SETIAP detik ada manusia yangmelangkah ke dunia fana.
Tetapi, belum tentu Requiem (nyanyian bagi si mati) karya Mozart
(1756-1792) dipergelarkan tiap detik dan bagi setiap yang
meninggal dunia.
Karena karya seperti itu termasuk yang disebut "raksasa"
dalam deretan repertoar karya dunia. Juga, bentuknya pun
meliputi ratusan manusia dan karena itu menjadi satu upacara
tersendiri. Dan karena itu (di mana saja) akan memakan biaya
yang lumayan besar.
Tapi Michael Atti Bagio, yang memimpin pergelaran 2-3
Desember di I Studio V RRI Jakarta yang lalu, orangnya memang
nekat--dalam segala hal. Ia mengaku, untuk pergelaran Requiem
ini biaya yang dibutuhkan hampir Rp 8 juta.
Lihatlah, dengan paduan suara Svarna Gita pimpinan
Soebronto K. Atmodjo, didukung orkes para anggota Orkes Simfoni
Jakarta dan beberapa mahasiswa Departemen Musik LPKJ serta 4
solis vokal, pergelaran ini nyaris menjadi tontonan "percobaan".
Keutuhan antara solis, orkes dan paduan kurang nampak -- di
samping karya yang biasanya mengambil waktu satu setengah jam
ini, terasa disebut menjadi satu jam saja. Mengapa?
Paduan suaranya sendiri, yang menampilkan 70 vokalis,
memang perlu dipuji Svarna Gita berhasil menyelamatkan suasana
sebuah Requiem dari kegersangan iklim artistik. Sepanjang acara
paduan suara berusaha tetap mengalun dengan megahnya, meski
tanpa mendapat jawaban sepadan dari pihak orkes. Penanganan
Soebronto dalam keutuhan leknis musikal dan penghayatan artistik
terasa hadir. Sayang, tempo yang diberikan dirigen memaksa
paduan mi berjalan dengan napas yang sering harus putus di
tengah jalan.
Di luar dugaan, solis Sari Indrawati (sopran) dan Hari
Haryadi (tenor) keluar utuh sebagai pasangan pendukung kuat.
Sementara Sri Rahayu SoedjarWo (alto) terpaksa tenggelam, karena
harus menyerah pada ketidakseimbangan suara antara dirinya
dengan irlngan orkes.
Bila terpisah, mungkin sekali keutuhan orkes bisa lumayan.
Tapi sebagai unsur pengiring pendukung agak nya orkes kurang
menghayati bentuk iklim sebuah requiem (latin requies adalah
ketenangan).
Musik ini adalah buah pesanan seseorang untuk mengenang
istrinya yang telah tiada. Waktu itu, 1791, sementara kesehatan
Mozart sangat berkurang, ia masih mencoba memenuhi pesanan
tersebut. Untunglah sebagian besar tcrselesaikan. Namun sampai
akhir hayatnya Requiem tidak dapat dirampungkan, dan dunia
menganggap karya ini sebagai lambang nyanyian bagi kernatian
Mozart sendiri, 5 Desember 1791. Bagi kita, ini adalah hadiah
terakhir seorang pencipta jenius.
Tapi baiklah, paling tidak Michael Atti Bagio sudah
berbuat. Dan paling tidak telah menyadarkan kita kembali, bahwa
seorang Mozart, dengan segala kekanak-kanakannya, tidak mudah
tunduk kepada tangan-tangan nekat.
Iravati M. Sudiarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini