Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skandal suap mengguncang lagi Mahkamah Konstitusi. Lewat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pekan lalu, hakim konstitusi Patrialis Akbar terbongkar menerima sogok. Kredibilitas Mahkamah semakin hancur-lebur setelah dihantam kasus suap Ketua MK Akil Mochtar.
Mirip kasus Akil pada 2013, suap terhadap Patrialis berkaitan dengan wewenang Mahkamah. Sementara kasus suap Akil yang berasal dari Partai Golkar bertalian dengan sengketa pemilihan kepala daerah, sogokan kepada Patrialis berhubungan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ia diduga menerima setoran lebih dari Rp 2 miliar dari juragan pengimpor daging sapi.
Bersama Patrialis, tiga orang yang terlibat penyuapan ditetapkan sebagai tersangka. Pihak penyuap diduga pengusaha yang menolak penghapusan aturan impor daging berbasis zona, bukan basis negara. Aturan ini memungkinkan pengimpor mendatangkan daging sapi dari negara yang belum benar-benar bebas dari penyakit mulut dan kuku.
Aturan longgar itu dianggap membahayakan ternak lokal oleh pemohon uji materi. Permohonan yang diajukan pada 2015 ini sebetulnya mengulang uji materi serupa pada 2010. Saat itu MK mengabulkan penghapusan impor daging sapi berbasis zona dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan. Tapi Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah kembali memasukkan kata "zona" ke Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014.
Komisi antirasuah mesti mengungkap tuntas suap itu. Boleh jadi hakim konstitusi yang lain terlibat karena untuk mempengaruhi putusan tak cukup menyogok seorang hakim. Pembenahan MK juga perlu dilakukan lantaran kasus Patrialis, yang berlatar belakang politikus Partai Amanat Nasional, membuat Mahkamah semakin tidak amanah.
Ketika Patrialis dicalonkan pada 2013, sebetulnya sudah muncul penolakan karena rekam jejaknya tidak terlalu bagus. Tatkala menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, ia sering dihujani kritik lantaran sikapnya yang pemurah pada koruptor. Obral remisi diberikan kepada terpidana korupsi, antara lain mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, yang juga besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Syarat calon hakim konstitusi memang terlalu longgar. Hanya pengalaman dan pengetahuan hukum yang diutamakan, sedangkan soal integritas dan independensi calon tidak ditonjolkan. Proses seleksinya pun diserahkan kepada tiga lembaga tinggi yang berwenang mengajukan kandidat, yakni Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Ketiga lembaga itu mendapat jatah masing-masing tiga kursi hakim konstitusi.
Setelah mencuat skandal Akil Mochtar, syarat calon hakim konstitusi sempat diperketat lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Dalam peraturan ini ditegaskan calon hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Diatur pula, kandidat tidak menjadi anggota partai politik dalam tujuh tahun terakhir. Proses seleksi pun telah diperbaiki dengan melibatkan Komisi Yudisial.
Hanya, semua aturan yang sudah mengadopsi pola seleksi hakim konstitusi di sejumlah negara maju itu berantakan. Soalnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 yang mengesahkan perpu tersebut kemudian dibatalkan oleh MK sendiri lewat uji materi—putusan yang sebetulnya tidak etis karena berkaitan dengan lembaga sendiri.
MK kini memetik buah kesewenang-wenangannya. Skandal suap Patrialis mencuat dan publik akan sulit mempercayai lagi lembaga ini. Presiden dan DPR harus turun tangan mengatasi darurat ketatanegaraan ini. Kita bisa belajar dari negara yang sudah lebih lama memiliki mahkamah konstitusi. Syarat menjadi hakim konstitusi di Hungaria, misalnya, amat ketat. Kandidat harus benar-benar independen dan tidak berlatar belakang sebagai anggota partai politik. Syarat serupa juga diberlakukan di Korea Selatan.
Perbaikan syarat dan seleksi hakim konstitusi bisa dicoba lagi lewat perpu. Hanya, perpu itu juga harus membatasi wewenang Mahkamah Konstitusi. Perlu ditegaskan bahwa MK tidak berwenang memutus uji materi yang berkaitan langsung dengan urusan lembaga ini. Artinya, jika perpu tersebut disahkan oleh DPR, Mahkamah tak berhak mengoreksi lagi.
Bila aturan ini tetap dilanggar oleh MK, sungguh keterlaluan. Skandal Akil dan Patrialis sudah jelas menghancurkan reputasi lembaga penting ini. Jangan sampai publik harus mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat turun tangan hanya untuk membatasi wewenang Mahkamah lewat amendemen konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo