Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia kini presidensial atau parlementer? Bagi para analis luar negeri, soal ini confusing. Ia membingungkan karena bandul pengaruh tampak jelas berayun ke arah DPR. Hak dan kewenangan DPR yang tadinya cuma ada di Tata Tertib DPR sekarang naik pangkat, masuk ke UUD 1945. Mengangkat atau memberhentikan kepala polisi harus dengan persetujuan DPR. Dalam tarik tambang antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR soal Ketua Mahkamah Agung, akhirnya Presiden "kalah" karena DPR tidak bersedia mengulang mengajukan calon.
Kesan membingungkan itu mungkin juga timbul karena para pengamat sudah terlalu biasa dengan presiden RI yang kuat seperti Sukarno dan Soeharto, atau yang didukung golongan kuat di parlemen, seperti Habibie. Dulu, yang diputuskan oleh pemerintah disambut hangat oleh kor parlemen. Maka, DPR, yang selama 32 tahun berfungsi se-bagai tukang stempel, dianggap merebut kekuasaan presiden ketika menjalankan fungsi sejatinya.
Jadi, siapa sebenarnya yang lebih kuasa: presiden atau parlemen? Tengoklah, anggota DPR juga anggota MPR. Jumlah anggota DPR di MPR lebih dari dua kali lipat anggota MPR yang non-DPR. Jadi, DPR bisa menjatuhkan pemerintah dengan sekadar mengganti "jas" DPR-nya dengan "jas" MPR.
Esensi Presidensial
Menurut sumber perguruan tinggi, arti pokok sistem presidensial adalah presiden sekaligus menjabat kepala pemerintahan dan kepala negara. Selama esensi ini tidak diubah, sistem ini tetap presidensial. Kalau pendapat itu benar, sistem presidensial sama sekali tak ada kaitannya dengan perimbangan kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tiada keanehan apa pun bila seorang presiden dalam sistem presidensial memberi pertanggungjawaban kepada suatu badan perwakilan. Tidak aneh pula bila dalam mengangkat atau memberhentikan seorang pe-jabat tinggi diperlukan persetujuan badan legislatif.
Juga tiada sesuatu yang ganjil jika pihak pemberi mandat tidak memberikan kuasa blangko selama masa jabatannya. Mandat kepada seorang presiden seperti surat kuasa. Si pemberi kuasa bisa mengubah, mengurangi, menambah, bahkan mencabut kuasa yang telah diberikan. Di sepanjang masa kuasa, si pemberi kuasa berhak minta pertanggung-jawaban. Dan itu sama sekali tak mengubah esensi suatu sistem presidensial.
Bangsa Minoritas
Ada semacam asosiasi sistem parlementer dengan kabinet koalisi. Kalau presiden tidak bebas sepenuhnya mengangkat orang-orang dari golongannya sendiri, dan dipaksa mengikutsertakan orang-orang dari golongan lain, itu dianggap mengubah sistem presidensial menjadi parlementer. Di sini sekali lagi terjadi pencampuradukan makna sistem parlementer dan syarat pemerintah yang stabil.
Dalam kasus Indonesia, kabinet presidensial tidak bisa tidak harus kabinet koalisi. Tak satu pun partai politik yang bisa memerintah sendiri. Baik Pemilihan Umum 1955 maupun 1999 menunjukkan dengan amat jelas bahwa bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah minoritas politik.
Para analis politik asing agak keliru ketika mereka menyerukan bahwa calon presiden harus datang dari partai pemenang pemilu, yaitu PDI-P. Kesalahan ini berasal dari kerangka pikir tentang sistem presidensial Amerika Serikat. Secara politis AS tidak terdiri atas sejumlah besar minoritas. Telah lama AS dikendalikan silih berganti antara Partai Republik dan Partai Demokratik.
Konstitusional
Debat apakah suatu tindakan itu konstitusional atau melanggar konstitusi bisa dikatakan sebagai upaya menyembunyikan yang sebenarnya terjadi. Dalam selimut perdebatan itu terjadi adu kekuatan. Sukarno, Soeharto, Habibie, dan Abdurrahman Wahid masing-masing menggunakan UUD yang sama, tapi pemerintahan mereka sangat berbeda.
Ini bisa terjadi karena di antara mereka tiada seorang pun yang menganggap terlalu serius konstitusionalitas suatu tindakan. Ada yang membubarkan partai politik, ada yang memasukkan sistem ekonomi yang meng-ambil ciri terburuk kapitalisme dan ciri terbusuk birokrasi patrimonial. Ada pula yang memburu lawan politik dengan tuduhan makar, atau tuduhan korupsi secara selektif.
Bagaimana pula dengan kudeta? Apakah suatu kudeta itu konstitusional? Apakah Dekrit 5 Juli 1959 itu konstitusional? Apakah Surat Perintah 11 Maret 1966 konstitusional? Perubahan UUD 1945 pada tahun 2000 jelas suatu kudeta konstitusional. Bagaimana dengan Maklumat Presiden 23 Juli 2001 seandainya dikurangi segala macam pembekuan dan pembubarannya?
Suatu kudeta tidak diukur dengan tolok konstitusional atau inkonstitusional, melainkan berhasil atau gagal. Dan itu bukan soal konstitusi atau sistem pemerintahan. Itu soal siapa yang ototnya lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini