BEKAS Ketua Mahkamah Agung (MA) Ali Said, 65 tahun, tak hanya meninggalkan tunggakan perkara untuk penggantinya. Dia juga mewariskan sebuah mimpi, tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap undang-undang. Hak uji itu dianggap penting dalam sistem kenegaraan agar lembaga yudikatif itu bisa berdiri sejajar dengan presiden (lembaga eksekutif) dan DPR (legislatif). Selama ini, seperti diakui Ali Said, peran MA memang ketinggalan dibanding eksekutif dan legislatif dalam membuat perundangundangan. Bila eksekutif dan legislatif bersama-sama membuat undang-undang, MA sebagai lembaga yudikatif cuma bisa bengong. "Agar obyektif, fungsi mengoreksi UU itu mestinya diberikan kepada pihak ketiga, yaitu yudikatif," ujar Ali Said. Fungsi pengoreksi seperti dimaksud Ali Said itu yang dikenal sebagai hak uji alias judicial review. Peran menjalankan hak uji itu selama ini memang tampakketinggalan dilakukan MA dibanding fungsi-fungsi MA yang lain seperti fungsi peradilan (antara lain menangani kasasi), fungsi pengawasan (mengontrol penyelenggaraan proses peradilan), serta fungsi penasihat (antara lain memberikan nasihat untuk masalah grasi kepada presiden). Akibat ketiadaan peran hak uji itu, MA tak bisa melakukan apa-apa dalam soal UU, yang sering dianggap kontroversial, seperti UU No. 11 Tahun 1963. Sudahhampir 30 tahun, UU Antisubversi ini dianggap pakar-pakar hukum dan hak asasi tidak relevan di negara Pancasila ini. Undang-undang yang dituding para ahlihukum sebagai "jaring tanpa ujung" itu mengancam siapa saja yang dianggap bisa merongrong kewibawaan pemerintah dan negara dengan hukuman mati. Tapi itu tadi, orang boleh tak setuju, toh undang-undang itu tak bisa diganggu gugat. Kedudukan UU Antisubversi itu, sebagaimana UU lainnya, sangat kuat. Selama pemerintah dan DPR menghendaki UU itu berlaku, MA sebagai lembaga tinggi negara, yang sering disebut benteng terakhir keadilan, suka atau tidak tetap harus mengadili perkara dengan undang-undang tersebut. Pakar hukum Dr. Todung Mulya Lubis mendukung sikap Ali Said, bahwa hak uji materiil atas UU itu diperlukan oleh MA. "Tanpa hak uji itu, MA cuma menjadi mahkamah ompong," ujarnya. Keprihatinan semacam itu sudah lama pula diperlihatkan almarhum Suardi Tasrif, bekas Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). "Saya termasuk sarjana hukum yang menginginkan MA punyahak uji materiil atas UU," kata Tasrif. Tasrif menganggap bahwa produk UU yang dibuat presiden bersama DPR tidak ada yang mengontrol. Padahal, dia sering tergoda mempertanyakan adakah UU yangmengatur masalah kepartaian, ormas, pers, serta pemilu, telah benar-benar menjabarkan kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan atau tulisan, sebagaimana dijamin pasal 28 UUD 45. Tanpa menuding adanya penyimpangan, Tasrif berpendapat, ada saja kemungkinan bahwa DPR dan pemerintah berbuat alpa mengesahkan RUU yang tidakkonstitusional, tak sejalan dengan UUD 45 atau ketetapan MPR. "Dalam kasus ini, Mahkamah Agung tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya. Sebab, menurut Tasrif, UUD 1945 tak mengatur secara jelas soal kewenangan MA dalam masalah uji materiel UU alias judicial review itu. Pada pokoknya, UUD 45hanya mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan lain yang dibentuk lewat undang-undang. Sedangkan pada penjelasannya disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merdeka dari pengaruh pemerintah. Sebenarnya, soal hak uji atas UU itu sempat diperdebatkan para founding father, khususnya oleh Mr. Supomo dan Mr. Muhamad Yamin, di rapat PanitiaPersiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) saat merancang UUD 45. Tapi usulan Yamin tentang judicial review dipatahkan Soepomo, yang menganggap hak uji UUitu hanya cocok untuk negara yang menganut asas liberal. Berhulu dari situ, perundang-undangan yang ada sekarang membatasi MA agar tak menyentuh judicial review terhadap undang-undang buatan pemerintah dan DPR. UUPokok Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, misalnya, hanya membolehkan MA melakukan hak uji materiil sebatas pada peraturan perundangan yang tingkatnya di bawah UU,seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, gubernur, atau perda. Itu pun hanya bisa dilakukan MA secara pasif, bila pihak berperkara mengajukan persoalantersebut dalam perkara kasasi di Mahkamah Agung. Artinya, Mahkamah Agung tak bisa mengambil inisiatif menguji suatu peraturan. Pembatasan UU Pokok Kehakiman itu ditegaskan kembali lewat Ketetapan MPR No. III/1978. Di situ juga dikatakan, hak uji itu cuma boleh dimainkan MA untukperaturan perundangan di bawah UU. Impian para hukum itu semakin sirna setelah UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (pasal 31), yang lahir pada zaman ketua MA Ali Said, mengulangi ketentuan serupa. UU terbaru itu tetap membatasi hak uji tersebut hanya terhadap peraturan di bawah UU, dan itu pun bila perkara sampai ke tingkat kasasi. "Ini hak semu. Harus ada perkaramasuk, baru hak uji materiil itu dijalankan," kata Ali Said, yang baru turun dari kursi Ketua MA. Akibat pembatasan itu pula praktis MA sampai kini belum pernah melakukan hak uji materiil tersebut. Pernah Ali Said punya keinginan menjajal hak uji itu pada akhir 1986, ketika harian Prioritas tewas karena aturan SIUPP bikinan Menteri Penerangan. Peraturan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) itu memang sering disebut-sebut menabrak UU Pokok Pers. Karena tak diizinkan mengambil inisiatif, Ali Said mengimbau Prioritas agar memperkarakan peraturan SIUPP itu. Sayangnya, kata Ali Said, pimpinan Prioritas enggan menyambut ajakan itu. "Mereka cuma mengirimkan berkas-berkas laporan dan peraturan, yang sudah dipunyai MA," kata Ali Said. Kejadian serupa terulang dalam kasus tabloid Monitor yang dicabut "nyawanya" duatahun silam. Tak ada tuntutan sama sekali dari pihak Monitor. Tapi kalaupun pencabutan SIUPP tadi diperkarakan, dan MA memutuskan peraturan menteri itu bertentangan dengan perundang-undangan di tingkat atasnya, tak otomatis peraturan itu batal demi hukum. Tak ada peraturan yangmengharuskannya begitu. "Pembatalan peraturan itu harus datang dari instansi yang mengeluarkannya," ujar Prof. Sri Soemantri, ahli hukum tata negara dari Bandung. Alhasil, dari segi hak, apalagi pelaksanaan judicial review, Mahkamah Agung RI benar-benar masih nol. Kekuarangan itu makin terasa bila dibandingkandengan Mahkamah Agung negara-negara lain. Di Jepang, misalnya, pasal 81 konstitusi menyebutkan mahkamah agung mempunyai wewenang untuk menentukan keabsahan undang-undang, peraturan pemerintah, atau sejenisnya. Mungkinkah pengganti Ali Said berani merebut hak itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini