Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muchdi Purwoprandjono menyerahkan diri ke kantor polisi pekan lalu. Bekas Deputi V/Penggalangan Badan Intelijen Negara ini memang telah menjadi tersangka kasus pembunuhan Munir. Penahanan pensiunan mayor jenderal ini oleh polisi jelas semakin memperkuat kecurigaan masyarakat tentang keterlibatan Badan Intelijen Negara dalam kegiatan keji yang menggugurkan aktivis hak asasi manusia Indonesia itu. Bila dugaan ini benar, pertanyaannya kemudian adalah apakah ini sebuah operasi intelijen resmi atau penyalahgunaan wewenang oleh sebuah kelompok jahat di lembaga negara ini.
Jawaban atas pertanyaan ini mudah-mudahan dapat segera terkuak. Ini hal penting. Memastikan semua anggota komplotan pembunuh kejam ini mendapat ganjaran setimpal sesuai dengan hukum tak hanya merupakan penghormatan bangsa ini kepada kepahlawanan Cak Munir, tapi juga demi meneruskan gelombang reformasi yang telah kita gulirkan. Demi membangun Indonesia yang lebih baik.
Di Indonesia yang lebih baik, pemerintahnya tak mungkin menghilangkan nyawa warga hanya karena perbedaan pendapat atau pertentangan politik. Kalaupun ada yang membahayakan keutuhan negara atau ketertiban dan keamanan masyarakat, mereka akan ditindak sesuai dengan hukum. Bukan asal hukum, melainkan yang dibuat dan disusun bersama dalam sebuah sistem demokrasi yang menghormati hak asasi setiap manusia.
Memang Indonesia di masa lalu, harus diakui, adalah sebuah negara kekuasaan. Di masa itu aparat negara menjadi kaki-tangan penguasa. Mereka yang dianggap mengancam kekuasaan ditekan dan kalau perlu dibinasakan. Lembaga intelijen pun terjerumus dalam pola kerja ini. Itulah Indonesia yang penuh dengan kekerasan negara.
Almarhum Munir adalah sosok yang giat memprotes kesewenang-wenangan ini. Ia ingin mengubah Indonesia menjadi negara hukum, karena itu melakukan perjuangannya di jalan konstitusi. Tapi perjuangan Munir yang antikekerasan ini ironisnya dianggap begitu membahayakan oleh sekelompok durjana. Ia dihabisi dengan cara pengecut, dengan menyelinapkan racun di saat terlena.
Yang menyakitkan, kegiatan biadab itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara. Surat dinas ternyata digunakan untuk melancarkan persiapan dan pelaksanaan pembunuhan. Kesannya ini adalah tugas resmi. Setidaknya hal ini terungkap dari persidangan Pollycarpus Budihari Priyanto. Terpidana kasus pembunuhan Munir yang tak mengakui dakwaannya itu kerap berkilah hanya melakukan pengabdian ”demi Merah-Putih”.
Tapi apa yang dimaksud ”demi Merah-Putih” itu? Pollycarpus mungkin menganggap Indonesia yang berdasarkan kekuasaan itu yang benar. Pilot Garuda yang dikabarkan agen Badan Intelijen Negara ini boleh jadi sudah terbiasa mengidentikkan perintah penguasa sebagai tugas negara dan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai musuh negara. Muchdi, yang ketika masih aktif di kesatuan pasukan khusus kerap mendapat tugas tempur rahasia, mungkin memiliki pula keyakinan yang sama.
Apalagi jabatan yang diemban Muchdi di Badan Intelijen Negara memang memperkuat kecenderungan ini. Ia menjadi deputi penggalangan, yang dalam pengertian di era Orde Baru memang bertugas menjalankan berbagai operasi rahasia, kalau perlu melanggar hukum, demi tujuan tertentu. Operasi seperti ini, termasuk pembunuhan, memang jamak dilakukan di negara otoriter untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah dari oposisi di dalam negeri. Di negara demokrasi, operasi seperti ini hanya boleh dilakukan di negara lawan.
Karena Indonesia sudah menjadi demokrasi, Badan Intelijen Negara seharusnya juga direformasi. Lembaga ini seharusnya berkonsentrasi pada pengumpulan informasi dan hanya diperkenankan melakukan operasi penggalangan di luar negeri. Perihal kompetisi paham, selama berjalan di jalur konstitusi, adalah wewenang partai politik. Untuk menangani yang keluar dari jalur, sudah ada polisi. Badan Intelijen Negara hanya berhak membantu memberikan informasi.
Di negara modern, lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara dirancang sebagai tempat berkumpulnya para patriot sejati. Mereka bertugas mengumpulkan dan menganalisis informasi dari semua penjuru dunia untuk kepentingan negara. Untuk memastikan mereka tak menyalahgunakan tugas rahasianya, lembaga intelijen biasanya diawasi oleh komisi khusus parlemen. Maklum, ”information is power” dan ”absolute power corrupts absolutely”. Para patriot pun tak kebal dari godaan ini.
Lagi pula penyalahgunaan patriotisme untuk membenarkan kekejian bukanlah soal baru. Samuel Johnson, seorang penulis Inggris terkenal di awal abad ke-18, sudah menyimpulkan perihal ini dengan baik. ”Patriotisme adalah benteng terakhir para bajingan,” katanya. Itu sebabnya, komisi khusus pengawas Badan Intelijen Negara harus segera dibentuk agar lembaga intelijen ini tak terjerumus lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo