Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN membubung itu luruh. Konferensi Perubahan Iklim di Bali ternyata tak menghasilkan kesepakatan penting yang mengikat semua negara dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Tak ada target baru yang memperbesar penurunan emisi secara lebih drastis. Ini berarti bumi akan semakin panas tanpa kendali dan siap menciptakan bencana pada umat manusia.
Protokol Kyoto menetapkan bahwa negara-negara industri mengurangi emisi karbon sekitar 5 persen pada 2008-2012 dibandingkan dengan tingkat emisi mereka pada 1990. Angka ini tak lagi memadai. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan bahwa dampak perubahan iklim sudah semakin gawat. Dibutuhkan tindakan sangat berani untuk memastikan pengaruh dari perubahan iklim agar tak meluas. Caranya, target penurunan emisi harus diperbesar (deeper cut) menjadi 25-40 persen pada 2020.
Uni Eropa dan negara berkembang yang tergabung dalam G-77 setuju. Negara-negara ini bahkan meminta kesepakatan itu bersifat mengikat dan dimasukkan ke Deklarasi Bali. Hanya empat negara yang tergabung dalam Umbrella Group—Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia—yang menjegalnya habis-habisan.
Memang Konferensi Bali hanya memberikan kerangka arah penyelamatan bumi. Dari sini Peta Jalan Bali disusun. Kata akhir kesepakatan 189 negara baru akan ditentukan dalam konferensi di Denmark pada 2009, yang sekaligus menjadi pengganti Protokol Kyoto. Tapi apa artinya sebuah kerangka bila tak jelas ke mana arah yang dituju.
Inilah bukti bahwa ”egoisme negara maju” seperti disindir Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon masih tak tergoyahkan. Mereka tetap mementingkan pertumbuhan ekonomi semata, tanpa peduli bahwa negara berkembanglah yang kelak merasakan penderitaan terbesar akibat pencemaran besar-besaran oleh industri mereka. Negara berkembang adalah ”toilet raksasa” bagi mereka.
Apakah kita akan membiarkan ketidakadilan iklim terus berlangsung tanpa berbuat apa pun? Penyelamatan bumi tak hanya bergantung pada satu atau beberapa negara, tapi pada prakarsa setiap anggota masyarakat di seluruh dunia. Eco-lifestyle, gaya hidup prolingkungan, pada akhirnya akan menjadi lokomotif perubahan iklim ke arah yang lebih baik.
Anda dan keluarga, misalnya, mulai kini usahakan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, penggunaan AC, obat nyamuk semprot, tisu, konsumsi plastik, mengganti kompor minyak dengan elpiji, menyalakan listrik seperlunya, membiasakan memakai kertas daur ulang, tak membuang batu baterai sembarangan, hingga membiasakan memisahkan sampah organik dan non-organik. Ini tindakan paling praktis, sederhana, dan amat signifikan untuk menyembuhkan demam sang bumi.
Bagi Indonesia, motivasi melambung untuk menurunkan emisi karbon dari deforestasi hendaknya tak pula menyurut. Kita telanjur malu dicap sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Karena itu keputusan Gubernur Papua Barnabas Suebu yang tak membiarkan kayu gelondongan keluar dari Provinsi Papua, dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang menghentikan semua penebangan hutan, patut didukung.
Usaha mencari bahan bakar alternatif, seperti dilakukan sebuah pabrik semen yang mengganti bahan bakar minyak dengan sekam padi dan kulit kelapa sawit, juga bisa menjadi contoh. Begitu pun Institut Teknologi Bandung yang kini mendesain beton hijau dengan mengurangi semen dan menggantinya dengan limbah pembakaran batu bara (abu terbang) yang memangkas emisi karbon hingga 20 persen. Ini prakarsa terpuji dan memberikan inspirasi kepada masyarakat.
Komitmen negara-negara maju tetap perlu, tapi lebih perlu lagi jika kita mampu menggugah minat masyarakat untuk hidup sehat dan bersahabat dengan alam semesta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo