KABAR pensiunnya Ketua Mahkamah Agung Ali Said sudah cukup lama beredar.Anehnya, tak banyak orang yang tertarik dengan berita itu, tak juga media massa. Baru seminggu terakhir ini mulai muncul komentar tentang itu. Padahal, Mahkamah Agung ini adalah pilar utama negara hukum kita, tapi orang lebih asyik bicara tentang akuisisi di Grup Lippo dan Indocement, serta krisis yangmenimpa Summa dan Bentoel. Sudah selayaknya, dalam mencari calon Ketua Mahkamah Agung, kita juga membuat balance sheet tentang Mahkamah Agung. Tapi hal ini tak banyak muncul di mediakita. Kalaupun ada, yang dikeluhkan terbatas pada tunggakan perkara yang menumpuk di Mahkamah Agung. Ini tentu penting, tapi ada juga hal lain yang takkalah pentingnya, yaitu hak uji materiil Mahkamah Agung. Hak uji materiil atau judicial review ini tak bergema di Mahkamah Agung. Padahal, tanpa hak uji, Mahkamah Agung tak bisa menjadi penjaga konstitusi. Padahal, cukup banyak produk legislatif kita yang perlu dipersoalkan kesejalanannya dengan konstitusi. Mengapa hak uji ini tak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung? Jawabannya tak dapat diberikan secara positif. Pro kontra hak uji masih terus berlangsung sejak tahun 1945 sampai sekarang. Dalam debat panitia persiapankemerdekaan, posisi Muh. Yamin adalah prohak uji, dan posisi Supomo kontrahak uji. Yamin setuju hak uji karena itu penting untuk mencegah kesewenangan, kediktatoran,dan sekaligus berperan sebagai kontrol konstitusional. Sebaliknya Supomo tak percaya bahwa hal itu dapat dilakukan di negara kekeluargaan. Kata Supomo, takpantas satu organ pemerintah menguji hasil kerja organ pemerintah yang lain karena mereka itu sederajat, dan karenanya harus bekerja sama. Hak uji hanyabisa hidup di negara liberal yang menganut teori separation of power. Sayangnya, perdebatan Supomo-Yamin ini tak diperpanjang, dan konstitusi kita memilih tak memuat ketentuan hak uji dalam batang tubuhnya. Hak uji yang kita anut adalah hak uji terbatas, dalam arti yang bisa diuji oleh Mahkamah Agung adalah keputusan dan peraturan yang tingkatnya berada di bawah undang-undang.Ini pun harus melalui proses kasasi. Telah tertutup sama sekalikah peluang bagi hak uji di negeri ini? Saya cenderung menjawab tidak. Saya percaya bahwa seperti di AS, misalnya, lafal sumpah hakim agung yang antara lain harus menjunjung konstitusi bisa dijadikansebagai dasar hukum hak uji. Mahkamah agung AS juga tak punya dasar konstitusional di Konstitusi Amerika untuk menggunakan hak uji, tapi Ketua Mahkamah Agung Mashall pada tahun 1803 dalam perkara Madison vs Marbury mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai hak uji karena lafal sumpah hakim agung mewajibkan mahkamah agung menjaga konstitusi. Atas dasar itu, setiap produk legislatif baik federal maupunnegara bagian bisa saja dinyatakan inkonstitusional oleh mahkamah agung. Para hakim agung kita juga mengambil sumpah ketika dilantik sebagai hakim agung. Dan isi sumpahnya juga antara lain untuk menjunjung tinggi konstitusi.Tapi inilah Mahkamah Agung kita: pasif, tak memiliki semangat judicial activism. Seandainya semangat ini ada, bukan mustahil Mahkamah Agung bisa berbuat banyak buat negara hukum, buat demokrasi dan hak asasi. Malah sejak dini,ketika sebuah RUU baru diajukan Pemerintah ke DPR, Mahkamah Agung bisa saja memberikan legal opinion kepada DPR dan Pemerintah bahwa RUU itu tak sejalandengan konstitusi, dan karenanya perlu diperbaiki. Dan hal ini mungkin berdasar Tap No. III/MPR/1978, yang memberi hak kepada Mahkamah Agung diminta atau tak diminta untuk memberikan pendapat hukum kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Walhasil, DPR akan bisa ditangkal untuk tak melahirkan produk legislatif yang merugikan negara hukum, demokrasi, dan hak asasi. Negara hukum kita ini akansangat rawan dan rapuh karena dia tak dikawal oleh Mahkamah Agung, yang bisa menjadi penjaga konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini