Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seandainya tak ada TV, seandainya ucapan tercetak di tiap berita pagi, dan kampanye politik tak diutarakan lisan .
Tapi, apa boleh buat, kini telah datang zaman lisan baru, dengan teknologi kata yang mutakhir itu: radio, telepon, televisi. Haruskah kita siap untuk kembali mengakui ini: "suara yang terdengar akan lenyap, tapi huruf yang tertulis akan menetap", seperti kata sebuah pepatah Latin? Jangan-jangan orang omong untuk segera dilupakan, seperti suara PKB yang dulu menghantam Golkar dan kini tidak, karena statemen kemarin dengan mudah jadi dusta dalam pidato hari ini.
Tapi mungkin tidak. Jika kita percaya akan optimisme Walter Ong dalam The Presence of the Word, dunia lisan baru itu tak akan sepenuhnya sama dengan dunia lisan sebelum tulisan ditemukan, huruf dipastikan, dan mesin cetak dipergunakan.
Bagaimana gerangan rupa dunia seperti itu, sebelum ada alif-ba-ta dan ha-na-ca-ra-ka, tak mudah kita memperkirakannya. Sebab, manusia telah memakai tulisan sejak tahun 3500 sebelum Masehi di wilayah Summeria, lima abad kemudian di Mesir dan India, dan 15 abad kemudian di Cina. Tapi mungkin kita bisa mengingat bagaimana kakek-nenek kita yang buta huruf hidup dan bekerja.
Bagi mereka, kata adalah "peristiwa", tulis Walter Ong. Bagi mereka, kata hanya bunyi: ia berwujud tak tampak; ia berwujud justru setelah menghilang. Tanpa tulisan, kata selalu bagian dari sekarangbukan tadi, bukan nanti. Jika kata itu menyimpan informasi, informasi itu baru bisa dipakai kembali setelah ada yang menghafal. Demikianlah keterangan tentang yang pernah dilakukan manusia pun dirawat dalam syair, pantun, dongeng, yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, oleh para empu, pujangga, dan pemangku adat. Kebenaran pada akhirnya bergantung pada sebuah kehadiran.
Di sana, kuping yang mendengar lebih penting ketimbang mata yang melihat. Dengan jelas Ong membedakan kedua indra manusia itu dan pengaruhnya bagi cara kita memandang dunia. Lewat mata, manusia mencapai dunia dalam bentuk ruang, dan ruang itu terdiri dari permukaan. Tapi mata kita tak akan menangkap seluruh permukaan. Ia hanya mencapai yang ada di depan kita. Mata tak menjangkau dunia secara serentak, melainkan sebidang demi sebidang: kadang. Penglihatan cenderung memilah-milah.
Kuping kita bekerja secara berbeda. Kapan saja, aku bukan hanya mendengar apa yang di hadapanku, melainkan serentak di belakangku, atau dari arah mana saja. Sebab itu, menurut Ong, mereka yang hidupnya dibentuk oleh sintesis pendengaran tak jarang punya kecemasan tersendiri. Ada kesenjangan antara dunia bunyi dan dunia penampakan: dengan kupingku, aku tahu begitu banyak hal terjadi secara serentak, tapi dengan mataku aku tak mungkin melihatnya sekaligus. Tak mudah untuk memilah-milah atau menganalisis, dan sebab itu tak gampang mengelolanya.
Dari sini Ong menyebut sebuah sindrom yang tak jarang menjangkiti mereka yang hidup dalam "budaya dengar". Pelbagai penelitian menyimpulkan bahwa di kalangan itu sering terjadi rasa cemas, takut, dan sikap tengkar yang kacau-balau, yang akhirnya meledak. Orang-orang Skandinavia dan Asia Tenggara yang buta huruf meletupkan itu dalam amuk. Sebab, tanpa tulisan, manusia cenderung menyelesaikan problem menurut tradisi puaknya. Tak ada analisis pribadi. Di sana orang hidup dalam "budaya malu", yang melembagakan desakan kolektif agar orang sama-sama mematuhi satu pola perilaku. Ada tekanan perkauman yang kadang menyesakkan.
Itulah yang tak terjadi dalam budaya tulis. "Dengan tulisan," kata Ong, "individu jadi sadar tentang dirinya sendiri, bahwa ia mampu berpikir sendiri." Membaca teks mendorong orang menjauhkan dunia pikirannya dari kelompok. "Buku," kata Ong pula, "memisahkan sang pembaca dari puaknya."
Sang pembaca bukannya tak punya rasa cemas. Dunia kata-katanya bukan saja jauh dari habitat percakapan yang nyata, tapi juga tak seluruhnya cocok dengan habitat itu. Ada yang beku di sana, ada yang terhenti dalam waktu. Huruf pun sering dikaitkan dengan kematian. Ong, seorang pastor Jesuit, mengutip dari Injil surat Paulus untuk orang Korintha: "huruf mematikan, tapi roh memberi hidup." Sang pembaca pun sering kesunyian, mandek dan bersikeras, meskipun tak mengamuk.
Tapi di mana sang pembaca kini? Ia nyaris tersingkir bersama hurufdi radio, telepon, dan televisi. Sebuah budaya lisan baru tiba. Tapi Ong menunjukkan: kali ini beda. Huruf tak sepenuhnya punah. Mereka datang di Internet dan sandek, di laptop dan telepon genggam. Kini kita hidup dalam sebuah gabungan yang membingungkan, tapi mengasyikkan.
Ong menyambut hangat dunia baru ini. Ia tunjukkan bahwa berbeda dengan yang lama, kini kata jadi "terbuka". Teknologi media komunikasi telah mengubahnya. Bunyi dan suara pun berperan kembali, dan melibatkan manusia ke dalam "kini", tapi tak hanya itu: apa yang "lalu" dapat kita gali kembali. Abad ke-21 punya keajaiban kecil: sebuah gudang gigantis yang mengawetkan informasi seluruh dunia kini bisa ditelisik cepat dan tepat dengan Google.
Maka di satu sisi orang pun terlibat langsung dalam peristiwa, dan kita bisa bicara akrab atau berapi-api kepada mereka. Tapi sang pendengar, yang sekaligus penonton, bisa mengambil jarak. Ia juga bisa menyahut. Sang pembawa kata yang hadir tak punya aura dan otoritas yang mutlak lagi.
Sementara itu, huruf yang konon mematikan, juga kitab yang tamat, tak pula mampu menghentikan percakapan. Ajar dan ujar yang dihafal dan hukum yang dibukukan selalu bisa dipikirkan lagi dan digugat kembali. Keterbukaan sulit ditampik dari sini.
Tapi, tentu, Ong tak menyebut bahwa televisi dan komputer, seperti halnya buku dan koran, masih jauh dari sebuah dunia di mana yang lisan dan tulisan dibungkam, mungkin oleh kekerasan, mungkin oleh kemiskinan. Meskipun saya, seperti dia, ingin punya optimisme. Sekali-sekali.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo