INI betul, lho! Di negeri kita ini -- tanpa bantuan asing
--nampaknya baru satu persoalan yang benar-benar kita selesaikan
secara tuntas: Menghancurkan penjajahan fisik bangsa lain atas
bangsa kita. Yang lain-lain seperti soal korupsi, penyelundupan,
membedakan kepenguasaan dan kepengusahaan dalam diri seseorang,
poligami-monogami, kebebasan mimbar, dan seterusnya dan
seterusnya seolah-olah sudah menjadi berkala tahunan yang tetap.
Memamah-biak, apa betul itukah falsafah hidup kita? Sulit untuk
membantahnya. Jakarta-by-pass dan Jalanraya Lintas Sumatera
mungkin masih merupakan model jalan yang jumlahnya hanya satu
dua, dan lama sekali kita berlalu-lintas di atas jalanan
bertambal-sulam. Rusak setiap musim hujan untuk diperbaiki lagi
setiap musim kemarau. Artinya, iuga menganut falsafah
memamah-biak.
Nampaknya kebijaksanaan menghadapi nyamuk pembangkit malaria dan
demam berdarah itu juga demikian. Di tanah air, hampir setiap
keluarga di kota-kota besar melakukan sport semprot nyamuk
setiap malam hari. Kita tidak secara nasional mengusahakan
penyemprotan selokan-selokan, yakni sumber-sumber nyamuk,
melainkan hanya memasukkan secara beramai-ramai industri seperti
Raid dan Sheltox dan Startox dan Mortein dan Piss dan Bygone dan
entah apa-apa lagi namanya yang bakal datang. Dan kita dan
pabrik-pabrik dan nyamuk-nyamuk semua memamah-biak insektisida.
Saya sampai kagum pada Departemen Perdagangan atau Departemen
Perindustrian yang begitu rajin mengumpulkan obat anti serangga
itu demi kepentingan rakyat banyak.
Dalam seminar-seminar juga begitu. Coba! Kapan kita akan
selesai merumuskan apa itu kebebasan pers yang bertanggungjawab?
Rambut gondrong sudahlah, tapi soal memprioritaskan hukum? Saya
jamin prinsip Pola Hidup Sederhana masih akan tetap aktuil
hingga sepuluh tahun yang akan datang. Karena apa? Karena kita
tak tahu persis bagaimana menjalankannya. Dan orang-orang yang
sama tetap saja tidak sederhana, dalam arti mereka masih tetap
juga menumpuk harta dengan cara yang itu-itu juga.
Kita bisa menarik suatu analogi yang menarik dari tulisan
Stanley Milgram The Perils of Obedience (DIALOGUE, Vol 8, 1975,
No.3/4) yang menampilkan suatu pembuktian laboratorium akan
bahaya ketaatan. Caranya begini. Seorang 'bawahan' diperintahkan
menyiksa seorang 'korban'. Tiap kali si bawahan diperintahkan
meningkatkan siksaannya, dia memang keberatan. Tapi keberatannya
cuma basa-basi di hati atau di mulut. Dan dia sudah puas dengan
itu, dan penyiksaan diteruskannya juga. Ia tak pernah terpikir
untuk melakukan suatu protes.
Nah! Kitapun demikian. Berhadapan dengan atasan atau keadaan,
sering sekali kita berkata: "Ik sih tak mau menandatangani
kwitansi model gituan. Tapi bagaimana lagi". Dan kitapun puas
dengan pembelaan itu. Dan kita terus saja menandatangani.
Senantiasa berpura-pura mengeluh, tapi selalu bersungguh-sungguh
menandatangani. Meskipun di saat kedudukan kita sesungguhnya
tidak lagi terancam betul. Tapi .... oya, tahukan bung siapa
yang 'korban' di sini?
Baru-baru ini seorang rektor universitas negeri yang katakanlah
terkemuka juga mengajukan dua pertanyaan hebat kepada wartawan
Kompas: "Tolong terangkan apa itu Fakultas Sosial Politik! Apa
itu Fakultas Sastra . . ". Dia pasti tak mau ketinggalan dalam
falsafah memamah-biak ini, yaitu memamah-biakkan pandangan bahwa
suatu ilmu lebih rendah daripada ilmu lainnya. Tentu saja itu
tak salah. Terutama kalau dikenakan ke ilmu silat atau ilmu
sihir.
Lalu bagaimana? Ya, beginilah. Menyadari betapa kontrasnya
kemampuan revolusioner kita untuk mengusir penjajah dengan
ketakmampuan kita untuk menangani berbagai masalah besar sesudah
kemerdekaan, kita sungguh-sungguh patut bermasygul hati.
Lantas? Apa sebabnya persoalan itu-itu juga yang menghantui
kita? Banyak yang bisa ditanya, dan banyak jawaban yang bisa
diperoleh. Kalau yang bung tanya adalah Bang Miun di sebelah
rumah, dia pasti akan menjawab: "Itu mah lingkaran setan. Tanda
hampir kiamat". Kalau yang bung tanya Tuan Geertz, dia mungkin
akan menjawab: "Habis. Para pelaksana republik anda umumnya
terlalu dikuasai semangat primordial". Kalau yang bung tanya Mas
Kuntjaraningrat, dia mungkin akan menjawab: "Mental menerabas
itulah. Orientasi vertikal itulah". Jawaban yang berbeda masih
bisa diperoleh dari Bung Soedjatmoko atau Tuan Sievers atau Mas
Selo Soemardjan. Atau temuilah Herr Dahm, itu penulis Sukarno
and the Struggle for Independence. Jawabannya mungkin sekali
akan begini: "Salah anda sendiri. Anda kurang banyak menanggap
wayang. Kurang merenungi Bhagawad Gita dan . . . Bharatayudha.
Verstehen Sie das, meine Herren?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini