahan Daniel Dhakidae pun bukan tanpa kekurangan. Pertama penerjemah tidak sedikit pun memberikan informasi siapa Dr. Harry J. Benda. Dan kemudian alangkah baiknya jika buku ini dilengkapi dengan suatu indeks. Namun terlepas dari hal yang bersifat teknis itu, sekali lagi, patut kita acungkan jempol pada Daniel Dhakidae dengan YIIS. Kemudian, ada baiknya kita merenungkan kata pengantar W.F Wertheim dalam permuhan buku ini. Kekuatan-kekuatan yang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan politiknya, tulis profesor dari Universitas Amsterdam itu, pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan kekuatan tersebut. Bulan Sabit terlalu besar untuk menjadi satelit siapa pun. Barangkali Prof. Wertheim akan mengemukakan hal yang sama jika ia diberi kesempatan menulis Kata Pengantar pada buku Dr. Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises over the Banyan Tree (Ithaca, 1976). Di samping karya B.J. Boland, The Strugle of Islan in Modern Indonesia (The Hague 1971), buku Dr. Nakamura boleh dikatakan "lanjutan" dari uraian Dr. Benda yang melukiskan golak Bulan Sabit daIam alam kemerdekaan. Terhadap kedua buku yang terakhir ini, apakah Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial tidak berminat menerjemahkannya? Nia Kurnia Sholihat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus