Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Seni Lukis Dari Kamasan

Pameran lukisan tradisional anak-anak dari desa kamasan, bali di goethe institut. kamasan dan klung kung dikenal sebagai sumber seni lukis tradisional bali tertua.

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKON Arjuna Wiwaba (perkawinan Arjuna dengan bidadari Supraba) bisa dilukiskan dari berbagai segi. Itulah yang bisa dilihat dalam pameran anak-anak dari Kamasan, Bali, di Goethe Institut Jakarta 5 - 16 Desember. Seorang Ktut Widiarsana, kelas II SMP, tertarik melukiskan bagaimana Arjuna tak mempan digoda para dewi jelita. Komang Sudarna, juga kelas II, terpikat oleh adegan ketika Arjuna bertengkar dengan seorang asing--memperdebatkan siapa sebenarnya yang telah membunuh babi hutan, jelmaan patih raksasa yang hendak menyerbu istana para dewa. Dan Kadek Parwati, kelas V SD, melukiskan ketika Arjuna selesai masa bertapanya dan mendapat anugerah senjata panah sakti. Berbedanya perhatian kiranya memang wajar. Yang mengherankan: 40 lukisan anak-anak (7 - 18 tahun) itu hampir serupa goresan dan gayanya. Dasarnya, sudah jelas, adalah lukisan tradisional Bali gaya Kamasan: mengambil tema cerita wayang, dekoratif, dan bentuk figur mengutip bentuk wayang kulit asli "Anak-anak itu memang diasuh seorang guru," cerita Nyoman Tusan dari Direktorat Pembinaan Kesenian. "Dan cara pengajarannya memang dengan mencontoh." Aneh kedengarannya, tapi begitulah yang terjadi. Dan selama ini satu bentuk pendidikan melukis tradisional di Bali seperti itu agaknya baru di Kamasan inilah. Kisahnya, seperti diceritakan Nyoman Tusan, memang unik juga. Desa yang dikenal sebagai sumber seni lukis tradisional Bali tertua adalah Kamasan dan Klungkung. Dulu, pelukis penghias pura ataupun upacara tak susah dicari. Dan peng kaderan berjalan dengan sendirinya biasanya anak para pelukis langsung belajar melukis kepada orang tuanya. Itulah mengapa lukisan anak-anak dari dulu pun bergaya tradisional. Bukan Mutu Tapi perubahan sosial, dengan munculnya sekolah yang memberi kebebasan menggambar plus kontak dengan dunia luar yang lebih luas, mengubah semuanya. Anak tak lagi melukis tradisional --dan orangtua pun mungkin tak merasa perlu menurunkan kepandaian tradisionalnya. "Kemudian lukisan anakanak Bali, ya, seperti umumnya anakanak sekarang," kata Nyoman Tusan pula. Akibatnya terasa di Kamasan pada tahun-tahun 1960-70. Menurut Tusan, waktu itu Desa Kamasan hampir kehabisan pelukis tak ada kader tradisional baru. Entah gagasan pertamanya datang dari siapa, 1973 berdirilah satu kelompok belajar melukis dengan pembimbing Nyoman Mandra --pelukis muda yang agaknya satu-satunya waktu itu, yang menguasai senilukis asli yang didambakan . Itu bukan pendidikan formal dengan jadwal waktu. Anak yang mau belajar boleh datang kapan saja. Gratis. Bahkan alat dan perlengkapan melukis disediakan -- maklum kelompok belajar ini memang mendapat subsidi pemerintah sekedarnya. Itulah mengapa Nyoman Tusan tertarik membantu mereka pula, dengan membawa karya anak-anak itu untuk dipamerkan -- dan dijual -- di Surabaya, Bandung dan Jakarta. Tujuh tahun sudah berjalan, kini ada sekitar 50 anak, baik yang putus sekolah maupun yang masih, yang belajar melukis di situ. Dari segi mutu Nyoman sendiri mengakui belum bisa dibicarakan. Anak-anak itu tinggal mencontoh saja -- sehingga ciri masing-masing anak sepetti tak muncul. "Tapi yang diharapkan dari mereka memang bukan mutu," kata Nyoman. "Yang penting, ketrampilan menggambar secara tradisional masih terpelihara. Apakah dari mereka akan muncul seniman besar atau tidak, bukan tujuan " Kisah senilukis Kamasan ini agaknya pertanda awal, bagaimana generasi muda Bali sendiri bisa kehilangan perhatian terhadap keseniannya. Dan usaha Nyoman Mandra mungkin sangat berharga. Memang, sebagian besar dari 40 karya anak Kamasan ini seperti kehilangan kegembiraan kanak-kanak. Lebih terasa sebagai hasil cetakan dan bukan suara hati. Barangkali memang belum saatnya. Atau juga karena konsepnya memang bisa berbeda: apakah yang penting pemeliharaan kekayaan tradisi ataukah karier pribadi. Dan apakah lukisan anakanak akan dianggap ekspresi dari sebuah dunia otonom ataukah yang pendidikan ke arah yang lebih langgeng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus