Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyian bagi si mati

Resensi pergelaran requiem di studio rri, didukung paduan suara svarna gita, orkes gabungan dari sejumlah anggota osj dan mahasiswa dep musik lpkj.(ms)

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Nyanyian bagi si mati
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETIAP detik ada manusia yangmelangkah ke dunia fana. Tetapi, belum tentu Requiem (nyanyian bagi si mati) karya Mozart (1756-1792) dipergelarkan tiap detik dan bagi setiap yang meninggal dunia. Karena karya seperti itu termasuk yang disebut "raksasa" dalam deretan repertoar karya dunia. Juga, bentuknya pun meliputi ratusan manusia dan karena itu menjadi satu upacara tersendiri. Dan karena itu (di mana saja) akan memakan biaya yang lumayan besar. Tapi Michael Atti Bagio, yang memimpin pergelaran 2-3 Desember di I Studio V RRI Jakarta yang lalu, orangnya memang nekat--dalam segala hal. Ia mengaku, untuk pergelaran Requiem ini biaya yang dibutuhkan hampir Rp 8 juta. Lihatlah, dengan paduan suara Svarna Gita pimpinan Soebronto K. Atmodjo, didukung orkes para anggota Orkes Simfoni Jakarta dan beberapa mahasiswa Departemen Musik LPKJ serta 4 solis vokal, pergelaran ini nyaris menjadi tontonan "percobaan". Keutuhan antara solis, orkes dan paduan kurang nampak -- di samping karya yang biasanya mengambil waktu satu setengah jam ini, terasa disebut menjadi satu jam saja. Mengapa? Paduan suaranya sendiri, yang menampilkan 70 vokalis, memang perlu dipuji Svarna Gita berhasil menyelamatkan suasana sebuah Requiem dari kegersangan iklim artistik. Sepanjang acara paduan suara berusaha tetap mengalun dengan megahnya, meski tanpa mendapat jawaban sepadan dari pihak orkes. Penanganan Soebronto dalam keutuhan leknis musikal dan penghayatan artistik terasa hadir. Sayang, tempo yang diberikan dirigen memaksa paduan mi berjalan dengan napas yang sering harus putus di tengah jalan. Di luar dugaan, solis Sari Indrawati (sopran) dan Hari Haryadi (tenor) keluar utuh sebagai pasangan pendukung kuat. Sementara Sri Rahayu SoedjarWo (alto) terpaksa tenggelam, karena harus menyerah pada ketidakseimbangan suara antara dirinya dengan irlngan orkes. Bila terpisah, mungkin sekali keutuhan orkes bisa lumayan. Tapi sebagai unsur pengiring pendukung agak nya orkes kurang menghayati bentuk iklim sebuah requiem (latin requies adalah ketenangan). Musik ini adalah buah pesanan seseorang untuk mengenang istrinya yang telah tiada. Waktu itu, 1791, sementara kesehatan Mozart sangat berkurang, ia masih mencoba memenuhi pesanan tersebut. Untunglah sebagian besar tcrselesaikan. Namun sampai akhir hayatnya Requiem tidak dapat dirampungkan, dan dunia menganggap karya ini sebagai lambang nyanyian bagi kernatian Mozart sendiri, 5 Desember 1791. Bagi kita, ini adalah hadiah terakhir seorang pencipta jenius. Tapi baiklah, paling tidak Michael Atti Bagio sudah berbuat. Dan paling tidak telah menyadarkan kita kembali, bahwa seorang Mozart, dengan segala kekanak-kanakannya, tidak mudah tunduk kepada tangan-tangan nekat. Iravati M. Sudiarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus