Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI zaman susah, sulit mencari orang baik—demikian ujaran kebijakan lama. Ujaran itu kembali teringat ketika majalah ini mengulangi "tradisi"-nya: mencari kepala daerah terbaik untuk edisi khusus ini.
Bagaimana tak susah. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, sejak pemerintah memberlakukan otonomi daerah pada 1999, terdapat 361 kepala daerah yang tercemar korupsi. Jumlah itu meliputi 343 bupati atau wali kota dan 18 gubernur. Belum termasuk kepala daerah yang diringkus Komisi Pemberantasan Korupsi hingga akhir tahun lalu.
Kasusnya berbagai-bagai. Umumnya kepala daerah itu tersangkut korupsi anggaran dan perizinan. Belakangan, muncul "varian" baru: jual-beli jabatan. Untuk kasus ini, "sripanggung"-nya yang kesohor sampai saat ini adalah Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini. Disebut "baru" pun sebetulnya tak cocok, karena praktek ini sebetulnya sudah berlangsung lama—dan belum tentu hanya di Klaten.
Kalau begitu, kriteria apa yang patut digunakan untuk pemilihan kali ini?
Syarat mutlak tetap: bebas korupsi. Syarat ini tak bisa ditawar. Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang paling berat, dan jenis kejahatannya juga paling hina, yakni mencuri uang rakyat. Syarat berikutnya adalah kemampuan berinovasi yang orisinal dan bersifat terobosan. Untuk menghindari tampilnya "bintang-bintang lama", ditambahkan syarat terakhir: kepala daerah yang belum banyak terpublikasi.
Soalnya, dalam diskusi yang melibatkan sejumlah lembaga, selalu muncul nama lama: Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Bojonegoro Suyoto, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo. Tanpa mengurangi rasa hormat, kalau mereka tampil lagi, sulit menghindari kesan bahwa kita sebetulnya hanya jalan di tempat.
Melalui berlapis-lapis seleksi dan berbagai metode check and recheck, akhirnya muncul empat nama: Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, Wali Kota Makassar Ramdhan "Dhanny" Pomanto, Bupati Tapin Arifin Arpan, dan Bupati Malinau Yansen Tipa Padan. Empat nama di luasan bentangan Nusantara, alangkah kesepiannya mereka! Karena itu, sebagai "pendamping", kami pilih enam kepala daerah berprestasi yang sebelumnya "dipinggirkan": Tri Rismaharini, Suyoto, Nurdin Abdullah, Ridwan Kamil, Abdullah Azwar Anas, dan Yoyok Riyo Sudibyo—sebagai "Kepala Daerah Teladan".
Keempat tokoh terpilih ini memiliki ciri mendasar yang sama, yakni mengutamakan pelayanan kepada penduduk dan melibatkan masyarakat dalam sebagian besar kebijakan. Transparansi kebijakan ini membuat rakyat mendapatkan kembali kepercayaannya kepada pemuka masyarakat. Sebetulnya ini masalah-masalah sederhana yang sering terlupakan ketika para pemimpin—termasuk di daerah—mulai berpikir untuk mengibuli rakyat.
Majalah ini tentu tak menafikan kemungkinan adanya kepala daerah yang terlewatkan, yang sebetulnya juga berhak tampil. Bak kata penyair Chairil Anwar, "kerja belum selesai, belum apa-apa". Kami akan terus mencari putra-putra terbaik Tanah Air, yang dengan tulus menyalakan lilin di kegelapan. Di tengah silang sengkarut pergulatan politik yang sebagian besar tak layak diteladankan, kami yakin Indonesia masih merupakan tanah air yang berpengharapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo