Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANCAMAN Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault untuk menarik mundur kontingen Indonesia di hari-hari terakhir SEA Games ke-24 di Nakhon Ratchasima, Thailand, boleh dikata menambah lengkap kegagalan tim Merah-Putih. Sudah gelar juara umum melayang jauh, gertakan Pak Menteri, yang murka akibat taekwondoin Indonesia dicurangi wasit, telah mencoreng sejarah pesta olahraga Asia Tenggara itu.
Kecurangan wasit-sesuatu yang selalu terjadi di SEA Games-harus diprotes, tapi tidak perlu seorang menteri yang melakukannya. Serahkan saja urusan itu kepada tim manajer taekwondo Indonesia. Mengancam mundur bisa-bisa mendatangkan sangkaan bahwa Indonesia sedang mencari kambing hitam atas prestasi buruknya.
Katakanlah taekwondoin Indonesia merebut semua medali emas; itu belum berarti untuk mendongkrak posisi. Bahkan kalau target 65 emas kontingen Indonesia bisa dicapai, jumlah pinggan emas yang dikumpulkan itu masih belum separuh dari jumlah yang disabet tuan rumah. Perolehan 53 medali emas Indonesia dibandingkan 174 emas yang direbut Thailand, sampai Jumat malam, merupakan ketertinggalan terjauh Indonesia sepanjang sejarah SEA Games. Indonesia hanya meraih tempat keempat.
Fakta ini lebih menyesakkan dada bila diingat Indonesia selalu meraih gelar juara umum sejak ikut SEA Games pada 1977, kecuali ketika Thailand menjadi tuan rumah pada 1985 dan 1995. Dari 17 kali SEA Games, Indonesia 13 kali juara umum. Bahkan rekor perolehan medali emas terbanyak, yaitu 200 medali emas, masih dipegang Indonesia dalam SEA Games Jakarta 1997. Setelah itu, sejak 1999 prestasi Indonesia terus merosot dan belum ada tanda-tanda perbaikan yang berarti.
Yang merosot bukan hanya perolehan medali emas, tapi juga catatan rekor atlet. Di cabang atletik, sejak 2001 hanya seorang Supriati Sutono yang memecahkan rekor lari 5.000 dan 10 ribu meter. Masih lumayan pada 2007 ada pelari Triyaningsih yang memecahkan rekor Supriati di Nakhon Ratchasima. Di cabang renang juga paceklik rekor. Dari 32 rekor renang SEA Games, hanya satu yang diukir perenang Indonesia Richard Sam Bera. Itu pun diciptakan pada 2001.
Tentu saja, krisis ekonomi 1997 ada kaitannya dengan merosotnya prestasi olahraga Indonesia. Tapi krisis tak bisa dijadikan kambing hitam terus-menerus. Harus diakui, ada yang keliru dalam pembinaan olahraga Indonesia. Pembina olahraga di Indonesia tak pernah berpikir jangka panjang dan selalu memilih jalan pintas untuk meraih prestasi. Setiap kali Pekan Olahraga Nasional berlangsung, setiap kali pula terdengar daerah-daerah "membeli" atlet-atlet yang sudah "jadi" dan siap menyumbangkan medali untuk "keharuman" nama daerah. Biaya besar dikeluarkan bukan untuk membina prestasi atlet, tapi untuk membeli medali.
Dengan cara begitu, regenerasi atlet tak terjadi, sementara atlet utama mulai menua dan menurun prestasinya. Cabang renang dan tinju yang tak merebut satu emas pun di Thailand kali ini adalah satu contohnya.
Disarankan menghidupkan kembali berbagai kejuaraan di tingkat daerah sampai nasional, terutama cabang atletik sebagai ibu olahraga, juga senam dan renang. Tiga cabang itu, selain dipertandingkan sampai tingkat Olimpiade, juga merupakan pemilik medali terbanyak di setiap multi-event games. Menteri Pemuda dan Olahraga bisa punya peran besar di sini. Peran yang pasti lebih bermakna ketimbang marah-marah di negeri orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo