ADA sikap yang seperti sengaja untuk menampilkan cara hidup sahid-sahidan di dalam diri Mahesa Jenar. Meninggalkan keluhuran derajad dan kekuasaan sebagai panglima wiratamtama (pangab) Kerajaan Demak pada masa Sultan Trenggono, tokoh ini -- seperti dikisahkan S.H. Mintardja dalam Naga Sasra dan Sabuk Inten -- akhirnya memilih jalan darma sebagai seorang pendekar. Seperti umumnya pendekar, Mahesa Jenar hidup bersahaja, jauh dari kemewahan duniawi. Ia sudah mantan, namun baktinya pada negara, nilai luhur, dan kemanusiaan tak diragukan. "Darma kita kepada negara tak harus dilakukan dalam status pejabat resmi. Sambil jadi orang biasa pun jalan darma tetap terbuka," kata Widayat yang legendaris itu, saat memerankan Mahesa Jenar dalam suatu seri ketoprak Mataram "Sapta Mandala Kodam VII Diponegoro." Jenis manusia apakah Mahesa Jenar? Seorang tokoh yang hanya cocok buat memenuhi kehausan zamannya akan kebutuhan seorang pahlawan pembela rakyat, yang hidup seolah tanpa cela? Ataukah ia tokoh naif, yang tak bisa mengambil manfaat sosial-ekonomi-politis dari jabatannya? Kita tidak tahu pasti. Tindakan sosial sering memiliki motif-motif yang bahkan oleh pelakunya sendiri sulit dijelaskan secara rasional. Namun, satu hal sudah jelas: bila menjadi mantan pada zaman edan ini orang meniru Mahesa Jenar, ia ora keduman, tak kebagian. Mantan pejabat kita tak suka memilih jalan sepi ing pamrih itu. Pada zaman kita ini mantan karenanya memiliki dua ciri: menjadi pengusaha lebih serius, lebih profesional (dibanding ketika jadi penguasa), atau berpolitik sebagai oposan. Sebagai kelompok oposisi (kabarnya, dalam demokrasi Pancasila tak dikenal konsep oposisi) para mantan itu sangat tegar menyuarakan kepentingan rakyat. Mereka blak-blakan bicara soal ketimpangan, seolah ketimpangan baru saja terjadi semalam. Dalam hal ini orang kecil cukup arif. Mereka cuma berani berbisik di belakang: "Betapa hebat bila sikap itu tampak sejak dulu, saat masih jumeneng di singgasana. Bukankah pada zaman mereka berkuasa, kita juga tak hidup di masyarakat Badui Dalam yang serba lurus." Bisik-bisiknya berkembang. Sejenis seminar kecil muncul, tanpa panitia, tanpa pengarah, tanpa izin pengusaha pula, tapi jelas ada yang bicara. "Percuma. Pada zaman ini, vokal tanpa kekuasaan di tangan tak ada gunanya," kata salah seorang. "Ini pernyataan excuse mereka. Bagaimanapun, lumayanlah, daripada tidak sama sekali," sahut kawannya. "Apa gunanya? Ini hanya cermin rasa frustrasi." "Tapi tetap jadi sarana pendidikan politik rakyat." "Pendidikan apa kalau ungkapan politis ini juga menjadi sekaligus ungkapan dendam terselubung?" kata salah seorang. "Mereka satria yang menghormati atasan. Untuk bicara, mereka nunggu setelah bukan lagi bawahan." "Puh . . .," dia mencibir. Wajahnya tampak begitu skeptis. Mungkin sinis. Sayang, kita tak tahu kekecewaan batin macam apa yang pernah melandanya. "Marilah kita bersikap positif. Kita perlu sikap, ideide, dan pemikiran positif itu. Langit dalam jagat kecilmu terlalu muram," kata kawannya. "Kita tak bicara soal ide. Mereka tak bisa dijamah dari sudut itu. Sikap mereka menjelaskan satu premis dasar: kondisi material menentukan ide, bukan sebaliknya. Buktinya, ketika berkuasa, mereka lelap, atau pura-pura lelap. Setelah mantan, baru bicara. Ide mereka terbentuk oleh kondisi. Maafkan sikap saya. Hanya ini yang bisa saya berikan," kata salah seorang lagi. Cuma kebetulan, seorang polisi, yang tampaknya baru pulang dinas, lewat. Seminar liar itu bubar secara fleksibel seperti mulainya. Dan saya melanjutkan analisa: betapa tak enak menjadi mantan. Diam dicurigai melempem. Bicara dituduh sakit hati, dendam, atau frustrasi. Saya paham bila orang enggan menjadi mantan. Artinya, ingin jumeneng terus. Menjadi mantan bukan cuma menggelisahkan rohani (karena orang tak lagi menegur sambil membungkuk-bungkuk, rela membawakan tas atau membukakan pintu mobil), tapi juga mengganggu stabilitas sosial-ekonomi-politik dalam hidup keluarga dan pribadinya. Sekali lagi, saya juga maklum melihat kelembutan sikap pejabat pada kawulo mereka di perguruan tinggi, dekat ketika mereka akan menjadi mantan. Kelembutan itu lambang permintaan perpanjangan masa berkuasa (halusnya masa bakti) dengan cara menjadi profesor. Mereka masih selalu merasa terpanggil. Entah suara gaib mana yang memanggil. Mantan, pendeknya, gejala menakutkan. Mungkin malah wujud ketakutan itu sendiri. Maka, kalau menjadi mantan tak lagi terhindarkan, maunya mereka harus menjadi mantan yang makmur. Mobil dinas tak usah dikembalikan. Baju safari jangan drastis ditanggalkan. Periode transisi diperlukan. Sementara itu, tradisi makan malam di hotel masih harus dipertahankan. Pendeknya, jangan seperti Mahesa Jenar: sepi, dingin, di hutan-hutan, jauh dari bar dan credit card.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini