KENDATI ltalia meloloskan dari rahimnya raksasa seperti
Leonardo da Vinci atau Enrico Fermi, tapi dalam perkara punya
Menteri Dalam Negeri primitif sekali. Seorang formatur negeri
yang multi partai itu cukup naik taksi ke rumah yatim piatu,
bicara ala kadarnya dengan kepala panti asuhan, utarakan maksud
tujuan dalam dua tiga kalimat ringkas. dan sang pengasuh yang
mukanya bening seperti gelembung sabun itu mengangguk-angguk
sambil tersenyum manis. Mari kita jalanjalan sebentar, katanya.
Sambil berpegangan tangan si formatur dan si pengasuh pun
masuk asrama, menggeleser dari satu ruang ke ruang lainnya.
Mula-mula mereka melihatlihat kamar tidur yang ranjangnya
berjejer rapi seperti buku di atas raknya. Karena bukan waktu
tidur dan tak seorang anak pun ada di situ, mereka menyelinap
masuk ruang belajar. Seorang guru jangkung hingga ubun-ubunnya
nyaris menyentuh loteng sedang menguraikan ihwal tumbuh dan
tenggelamnya empirium Romawi sambil menyinggung sedikit apa itu
kekaisaran Romawi Suci. Anak yatim piatu namanya, mereka
menyimak tanpa berkedip sehingga bola matanya berlinang-linang.
Bagaikan geolog memeriksa batu-batuan, begitulah ulah
formatur mengawasi satu persatu isi kelas, mengukur-ukur bentuk
kepala dengan sudut matanya, menimbang-nimbang lekuk daun
telinga, dan memeriksa gigi dan gusi seperti layaknya tengkulak
kambing. Sudah ada yang berkenan di hati? tanya pengasuh panti
asuhan. Hampir, jawab sang formatur. Baunya sudah ada, tapi
belum jelas benar.
Sesudah hampir lewat setengah jam mengeker-ngeker,
tiba-tiba sorot mata sang formatur tertancap pada seorang anak
lelaki yang berair muka memelas tapi menyimpan kearifan
tersembunyi. Bolehkah kutanya sedikit, anak muda? tanya
fomlatur. Dipersilakan dengan hormat, tuan. Kenalkah kamu dengan
Machiavelli? Bangsat dan cecunguk itu? Tentu kenal tuan. Bahkan
sebagai bangsat pun dia tidak orisinal. Dia menjiplak filosofi
legalis zaman Kerajaan Shih Huang Ti dua ratusan tahun sebelum
Masehi. Sang formatur mengangguk-angguk hingga dagu menyenggol
pangkal dasi, kemudian herbisik kepada penasuh panti asuhan.
Saya minta permisi hawa anak ini, katanya. Buat apa? Buat pungut
anak angkat. Lewat akta notaris apa cukup di atas kertas segel?
Oh, bukan Dia mau saya dudukkan jadi Menteri Dalam Negeri dalam
kabinet yang saya bentuk.
Dua setengah tahun anak yatim piatu itu duduk di kursi,
negeri aman penduduk kenyang, tiada tipu main selingku, akal
diperpanjang dan nafsu diperpendek, ngomong sedikit tidak
berbunga-bunga sehingga barang siapa yang mendengar menyimpannya
belaka di dalam kuping seperti orang menyimpan batu akik di
laci. Dia tidak suka berdusta karena tidak diperolehnya ajaran
macam itu di panti asuhan. Kesempatan selebar lautan tersedia
baginya menekuk kepala orang sehingga melengkung seperti udang,
menjambaknya hingga gundul, menghambur petuah-petuah yang
begitumuluk sehingga tak seorang pun memahaminya. Dikerjakannya?
Tidak. Lepasan panti asuhan yatim piatu tidak peroleh kurikulutn
macam gituan, apa boleh buat.
Oleh gempa bumi yang sepenuhnya digerakkan oleh tangan
Tuhan, dia ketiban malu bukan alang kepalang, bertubi datang
kritik dan kecaman dari antero negeri karena dianggap lamban
turun tangan sehingga yang kegencet batu terpaksa kembali ke
alam baka. Dia mengelak dan menyurukkan kepala ke sela batu?
Bukan potongan. Seaib-aib yatim piatu, serendah-rendah orang
asal comberan, kehormatan dan kejujuran diri masih di atas
segala-galanya. Berhubung mundur diri dan timbang rasa satu
perbuatan gampang yang setolol-tolol orang pun bisa melakukannya
sekali sentak, maka dengan gagal berani Menteri Dalam Negeri
Italia ini turun dari kursinya selaku lelaki. Perlu kiranya jadi
bahan pemikiran Litblng, model penataran mana yang beri
pelajaran ilmu ajaib seperti itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini