Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan presiden tinggal sebulan, ujian berat terus menghantui pemerintahan Megawati Soekarno-putri. Tak tanggung-tanggung, pertaruhan Presiden Indonesia kelima ini luar biasanya beratnya. Susahnya, ujian itu datang dari dunia internasional. Harga minyak mentah di pasar dunia tiba-tiba melonjak tak terkendali. Pada penutupan perdagangan Jumat dua pekan lalu, harga emas hitam itu mencapai US$ 41,50 per barel (harga minyak Indonesia, Minas, sekitar US$ 37-US$ 38). Ini harga tertinggi dalam 21 tahun terakhir.
Pemerintah kontan kebat-kebit. Kenaikan harga minyak itu tidak akan mendatangkan rezeki nomplok (windfall profit), tapi justru menambah beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang luar biasa beratnya. Kenaikan harga minyak mentah ini menyebabkan beban subsidi bertambah Rp 15,5 triliun menjadi Rp 30 triliun atau membengkak lebih dari dua kali lipat dari yang dianggarkan, sebesar Rp 14,5 triliun, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004. Pertamina bahkan memperkirakan beban subsidi akan mencapai Rp 36 triliun.
Tambahan beban subsidi tersebut akhirnya menyedot habis tambahan pendapatan minyak yang diperkirakan sebesar Rp 21,5 triliun. Sisanya yang Rp 6 triliun masih harus dibagi ke pemerintah provinsi penghasil minyak seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Aceh. Ketua Panitia Anggaran DPR RI, Abdullah Zainie, memperkirakan sisa yang bisa dinikmati pemerintah pusat cuma Rp 1 triliun- Rp 1,5 triliun. Dengan hitungan yang sedikit berbeda, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Darmin Nasution, malah meramalkan pemerintah tekor sekitar Rp 1 triliun.
Pilihan bagi pemerintah Megawati memang tidak banyak. Jika hitungan Darmin yang benar, itu berarti pemerintah harus mencari tambahan pendapatan lain, semisal dari pajak. Tapi, dengan kondisi perekonomian seperti sekarang, agaknya tak mudah menaikkan penerimaan pajak. Yang lain? Menaikkan harga BBM. Namun, jika ini yang dipilih, Megawati seperti melakukan harakiri. Di tengah masa kampanye seperti sekarang, itu sama saja dengan melemparkan handuk ke tengah ring pertarungan presiden.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa dengan harga minyak yang setinggi sekarang, salah satu cara jitu mengurangi beban subsidi adalah menaikkan harga BBM. Kini harga rata-rata BBM di pasar internasional sudah Rp 2.300 per liter, sementara harga rata-rata BBM di Indonesia masih Rp 1.800. Pemerintah harus menanggung selisihnya yang Rp 500. Sialnya, konsumsi BBM di Indonesia terus naik. Tahun ini, konsumsi BBM diperkirakan mencapai 60 juta kiloliter. Jika harga rata-rata BBM dinaikkan 10 persen saja, beban subsidi bisa dikurangi menjadi hanya Rp 19,2 triliun. Jelas pengurangan angka subsidinya sangat signifikan.
Dan sebetulnya pilihan menaikkan harga BBM ini punya pijakan yang kuat, yaitu UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Di sana disebut bahwa subsidi BBM dihapus pada tahun ini. Namun, Kepala Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu, tegas mengesampingkan pilihan itu. Menjelang masa pemilihan presiden, siapa pun pemerintahnya tak akan berani mengambil risiko menaikkan harga BBM. Pemerintah, kata Anggito, cuma mendesak DPR mempercepat pembahasan revisi APBN 2004, yang biasanya dilakukan setelah semester pertama berlalu. Revisi diperlukan untuk menentukan asumsi baru harga minyak dalam APBN.
Sikap pemerintah mengesampingkan pilihan menaikkan harga BBM didukung ekonom Raden Pardede. "Propenas? Sudahlah, tak ada yang memakai undang-undang itu," ujarnya. Raden malah mengusulkan agar pemerintah merevisi undang-undang tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. "Daerah harus mau membagi rezeki nomplok dari minyak. Paling sedikit mereka harus menanggung subsidi di daerahnya," katanya tegas.
Defisit anggaran, kata Raden, juga masih bisa ditutup dari setoran BPPN. Di luar itu, ia mendesak pemeritah memajaki kegiatan yang selama ini masih ilegal seperti pembalakan, pencurian ikan, dan perjudian. "Pemerintah bisa menarik pajak yang lumayan dari kegiatan itu," ujarnya. Memang masih banyak langkah yang bisa ditempuh, tentu saja jika pemerintah berani mengambil risiko.
MT, Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Retno Sulistyowati (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo