Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memamah-biak: sebuah falsafah ...

Kemampuan revolusioner kita memang terbukti dengan dicapainya kemerdekaan. tapi bangsa kita belum bisa menangani masalah besar setelah kemerdekaan. misalnya soal korupsi, soal kebebasan pers, dsb.

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI betul, lho! Di negeri kita ini -- tanpa bantuan asing --nampaknya baru satu persoalan yang benar-benar kita selesaikan secara tuntas: Menghancurkan penjajahan fisik bangsa lain atas bangsa kita. Yang lain-lain seperti soal korupsi, penyelundupan, membedakan kepenguasaan dan kepengusahaan dalam diri seseorang, poligami-monogami, kebebasan mimbar, dan seterusnya dan seterusnya seolah-olah sudah menjadi berkala tahunan yang tetap. Memamah-biak, apa betul itukah falsafah hidup kita? Sulit untuk membantahnya. Jakarta-by-pass dan Jalanraya Lintas Sumatera mungkin masih merupakan model jalan yang jumlahnya hanya satu dua, dan lama sekali kita berlalu-lintas di atas jalanan bertambal-sulam. Rusak setiap musim hujan untuk diperbaiki lagi setiap musim kemarau. Artinya, iuga menganut falsafah memamah-biak. Nampaknya kebijaksanaan menghadapi nyamuk pembangkit malaria dan demam berdarah itu juga demikian. Di tanah air, hampir setiap keluarga di kota-kota besar melakukan sport semprot nyamuk setiap malam hari. Kita tidak secara nasional mengusahakan penyemprotan selokan-selokan, yakni sumber-sumber nyamuk, melainkan hanya memasukkan secara beramai-ramai industri seperti Raid dan Sheltox dan Startox dan Mortein dan Piss dan Bygone dan entah apa-apa lagi namanya yang bakal datang. Dan kita dan pabrik-pabrik dan nyamuk-nyamuk semua memamah-biak insektisida. Saya sampai kagum pada Departemen Perdagangan atau Departemen Perindustrian yang begitu rajin mengumpulkan obat anti serangga itu demi kepentingan rakyat banyak. Dalam seminar-seminar juga begitu. Coba! Kapan kita akan selesai merumuskan apa itu kebebasan pers yang bertanggungjawab? Rambut gondrong sudahlah, tapi soal memprioritaskan hukum? Saya jamin prinsip Pola Hidup Sederhana masih akan tetap aktuil hingga sepuluh tahun yang akan datang. Karena apa? Karena kita tak tahu persis bagaimana menjalankannya. Dan orang-orang yang sama tetap saja tidak sederhana, dalam arti mereka masih tetap juga menumpuk harta dengan cara yang itu-itu juga. Kita bisa menarik suatu analogi yang menarik dari tulisan Stanley Milgram The Perils of Obedience (DIALOGUE, Vol 8, 1975, No.3/4) yang menampilkan suatu pembuktian laboratorium akan bahaya ketaatan. Caranya begini. Seorang 'bawahan' diperintahkan menyiksa seorang 'korban'. Tiap kali si bawahan diperintahkan meningkatkan siksaannya, dia memang keberatan. Tapi keberatannya cuma basa-basi di hati atau di mulut. Dan dia sudah puas dengan itu, dan penyiksaan diteruskannya juga. Ia tak pernah terpikir untuk melakukan suatu protes. Nah! Kitapun demikian. Berhadapan dengan atasan atau keadaan, sering sekali kita berkata: "Ik sih tak mau menandatangani kwitansi model gituan. Tapi bagaimana lagi". Dan kitapun puas dengan pembelaan itu. Dan kita terus saja menandatangani. Senantiasa berpura-pura mengeluh, tapi selalu bersungguh-sungguh menandatangani. Meskipun di saat kedudukan kita sesungguhnya tidak lagi terancam betul. Tapi .... oya, tahukan bung siapa yang 'korban' di sini? Baru-baru ini seorang rektor universitas negeri yang katakanlah terkemuka juga mengajukan dua pertanyaan hebat kepada wartawan Kompas: "Tolong terangkan apa itu Fakultas Sosial Politik! Apa itu Fakultas Sastra . . ". Dia pasti tak mau ketinggalan dalam falsafah memamah-biak ini, yaitu memamah-biakkan pandangan bahwa suatu ilmu lebih rendah daripada ilmu lainnya. Tentu saja itu tak salah. Terutama kalau dikenakan ke ilmu silat atau ilmu sihir. Lalu bagaimana? Ya, beginilah. Menyadari betapa kontrasnya kemampuan revolusioner kita untuk mengusir penjajah dengan ketakmampuan kita untuk menangani berbagai masalah besar sesudah kemerdekaan, kita sungguh-sungguh patut bermasygul hati. Lantas? Apa sebabnya persoalan itu-itu juga yang menghantui kita? Banyak yang bisa ditanya, dan banyak jawaban yang bisa diperoleh. Kalau yang bung tanya adalah Bang Miun di sebelah rumah, dia pasti akan menjawab: "Itu mah lingkaran setan. Tanda hampir kiamat". Kalau yang bung tanya Tuan Geertz, dia mungkin akan menjawab: "Habis. Para pelaksana republik anda umumnya terlalu dikuasai semangat primordial". Kalau yang bung tanya Mas Kuntjaraningrat, dia mungkin akan menjawab: "Mental menerabas itulah. Orientasi vertikal itulah". Jawaban yang berbeda masih bisa diperoleh dari Bung Soedjatmoko atau Tuan Sievers atau Mas Selo Soemardjan. Atau temuilah Herr Dahm, itu penulis Sukarno and the Struggle for Independence. Jawabannya mungkin sekali akan begini: "Salah anda sendiri. Anda kurang banyak menanggap wayang. Kurang merenungi Bhagawad Gita dan . . . Bharatayudha. Verstehen Sie das, meine Herren?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus