Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dijadikan tersangka perkara penyuapan pengadaan pesawat Airbus SAS dan mesin pesawat Rolls-Royce Plc di Garuda Indonesia, dua pekan lalu. Ia diduga menerima uang Rp 20 miliar dan barang bernilai US$ 2 juta dari Rolls-Royce. Uang diterima secara bertahap dari Soetikno, pendiri PT Mugi Rekso Abadi, yang juga menjadi tersangka.
Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut kasus ini tahun lalu, bekerja sama dengan lembaga antikorupsi Inggris dan Singapura. Hasil penyidikan mereka, Rolls-Royce diduga menyogok sejumlah pejabat di berbagai negara, seperti Indonesia, Cina, Rusia, Thailand, dan Malaysia, agar membeli mesin pesawat kepadanya.
Di Jakarta, pekan lalu, kantor Garuda digeledah. Vice President Corporate Communication Garuda Indonesia Benny S. Butarbutar mengatakan perkara ini tak mempengaruhi kegiatan perusahaan pelat merah itu. Dalam edisi November 1979, majalah Tempo menulis artikel dengan judul "Kenapa Mesti Merugi, Garuda?" Artikel ini mengulas aksi para pilot Garuda yang menuntut perbaikan kesejahteraan.
Malam itu, November 1979, suasana di ruang pertemuan DKI Jaya tak ubahnya rapat akbar. Sekitar 1.500 pasang mata pilot, teknisi, dan karyawan Garuda lainnya, lewat wakil masing-masing, dibiarkan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Sudomo mengeluarkan unek-unek sampai puas. Selesai acara yang lebih dari dua jam itu, Sudomo meminta segenap karyawan Garuda menunjuk lima wakil untuk menyusun konsep perbaikan, untuk kemudian disodorkan ke pimpinan Garuda dan Pangkopkamtib.
"Sebaiknya itu diperjuangkan lewat Korpri," kata Sudomo, yang telah meninggal pada April 2012. Tuntutan para pilot itu tak berubah: perbaikan kesejahteraan sosial berupa struktur gaji, uang makan dan lembur, fasilitas kesehatan, perumahan, asuransi, dan pensiun.
Direktur Utama Garuda Wiweko, yang bersama staf Garuda lainnya datang ke DKI dengan naik VW Combi, malam itu tak mau bicara. Mengenakan baju kerja putih lengan pendek tanpa dasi, dengan sepatu Adidas cokelat, bos Garuda itu kelihatan murung. Sebentar-sebentar dia meletakkan telapak tangan kirinya ke dagu, sembari memandang ke arah para pilot dan karyawannya yang memadati ruang pertemuan DKI Jaya. Dia juga mengelak memberi keterangan pers.
Esoknya, dalam acara dengar pendapat yang kemudian batal di Dewan Perwakilan Rakyat, adalah Salman Wardani yang diminta tampil membacakan kata pengantar Direktur Utama Garuda. Pimpinan Garuda kembali mengimbau agar karyawan mau "hidup prihatin dan menjauhi cara hidup yang over consumptive".
Juga ditekankan bahwa "daya pemupukan modal atas dasar kemampuan sendiri (berdikari) dan bersumber pada potensi nasional adalah syarat mutlak agar kelestarian usaha dapat terjamin". Tak lupa dipaparkan daftar keuntungan sejak 1969. Garuda, yang untung lebih dari Rp 6 miliar pada 1974, lebih dari Rp 11 miliar pada 1976, dan di atas Rp 7,7 miliar dari 1978, menurut pimpinannya diperkirakan menderita kerugian tahun itu. Sejak awal 1979 sampai September lalu—demikian kata laporan itu—ada kerugian sebanyak Rp 4,1 miliar lebih.
Pendapatan selama itu tercatat Rp 143,96 miliar, tapi biaya yang dikeluarkan Rp 147,66 miliar. Pendapatan tersebut 53 persen berasal dari operasi dalam negeri dan sisanya dari operasi di luar negeri. Kenop 15 (Kebijakan 15 Nopember) dan dilarang terbangnya semua pesawat DC-10 untuk beberapa lama setelah kecelakaan di atas Chicago, Amerika Serikat, dianggap sebagai biang keladi kerugian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo