Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Optimisme dalam Ancaman

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibarat pesawat terbang, laju perekonomian Indonesia sebenarnya sudah mendekati kecepatan tinggal landas. Sayangnya, dua gumpal awan terbentang di depan. Harga minyak bumi tinggi dan melambatnya laju ekonomi dunia yang terbebani krisis perbankan di negara maju. Akibatnya, upaya mengangkasa tak akan semudah di kala cuaca perekonomian mancanegara sedang cerah. Bahkan, tanpa persiapan yang matang, bukan tak mungkin pesawat malah akan terhempas. Ini memang tantangan berat bagi pilot yang mengendalikan ekonomi nasional. Kesempatan naik terbuka, tapi ancaman juga menghadang.

Ancaman itu tak dapat dihilangkan karena berasal dari luar. Maka tak ada pilihan kecuali memaksimalkan kondisi di dalam. Beban subsidi BBM, misalnya, mau tak mau harus diminimalkan, sedangkan pelaksanaan pembangunan infrastruktur wajib dilekaskan. Secara ekonomi ini mudah dilakukan, tapi secara politik hambatannya sungguh memusingkan kepala.

Ambil contoh kebijakan penjualan premium. Dengan harga BBM saat ini, setiap liternya disubsidi pemerintah hampir Rp 3.000. Jika rata-rata pemilik mobil pribadi menghabiskan 400 liter sebulan, ini berarti pemerintah mensubsidi pemilik mobil lebih dari Rp 1 juta sebulan atau lebih dari Rp 12 juta setahun. Mengingat hampir separuh rakyat Indonesia hidup dengan biaya di bawah Rp 600 ribu sebulan, ini adalah kebijakan tak bermoral. Bagaimana tidak? Mobil pribadi umumnya hanya dimiliki oleh lima persen keluarga terkaya di Indonesia.

Kelompok terkaya ini juga banyak memakai listrik yang pengadaannya kini juga semakin membutuhkan subsidi. Maklum, masih cukup banyak generator PLN yang digerakkan oleh BBM. Memang, pemerintah telah mengadakan proyek untuk menggantinya dengan pembangkit listrik yang menggunakan batu bara, namun kebanyakan belum beroperasi. Percepatan kegiatan ini jelas harus dilakukan selekasnya agar banyak dana publik dapat dihemat. Bukankah lebih baik menggunakannya untuk membantu jutaan rakyat jelata mengentaskan diri dari kemiskinan ketimbang memboroskannya untuk membantu kalangan yang berpunya.

Apalagi mereka yang sudah kaya-raya ini juga menerima subsidi yang lain. Para pemilik bank swasta dan yang mempunyai uang simpanan dalam jumlah besar menikmati bunga SBI. Tahun ini saja diperkirakan besarnya subsidi bunga SBI lebih dari Rp 30 triliun. Wajar kalau dalam kurun waktu ini pertumbuhan keuntungan sektor perbankan pun mencapai lebih dari 30 persen.

Bank Indonesia, harus diakui, telah mencoba mengatasi masalah ini dengan terus-menerus menurunkan suku bunga SBI. Sebagian dana swasta pun telah berpindah ke instrumen keuangan yang lebih menjanjikan prospeknya. Ini gejala yang baik namun, sayangnya, sebagian besar dana pensiun dan uang pemerintah lainnya masih merasa nyaman menikmati bunga SBI. Besarnya, menurut pejabat BI, lumayan juga, sekitar Rp 140 triliun. Ini jelas tak sehat karena menciptakan ekonomi tipe "jeruk makan jeruk".

Padahal, dana itu sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih produktif seperti membangun infrastruktur atau disalurkan ke pengusaha kecil dan menengah. Bila dikelola dengan baik, penyaluran kredit ke pengusaha kecil memberikan keuntungan yang besar dengan risiko minimal. Ini telah dibuktikan oleh Bank Danamon yang dalam tiga tahun berhasil menyalurkan kredit sekitar Rp 9 triliun kepada hampir setengah juta pengusaha kecil. Hal ini dapat dilakukan karena proses pemberian pinjaman semata-mata mengacu kepada analisis kredit yang baik sehingga tak membutuhkan agunan.

Agunan ternyata memang tak diperlukan. Buktinya, tingkat kredit macet berada di bawah 5 persen. Dapat dibayangkan keuntungan yang diraih karena besarnya suku bunga yang diterapkan sekitar 30 persen, sementara bunga deposito hanya sekitar 6 persen.

Penyaluran dana ke pengusaha kecil dan untuk pembiayaan infrastruktur ini punya banyak kelebihan. Utamanya uang akan berputar di dalam negeri dan risikonya minimal karena kecil kemungkinannya nasabah maupun aset mereka dapat lari ke luar negeri-seperti yang banyak dilakukan konglomerat hitam. Di Malaysia dan Singapura hal ini sudah diterapkan dengan baik. Dana pensiun banyak ditanam dalam pembiayaan jalan tol dan perumahan rakyat. Karena tarif dan harga jual proyek-proyek seperti ini ditentukan dan dikelola pemerintah, maka risiko ruginya sangat minimal. Kalaupun perlu disubsidi, seperti sebagian jalan tol di Malaysia, masyarakat umumnya tak keberatan karena akhirnya mereka juga yang akan menikmati subsidi itu ketika pensiun.

Kiat sukses negara jiran itu selayaknya kita tiru. Mungkin tak semua subsidi dapat dihapus dan memang tak perlu. Yang penting, subsidi diberikan bukan untuk memanjakan mereka yang mampu, melainkan untuk mengentaskan yang miskin atau menjadi katalisator untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ibarat pesawat terbang, para penumpang kelas satu diminta membuang dulu sebagian bagasinya yang berlebihan. Bila beban ekonomi Indonesia lebih ringan, ancaman dari luar lebih mudah diatasi. Maka pasang tali pengaman, buang subsidi yang dinikmati kalangan berpunya, dan mari rebut peluang: tinggal landas bersama-sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus