Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lindungi Tenaga Kerja Indonesia

Cerita penganiayaan dan kematian TKI merebak lagi, kali ini dari Singapura. Diperlukan sistem perlindungan sistematis dan menyeluruh.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU ada peribahasa, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, tetaplah lebih baik di negeri sendiri". Indonesia, ketika itu, tentulah dicitrakan bakpanorama mooi Indie: nyiur melambai, padi menguningseluas sawang, "bukan lautan tapi kolam susu". Kini siapa puntahu, belum sempat hujan batu, sudah berduyun-duyun anaknegeri ini mencari makan ke rantau jauh. Dan alih-alihmenadah hujan emas, sebagian bahkan harus menanggung "badai siksa".

Pada saat ini terdapat lebih dari 2,5 juta "anakbangsa" mencari makan di negeri orang, dengan sumbangandevisa sekitar US$ 1,1 miliar. Lebih dari 60 persen dari jumlahtenaga kerja Indonesia (TKI) itu tercatat sebagai "pekerjadomestik"—istilah merdu untuk pembantu rumah tangga(PRT). Sampai di sini, tak ada hal yang salah sebetulnya. Ceritamulai berubah pahit ketika dari rantau sana muncul serialtragis tak kunjung sudah: penganiayaan, pelecehan,penghukuman, bahkan sampai pada tindakan "bunuh diri".

Kabar buruk terakhir datang tak jauh-jauh, hanyadari negeri "di sebelah rumah": Singapura. Seorangpembantu asal Malang ditemukan terempas dari lantai delapansebuah apartemen. Menurut catatan Kedutaan Besar Indonesiadi negeri bandar itu, dalam empat setengah tahun terakhir90 TKI tewas di sana, 56 karena kecelakaan, 26 bunuh diri,dan sisanya masih dalam penyelidikan. Di negeri ini terdapatsekitar 70 ribu PRT asal Indonesia, atau sekitar 50 persendari semua PRT dari berbagai negeri—antara lain Filipinadan Sri Lanka.

Biasanya, jika muncul kabar aib, yang segera terjadiadalah saling melempar kesalahan. Sasaran paling empukjustru pihak korban, yakni para TKI itu sendiri. Pihak sana,misalnya, menyatakan para pembantu itu tidak bisaberadaptasi dengan budaya rumah tangga modern, tidakmenguasai bahasa asing, bahkan tidak mengetahui hak-haknya.Kalau memang benar demikian, mengapa mereka dijadikanpilihan? Jawabnya lain lagi: mereka sopan, penurut, dan—yangmungkin paling penting—bersedia digaji lebih murahdaripada pembantu asal negeri lain.

Dari pihak sini, tak kurang pula dalih yang bisadisodorkan. Mulai dari keberangkatan mereka yang tidak "resmi",permainan calo, perusahaan pengerah tenaga kerja yangtidak terakreditasi dan tidak memberikan pelatihan yangcukup, sampai pada rendahnya militansi para TKI itu, danseterusnya. Benang yang sudah kisruh, akhirnya, justru makinkusut masai. Padahal, apa pun dalih dan analisisnya,kenyataan yang sudah pasti: sebagian mereka mengalamipenganiayaan, pelecehan, bahkan kematian, antara lain denganketerangan bunuh diri.

Pernahkah terpikir, "keberanian" para majikan itu,kalau benar TKI kita sering menjadi korban penganiayaan,justru karena para majikan tahu benar akan lemahnyaperlindungan terhadap TKI? Kita, misalnya, tak kering dari beritabetapa para TKI—yang kadang dijuluki "pahlawanpenghasil devisa" itu—mengalami "penganiayaan" bahkan ketikamendarat kembali di Tanah Air, di gerbang bandara internasionalkita. Bukan rahasia lagi betapa mereka mengalami"penganiayaan", mulai dari pos penukaran uang, pemeriksaan koper,sampai pada mekanisme transpor untuk mencapai kampunghalaman masing-masing.

Sulit sekali mengajak kita percaya bahwa untuk negeri yang sudah merdeka 58 tahun ini, menyusun aturan perlindungan yang utuh dan menyeluruh bagi para pencari kerja di negeri seberang itu merupakan pekerjaan sangat muskil. Pengusutan dan pembelaan terhadap kasus penganiayaan di negeri tetangga itu tentulah mustahak benar. Bahkan, kalau perlu, sampai ke tingkat protes atas ketiadasemena-menaan yang mereka tanggungkan. Tapi lebih penting dari itu tentulah upaya preventif yang jelas, terbuka, dan betul-betul bersifat melindungi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus