Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BIBIT korupsi, sekecil apa pun, sedini mungkin harus segera dibasmi. Karena itu, langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut sekitar 20 pejabat terkait dengan kasus dugaan gratifikasi perlu didukung. Mereka, di antaranya para pejabat badan usaha milik negara, harus memberi klarifikasi atas hadiah yang mereka terima. Jika terbukti pemberian itu berkaitan dengan jabatannya, mereka harus mempertanggungjawabkannya di depan pengadilan tindak pidana korupsi.
Sejatinya gratifikasi selama ini sudah akrab dengan pejabat kita. Bentuknya macam-macam. Dari voucher belanja, pemberian tiket pesawat, kiriman parsel, hingga ditraktir main golf. Bentuk hadiah ini biasanya akan makin ”wah” jika pejabat tersebut menggelar acara penting semisal pesta pernikahan atau ulang tahun. Padahal, seperti sebuah ungkapan, ”tak ada makan siang yang gratis”. Mesti ada sesuatu di balik pemberian itu.
Soal pesta ulang tahun inilah yang membuat Bupati Lampung Tengah, Andy Achmad Sampurna Jaya, baru-baru ini diperiksa KPK. Pesta ulang tahun Pak Bupati yang ke-59 ini memang luar biasa. Acaranya digelar di Balai Kartini, salah satu gedung paling bergengsi di Ibu Kota. KPK ”mencium” aroma kental gratifikasi di balik pesta yang dipenuhi para artis itu. Selain soal pesta, Andy juga diinterogasi seputar koleksi kerisnya yang berjumlah lebih dari 200 bilah, sebagian di antaranya bergagang emas.
Memberi hadiah yang klop dengan kegemaran seorang pejabat memang merupakan ”pintu masuk” yang jamak dilakukan pelaku bisnis. Ini diyakini sebagai cara ampuh untuk mendekati sang pejabat. Dari sini hubungan bisa akrab dan, ujung-ujungnya, proyek yang diinginkan akhirnya berada di tangan. Dalam kasus ”keris Andy”, KPK memang harus menelisik, adakah pemberian itu berbuah imbalan dari Pak Bupati.
Jika ada kaitannya, Andy bisa dianggap menerima suap. Berarti ia korupsi.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang menegaskan bahwa setiap gratifikasi pada dasarnya adalah suap jika tidak dilaporkan kepada KPK. Undang-undang ini mewajibkan, dalam tempo paling lama 30 hari, penyelenggara negara yang menerima hadiah wajib melapor ke KPK. Sanksi bagi pelanggar pasal gratifikasi cukup berat. Bisa dipidana seumur hidup atau dipenjara minimal empat tahun.
Aturan gratifikasi sudah jelas, namun hingga kini para pejabat publik yang melaporkan bahwa pernah menerima hadiah sangat minim. Dalam catatan KPK, selama tahun ini, dari empat juta penyelenggara negara, hanya sekitar 300 orang yang melapor. Padahal, sudah menjadi rahasia umum kalau banyak pejabat kita yang tak alergi terhadap hadiah. Mengacu pada ketentuan ini, mereka yang mendapat hadiah dan tidak melapor itu sudah masuk kategori diduga menerima suap. Sebab itulah, pengusutan terhadap jenis kejahatan ini harus tuntas dan tanpa pilih bulu.
Upaya pengusutan ini memang bukan pekerjaan mudah, namun jangan sampai hal ini menyurutkan semangat aparat penegak hukum. Kampanye gerakan antigratifikasi ke segenap pejabat publik harus terus digalakkan. Jika perlu, umumkan saja bahwa KPK memberi penghargaan bagi siapa pun yang memberi informasi adanya pejabat yang menerima gratifikasi. Tak ada salahnya jika cara ini dicoba sebagai pancingan.
Sudah saatnya kita memiliki undang-undang yang mengatur pelaku bisnis dalam hal berhubungan dengan pejabat. Peraturan ini, misalnya, memuat hal-hal yang tidak boleh diberikan kepada sang pejabat, lengkap dengan sanksi jika dilanggar. Dengan demikian, sanksi hukum pelanggar gratifikasi tidak hanya menimpa penyelenggara negara, tapi juga tertuju kepada sang pengusaha, kelompok yang selama ini paling rajin memberi hadiah kepada para pejabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo