Sekitar 30 mahasiswa asal Hindia Belanda pada 1908 mendirikan perkumpulan sosial di negeri Belanda untuk saling menolong. Ketika akan mengurus izin, kota praja bertanya, apa kebangsaan mereka. Mereka tersentak. Mereka biasa berkata asal mereka dari Jawa, Sumatra, Amboina, Banten, dan sebagainya. Pertanyaan itu membuat mereka berpikir, "Apakah kebangsaan kami?"
Di Hindia Belanda, pertanyaan serupa timbul ketika Budi Utomo berdiri, 1908. Kebangkitan nasional dibatasi untuk suku Jawa, Sunda, Madura, Bali. Tapi keadaan berubah cepat. Pelajar STOVIA (Sekolah Dokter Hindia Belanda) dari Sumatra, Jawa, Minahasa, dan Ambon merasa senasib sepenanggungan, sama-sama merasa dihina oleh dokter-dokter Belanda yang menyatakan mutu STOVIA rendah, intelektual-itas dan akhlak anak-anak jajahan itu kurang.
Ketika berkesempatan belajar di Belanda, para lulusan STOVIA seperti Radjiman, Tumbelaka, dan Apituley membuktikan bahwa mereka mampu menyelesaikan studi lebih singkat daripada mahasiswa Belanda umumnya. Pendidikan spesialis diselesaikan Radjiman dengan cepat, Tumbelaka menjadi dokter dalam tiga tahun. Sukses mereka disusul oleh Husein Djajadiningrat, yang mendapat doktor sastra cum laude pada 1913, dan Ratulangi, yang meraih doktor matematika pada 1917. Martabat mahasiswa Indonesia meningkat. Perasaan kebangsaan mereka pun menebal.
Ada beberapa kejadian yang meningkatkan rasa kebangsaan di kalangan mahasiwa. Misalnya, kedatangan Suwardi Surjaningrat, dr. Tjipto Mangunkusuma, dan Douwes Dekker di Belanda dari pembuangan. Lalu, kedatangan Komite Indie Weerbar yang memperjuangkan milisi bagi kaum bumiputra. Kemudian, kedatangan Subardjo, Maramis, Nazir Pamuntjak, dr. Sutomo, Hatta, dr. Sukiman, Iwa Kusumasumantri, yang mengubah Indische Vereeniging menjadi Indone-siche Vereeniging, dan akhirnya Perhimpunan Indonesia. Pada 1925, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan manifesto berisi paparan tentang nation Indonesia, bahwa pemerintahan yang adil harus diusahakan sendiri oleh putra Indonesia.
SI dan PNI
Perkembangan di Hindia Belanda sendiri agak lain. Pada 1916, diadakan kongres nasional pertama Sarekat Islam (SI). Di-kemukakan bahwa SI menuju tingkat "natie" dan berpemerintahan sendiri. Tapi pengaruh Pan Islamisme sangat mewarnai gerakan ini. Persaudaraan sesama agama lebih kuat daripada sesama suku bangsa atau keturunan. SI juga tidak menyembunyikan ketaksukaan terhadap Tionghoa. Konsep SI tak selaras dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada 1927, Sukarno mendirikan PNI dengan platform yang berbeda dengan SI. Setahun sebelumnya, Sukarno mengemukakan gagasan penggabungan nasionalisme, Marxisme, dan Islam. Pemikiran Sukarno berkembang, dan berpuncak pada perumusan Pancasila, 1 Juni 1945.
Menurut Sukarno, nationale-staat kita sebesar Sriwijaya atau Majapahit. Lebensraum kita seyogianya meliputi seluruh bangsa Melayu Raya. Tapi karena Filipina sudah merdeka lebih dulu, kita harus menerima kenyataan itu. Pokok pikiran Sukarno kemudian berubah: Persatuan Indonesia hanya meliputi bekas Hindia Belanda. Kebangsaan kita tidak boleh chauvinistic. Nasionalisme dan internasionalisme harus saling melengkapi. Yang ditolak adalah kosmopolitisme.
SARA dan Globalisasi
Kini, interpretasi sila Persatuan tak perlu berubah di zaman menuju globalisasi ini. Tidak perlu ada perubahan menuju liberalisme.
Kaum pengusaha selalu menekankan, sebaiknya negara tak ikut campur dalam masalah perusahaan. Sebaiknya negara jadi nachwachterstaat, negara penjaga malam. Tapi ketika utang swasta membengkak sampai $ 80 miliar, negara harus menalanginya, harus ikut campur menyelesaikannya. Ini pemikiran yang curang.
Di sisi lain, penguasa menafsir persatuan bangsa harus menjadi kesatuan bangsa, harus menjadi bangsa yang homogen, padahal moto kita jelas, "Bhinneka Tunggal Ika". Pemerintahan di tingkat bawah diseragamkan. Padahal desa, marga, kampong, huta, punya kekhasan masing-masing.
Penjelasan para pendiri negara tentang "semua buat semua" atau "gotong royong" di-artikan bahwa sumber daya alam di daerah harus diatur oleh pusat. Padahal aturan yang dibuat pusat selalu di-cemari KKN, menyebabkan daerah mendapat bagian yang kecil. Ini menginjak rasa keadilan. Interpretasi semau gue itu meruncingkan masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Konflik SARA telah menciptakan 1,3 juta pengungsi. Konflik SARA di Republik Indonesia lebih besar daripada di masa Hindia Belanda, karena kita tidak punya cetak biru yang dapat menunjukkan bahwa Persatuan Indonesia bisa membawa bangsa Indonesia lebih sejahtera daripada bila kita terpisah-pisah.
Karena itu, dalam isu globalisasi, tafsir Persatuan Indonesia harus bermakna bahwa pemerintah memproteksi kepentingan rakyat Indonesia, terutama guna meningkatkan kesejahteraan dan sumber-sumber hidupnya. Bangsa-bangsa maju selalu mengatakan bahwa sekarang era globalisasi, batas negara sudah sangat tipis. Padahal peraturan-per-aturan yang dibuatnya selalu menuju ke proteksi yang dikemas dengan persyaratan tinggi untuk mutu barang yang masuk ke negerinya. Kita selalu dikibuli oleh bangsa yang lebih maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini