Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menanti Pengakuan Muchdi

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muchdi Purwoprandjono menye­rahkan diri ke kantor polisi pekan lalu. Bekas Deputi V/Penggalangan Badan Intelijen Negara ini memang telah menjadi tersangka kasus pembunuhan Munir. Penahanan pensiunan mayor jende­ral ini oleh polisi jelas semakin memperkuat kecurigaan masyarakat tentang keterlibatan Badan Intelijen Negara dalam kegiatan keji yang menggugurkan aktivis hak asasi manusia Indonesia itu. Bila dugaan ini benar, pertanyaannya kemudian adalah apakah ini sebuah opera­si intelijen resmi atau penya­lahgunaan wewenang oleh sebuah kelompok jahat di lembaga negara ini.

Jawaban atas pertanyaan ini mudah-mudahan dapat segera terkuak. Ini hal penting. Memastikan semua anggota komplotan pembunuh kejam ini mendapat ganjaran setimpal sesuai dengan hukum tak hanya merupakan penghormatan bangsa ini kepada kepahlawanan Cak Munir, tapi juga demi meneruskan gelombang reformasi yang telah kita gulirkan. Demi membangun Indonesia yang lebih baik.

Di Indonesia yang lebih baik, pemerintahnya tak mungkin menghilangkan nyawa warga hanya karena perbedaan pendapat atau pertentangan politik. Kalaupun ada yang membahayakan keutuhan negara atau ketertiban dan keamanan masyarakat, mereka akan ditindak se­suai dengan hukum. Bukan asal hukum, melainkan yang dibuat dan disusun bersama dalam sebuah sistem demokrasi yang menghormati hak asasi setiap manusia.

Memang Indonesia di masa lalu, harus diakui, adalah sebuah negara kekuasaan. Di masa itu aparat negara menjadi kaki-tangan penguasa. Mereka yang dianggap meng­ancam kekuasaan ditekan dan kalau perlu dibinasakan. Lembaga intelijen pun terjerumus dalam pola kerja ini. Itulah Indonesia yang penuh dengan kekerasan negara.

Almarhum Munir adalah sosok yang giat memprotes kesewenang-wenangan ini. Ia ingin mengubah Indonesia menjadi negara hukum, karena itu melakukan perjuang­annya di jalan konstitusi. Tapi perjuangan Munir yang antikekerasan ini ironisnya dianggap begitu membahaya­kan oleh sekelompok durjana. Ia dihabisi dengan cara pengecut, dengan menyelinapkan racun di saat terlena.

Yang menyakitkan, kegiatan biadab itu dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara. Surat dinas ternyata digunakan untuk melancarkan persiapan dan pelaksanaan pembunuhan. Kesannya ini adalah tugas resmi. Setidaknya hal ini terungkap dari persidangan Pollycarpus Budihari Priyanto. Terpidana kasus pembunuhan Munir yang tak mengakui dakwaannya itu kerap berkilah hanya melakukan pengabdian ”demi Merah-Putih”.

Tapi apa yang dimaksud ”demi Merah-Putih” itu? Pollycarpus mungkin meng­anggap Indonesia yang berdasarkan kekuasaan itu yang benar. Pilot Garuda yang dikabarkan agen Badan Intelijen Negara ini boleh jadi sudah terbiasa mengidentikkan perintah penguasa sebagai tugas negara dan me­reka yang tak sepaham dengan pemerintah se­bagai musuh negara. Muchdi, yang ketika masih aktif di kesatuan pasukan khusus ke­rap mendapat tugas tempur rahasia, mungkin memiliki pula keyakinan yang sama.

Apalagi jabatan yang diemban Muchdi di Badan Intelijen Negara memang memperkuat kecenderungan ini. Ia menjadi deputi penggalangan, yang dalam pengertian di era Orde Baru memang bertugas menjalankan berbagai ope­rasi rahasia, kalau perlu melanggar hukum, demi tujuan tertentu. Operasi seperti ini, termasuk pembunuhan, memang jamak dilakukan di negara otoriter untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah dari oposisi di dalam negeri. Di negara demokrasi, operasi seperti ini hanya boleh dilakukan di negara lawan.

Karena Indonesia sudah menjadi demokrasi, Badan Intelijen Negara seharusnya juga direformasi. Lembaga ini seharusnya berkonsentrasi pada pengumpulan informasi dan hanya diperkenankan melakukan operasi penggalang­an di luar negeri. Perihal kompetisi paham, selama berjalan di jalur konstitusi, adalah wewenang partai politik. Untuk menangani yang keluar dari jalur, sudah ada polisi. Badan Intelijen Negara hanya berhak membantu memberikan informasi.

Di negara modern, lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara dirancang sebagai tempat berkumpulnya para patriot sejati. Mereka bertugas mengumpulkan dan menganalisis informasi dari semua penjuru dunia untuk kepentingan negara. Untuk memastikan mereka tak menyalahguna­kan tugas rahasianya, lembaga intelijen biasanya diawasi oleh komisi khusus parlemen. Maklum, ”information is power” dan ”absolute power corrupts absolutely”. Para patriot pun tak kebal dari godaan ini.

Lagi pula penyalahgunaan patriotisme untuk membenarkan kekejian bukanlah soal baru. Samuel Johnson, seorang penulis Inggris terkenal di awal abad ke-18, sudah menyimpulkan perihal ini dengan baik. ”Patriotisme adalah benteng terakhir para bajingan,” katanya. Itu sebabnya, komisi khusus pengawas Badan Intelijen Negara harus segera dibentuk agar lembaga intelijen ini tak terjerumus lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus