SUASANA memang rusuh menjelang hari itu. Lalu 5 JULI 1959, Presiden Soekarno membuat sebuah dekrit: Indonesia kembali ke UUD 1945. Dengan keputusan yang dikenal dengan Dekrit Presiden itu, Bung Karno sekaligus membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955, yang dinilai telah gagal menunaikan tugasnya: menyusun UUD. Tanggal 5 Juli lalu memang ada kelompok kecil, Yayasan Pembela Tanah Air dan Forum Musyawarah Antar-Generasi, yang mengenang peristiwa kembali ke UUD 1945. Roeslan Abdulgani, yang menjadi pembicara dalam peringatan di Gedung Perintis Kemerdekaan itu, menyebut Dekrit Presiden merupakan puncak ketidakpercayaanrakyat kepada para anggota Konstituante. Roeslan, tokoh yang sangat terlibat dalam kekuasaan setelah dekrit itu diumumkan, menilai suasana Indonesia waktu itu "seperti layangan pedhot". Indonesia terombang-ambing, dan suasanapascapemilu masih penuh dengan perpecahan, ekonomi parah, dan di daerah terjadi pergolakan bersenjata. Sementara itu, dalam sidang Konstituante, kataRoeslan, "Mereka sibuk mencari dasar negara. Ada yang menginginkan komunis, Islam, Pancasila, dan sebagainya." Dalam suasana itu, terutama tampak bahwa pihak tentara tidak sabar menunggu. A.H. Nasution, waktu itu kepala Staf Angkatan Darat, sebagaimana dikisahkannyakepada TEMPO, pun mengutus dua perwira menemui Presiden Soekarno. Mereka mendesak agar Bung Karno memutuskan Indonesia kembali saja ke UUD 45. Oktober 1958, Bung Karno setuju. Setelah keadaan darurat perang diumumkan, Nasution bertindak terhadap Konstituante. "Saya hentikan persidangan," tuturnya, lalu atas dasar kuasa penuh dari Presiden, yang waktu itu berada di luar negeri, iaberembuk dengan tokoh-tokoh partai. Dekrit pun disiapkan, mengingat bahwa keputusan untuk kembali ke UUD 45 pasti akan sulit lulus dalam Konstituante. Partai Islam Masyumi, yang mendapatkansuara terbesar kedua dalam Pemilu 1955, memprotes keras ketika pemerintah sudah mengirimkan surat kepada Konstituante untuk kembali ke UUD 45. Bagi Masyumi, menurut Mohammad Natsir, tokoh Masyumi waktu itu, kembali ke UUD 1945 berarti "menurunkan martabat pembuat UUD". Ketika Presiden kembali, Angkatan Darat pun mengerahkan massa di depan Istana. Bung Karno berpidato bahwa ia akan bertindak "atas dasar keinginan mayoritas". Rupanya Bung Karno ingin aman, mengingat 17 Oktober 1953 ia pernah menolak desakan tentara untuk membubarkan parlemen waktu itu, dan mengatakan "tak ingin menjadi diktator". Esoknya, ada sidang di Istana Bogor menyiapkan dekrit. Sorenya, 5 Juli 1959, membacakan dekrit itu, di depan massa yang dikerahkan oleh gabungan pemuda danmiliter. Acara yang serupa dilakukan para panglima di daerah-daerah. Indonesia pun tak perlu mencari UUD baru: cukup kembali ke UUD yang disusun di tahun 1945, ketika Indonesia menyiapkan kemerdekaannya dengan diketahui tentara pendudukan Jepang. Sambutan masyarakat umumnya cukup positif, mungkin karena lega bahwa bagaimanapun suasana "layangan pedhot" tampak akan berakhir. Sebagai hasil pertama Dekrit: Presiden kuat posisinya sebagai pemegang kekuasaan utama, tak cuma sebagai simbol seperti masa pra 5 Juli 1959. Masa itu, sistem demokrasi parlementer ala Eropa Barat diterapkan, dan kabinetdengan gampang jatuh, hingga tak ada stabilitas pemerintahan. Tetapi setelah Dekrit, lahirlah "demokrasi terpimpin" dan "ekonomi terpimpin". Perusahaan asing diambil alih dan dikelola oleh pejabat pemerintah, khususnya dari tentara. Harga-harga ditetapkan. Antrean panjangmulai tampak untuk membeli barang sehari-hari. Pers diberangus, makin lama makin sering. Pada zaman itu wartawan terkenal Mochtar Lubis dipenjara. Suasana darurat perang dan "revolusi" berkibar. Hukum dikepit oleh kekuasaan: Ketua Mahkamah Agung, misalnya, disejajarkan dengan menteri. Bekas Wakil Presiden Bung Hatta mengecam semua itu dalam sebuah brosur kecil,Demokrasi Kita, tapi buku itu dilarang. Muhammad Natsir menyebut Demokrasi Terpimpin "sebagai penindasan dari si mahakuat terhadap si lemah". Dalam penuturan seorang anggota Konstituante dari PSI (Partai Sosialis Indonesia), Hamid Algadri, Masyumi memang yang ngotot agar soal hak-hak asasi manusia yang tercantum jelas dalam UUD 1950 dicantumkan kembali jika UUD 45 diberlakukan. Itu perbedaan antara Masyumi dan PSI waktu itu: PSI mau menerima UUD 45 "apa adanya". Yang dikhawatirkan PSI, kata Hamid Algadri, adalah bilaBung Karno jadi kian dekat dengan PKI, yang mendukung kembalinya UUD 45. Tapi apa daya: akhirnya baik Masyumi maupun PSI, yang dinilai terlibat dalam pemberontakan daerah, dibubarkan. Dan meskipun pihak tentara berusahamelemahkan PKI, akhirnya PKI toh berjaya dan kian dekat dengan Bung Karno. Kekuasaan Bung Karno memuncak: ia diangkat menjadi presiden seumur hidup. Semua itu kini dinilai sebagai "penyelewengan". Mungkin karena kekuasaan presiden jadi begitu besar dan tak terkontrol. Ironisnya, kekuasaan yang besaritu memang dimungkinkan oleh UUD 45 sendiri, yang kini juga masih berlaku. Priyono B. Sumbogo dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini