Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mana Dadamu, Nasionalisme?

Globalisasi terlalu tangguh. Dibutuhkan kekuatan atau kepintaran, bukan nasionalisme.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah sibuk gali lubang-tutup lubang untuk bayar utang, repot pula dengan kecolongan pelarian modal keluar. Ekonomi kita yang goyah makin limbung oleh tuntutan dunia dan ASEAN untuk meliberalisasi investasi dan perdagangan mulai tahun 2003. Pemerintah kemudian bersikap siaga dan membatasi ekspansi modal asing (PMA) ke sektor kehutanan dan perkebunan, perhubungan, perdagangan, dan penerangan. Pembatasan ini berlaku sejak 16 Agustus 2000. PMA, meski dibatasi, tetap berperan sebagai pedang bermata dua. PMA membuka lapangan kerja dengan tingkat gaji lebih tinggi daripada standar nasional. Mereka juga menyisakan dana untuk membantu pendidikan SDM lokal, plus biaya penelitian. Tapi kontribusi yang masuk tak seimbang dengan keuntungan yang dibawa keluar—hal lumrah dalam kegiatan bisnis bila dilakukan dalam batas wajar. Kekhawatiran bahwa Indonesia bakal terkeruk habis ini sudah ada sejak konglomerat kakap Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai berdagang di Indonesia pada awal abad ke-17. Pada awal Perang Dunia II, 20 persen kemakmuran Belanda disumbang oleh perekonomian kolonial Indonesia. Sektor pertambangan minyak, timah, batu bara, hasil bumi, dan terutama gula, di Indonesia menjadi sumber utama kesejah-teraan Belanda. Politik pengurasan hanya berminat pada produk, bukan pada manusianya. Jajahan Belanda termasuk yang terburuk di dunia. Perang Dunia II, politik bumi hangus tahun 1942 dan 1945, membuat pemerintah Hindia Belanda menyatakan diri bangkrut pada 21 April 1947. Salah satu butir dalam Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947) dan Konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) pada pokoknya mengakui hak kepemilikan usaha asing, terutama Belanda. Pada 1950-an, setelah menyerahkan kedaulatan kepada RI, kegiatan monopoli perusahaan Belanda di bidang pelayaran dan penerbangan, yaitu Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), dan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), terus meningkat. Perusahaan-perusahaan Belanda yang disebut big five (Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Borsumij, Internatio, dan Lindeteves) mengambil seluruh bisnis ekspor-impor Indonesia. Selain berdagang, mereka berinvestasi dalam perkebunan, manufaktur, dan pertambangan. Di pertambangan, peran utama dimainkan oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dan dua perusahaan minyak AS, Caltex dan Stanvac. Waktu itu, struktur ekonomi Indonesia terdiri atas tiga lapis. Seluruh sektor modern dipegang orang Eropa, sektor distribusi menengah dikuasai kelompok etnis keturunan Cina dan beberapa gelintir pribumi, sementara ladang nafkah pribumi adalah sektor pertanian, itu pun hanya di bidang produksi. Bidang perdagangannya, yang jauh lebih menguntungkan, tetap di tangan pedagang tradisional Indonesia sejak zaman VOC, yaitu grosir dan ritel pedagang etnis Cina. Main Nasionalisasi Konferensi Meja Bundar 1949 menunda perundingan Belanda-Indonesia tentang Irian sampai setahun kemudian. Belanda terus mengelak. Kasus Irian terus dibendung dari agenda PBB. Dalam blokade ini, Belanda dibantu penuh oleh Australia dan AS. Reaksi pertama Indonesia: pemutusan hubungan Uni Belanda-Indonesia, termasuk monopoli dagangnya. Agitasi politik di dalam negeri terus menyala. Kaum radikal kiri makin dapat angin. TNI selalu mengimbangi dengan sukses, misalnya mengatasi masalah PRRI dan Permesta, yang sarat dengan subversi AS dan Australia. Pada 1958, pemerintah RI akhirnya melancarkan "program nasionalisasi", mengambil-alih perusahaan-perusahaan Belanda yang makin terkepung itu. SOBSI, organisasi buruh PKI, menguasai perusahaan Belanda dari bawah. TNI menduduki semua jabatan manajemennya. Dunia heboh. Setahun kemudian, Sukarno melakukan kudeta. Konstituante dibubarkan, Masjumi dan PSI dilarang. Dunia makin heboh ketika Indonesia mulai mendaratkan pasukan di Irian, dan dunia "mengalah". Dengan suara bulat, Irian "kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia". Ketika federasi Malaysia terbentuk, Indonesia protes keras, lalu menghunus senjata. Sukarno benci pada produk ciptaan neo-kolonialisme Inggris itu. Tibalah giliran perusahaan Inggris diringkus. Tapi Shell dengan gesit berkelit dan kembali menjadi perusahaan Belanda, BPM. Ia lolos dari nafsu main sita kita. Sekeluar dari PBB, Indonesia membuat badan tandingan: Conference of Newly Emerging Forces (Conefo). Dunia heboh lagi, Conefo kurang laku, dan ekonomi Indonesia terus merosot sampai ke titik inflasi 600 persen. 'Welcome' PMA Tahun 1965, Sukarno jatuh, Soeharto naik. Sampai 1970-an, ekonomi Indonesia tampak mekar pesat. Modal asing masuk dengan bernafsu, ekonomi dikendalikan oleh sekelompok ekonom Universitas Indonesia yang dijuluki "Mafia Berkeley". Pertengahan 1970-an, sukses pembangunan mulai digerogoti oleh pemerintah sendiri. Laci utama duit kita, Pertamina, dibobol. Lalu, keluarga Presiden berikut saudara, handai-taulan, sahabat, dan kacung-kacungnya berlomba berebut harta. Menyaksikan pemandangan demonstratif itu, semua aparat dan birokrasi Indonesia ramai-ramai turut serta, dari atas sampai bawah, dari Timur sampai Barat. Perusahaan PMA "mengamankan" laju perkembangan perusahaannya dengan memberi saham kepada keluarga Presiden. Se-bagaimana perusahaan nasional, perusahaan asing turut aktif dalam pesta-pora korupsi-kolusi-nepotisme. Dominasi perusahaan Jepang di bidang kendaraan bermotor mencapai sekitar 90 persen dari pasar Asia Tenggara. Toyota, Mitsubishi, dan Nissan tampak paling menonjol. Fiat, Peugeot, Austin, Morris, Chevrolet, Chrysler, Ford—semuanya buatan Eropa dan Amerika—terpukul mundur. Mercedes dan BMW sedikit bertahan. Obral Harta Nasional "Mafia Berkeley" tak sanggup menjinakkan hiu kroniisme. Hutan dan tambang di-kapling dan dijual kepada perusahaan asing melalui serangkaian kontrak karya, dan kepada beberapa konglomerat pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Kekayaan alam dikuras tanpa imbalan seimbang, bahkan meninggalkan monumen-monumen kehancuran alam yang dampaknya akan terasa selama tujuh turunan. Karena Indonesia menganut sistem devisa bebas, modal pun bebas berlalu-lalang. Hal ini sendiri tidak merugikan ekonomi nasional, dan lazimnya tak mengakibatkan pelarian modal ke luar negeri. Yang membuat modal nasional hengkang adalah kebejatan hukum dan penegakannya di Indonesia. Modal nasional tidak mendapat per-lindungan hukum seperti modal asing, yang mendapat perlindungan ekstra dari hukum internasional. Kalau ada cekcok antara penguasa dan modal asing, pemutus sengketa bukan pengadilan Indonesia yang gampang disuap, melainkan badan arbitrase di bawah naungan Bank Dunia. Untuk memperoleh perlindungan setara, para pemodal Indonesia melarikan dulu modalnya keluar, lalu masuk lagi ke Indonesia dengan baju "modal asing". Kuat dan Lemah World Competitiveness Yearbook 2001 menempatkan daya saing Indonesia per April 2001 pada peringkat terbawah dari 49 negara yang dianalisis. Hans-Rimbert Hemmer, dalam workshop "Developing Countries and Globalization", Maret 2001, menyatakan bahwa ketertinggalan Indonesia dalam per-dagangan bebas disebabkan oleh minimnya kemampuan berpartisipasi dalam proses globalisasi. Laporan Transparency International, yang melakukan survei tingkat korupsi berbagai negara, tiap tahun meletakkan Indonesia di tempat-tempat terbawah daftar mereka. Antara korupsi dan daya saing rupanya ada korelasi timbal-balik. Hampir secara refleks orang Indonesia menyalahkan mutu SDM Indonesia. Benarkah itu seluruhnya, atau sebagian saja? Sebut saja birokrasi Indonesia, yang membanggakan moto masyhurnya: "Jika bisa dipersulit, kenapa dipermudah." Tokohnya terus menikmati toto tentrem kerto raharjo, sambil tak henti "nilep". Betapa dahsyatnya kemubaziran itu. Persepsi miring tentang pegawai negeri mengajarkan bahwa setiap orang, betapapun mediokernya, kalau sabar dan pandai membawa diri pasti akan mencapai posisi puncak. Atasan langsung menjadi vital dalam cepat-lambatnya naik pangkat. Maka, "pandai-pandai membawa diri" jadi syarat utama. Mereka pun aktif mengamalkan ajaran penting: "Kalau mau selamat dari kritik, jangan berbuat apa-apa, jangan berkata apa-apa, jangan menjadi apa-apa." Persepsi miring lainnya adalah bahwa pegawai negeri, tak peduli betapapun cerdasnya dia, harus minggir pada umur 60 tahun. Orang-orang sekaliber Ali Alatas, Hasjim Djalal, Hassan Kartadjumena, dan barangkali ratusan lainnya—yang punya pengalaman begitu padat, penguasaan bahasa asing amat bagus, keterampilan berpikir sangat tajam—dibuang sia-sia. Dalam krisis multidimensi ini kita tidak boleh bersikap apa adanya atau "business as usual". Untuk mengatasi kebodohan ber-partisipasi dalam globalisasi, pemerintah mestinya melakukan "sweeping" guna mencari orang-orang yang cerdas. Tapi, sudah nasib bangsa ini, rupanya penguasanya lebih suka kaum penurut ketimbang orang pintar. Masalahnya sebenarnya sederhana: kalau kuat, kita boleh menantang, baik secara politis maupun ekonomis. Kita boleh bilang "go to hell with your aid", boleh sesumbar "makan singkong pun oke". AS bisa begitu. Cina dan Jepang bisa begitu. Eropa bisa. Singapura juga sudah bisa. Kalau belum kuat, harus pintar. Indonesia masih lemah dan belum pintar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus