LAKON Arjuna Wiwaba (perkawinan Arjuna dengan bidadari
Supraba) bisa dilukiskan dari berbagai segi. Itulah yang bisa
dilihat dalam pameran anak-anak dari Kamasan, Bali, di Goethe
Institut Jakarta 5 - 16 Desember.
Seorang Ktut Widiarsana, kelas II SMP, tertarik melukiskan
bagaimana Arjuna tak mempan digoda para dewi jelita. Komang
Sudarna, juga kelas II, terpikat oleh adegan ketika Arjuna
bertengkar dengan seorang asing--memperdebatkan siapa sebenarnya
yang telah membunuh babi hutan, jelmaan patih raksasa yang
hendak menyerbu istana para dewa. Dan Kadek Parwati, kelas V SD,
melukiskan ketika Arjuna selesai masa bertapanya dan mendapat
anugerah senjata panah sakti.
Berbedanya perhatian kiranya memang wajar. Yang
mengherankan: 40 lukisan anak-anak (7 - 18 tahun) itu hampir
serupa goresan dan gayanya. Dasarnya, sudah jelas, adalah
lukisan tradisional Bali gaya Kamasan: mengambil tema cerita
wayang, dekoratif, dan bentuk figur mengutip bentuk wayang kulit
asli "Anak-anak itu memang diasuh seorang guru," cerita Nyoman
Tusan dari Direktorat Pembinaan Kesenian. "Dan cara
pengajarannya memang dengan mencontoh."
Aneh kedengarannya, tapi begitulah yang terjadi. Dan selama ini
satu bentuk pendidikan melukis tradisional di Bali seperti itu
agaknya baru di Kamasan inilah. Kisahnya, seperti diceritakan
Nyoman Tusan, memang unik juga.
Desa yang dikenal sebagai sumber seni lukis tradisional
Bali tertua adalah Kamasan dan Klungkung. Dulu, pelukis penghias
pura ataupun upacara tak susah dicari. Dan peng kaderan berjalan
dengan sendirinya biasanya anak para pelukis langsung belajar
melukis kepada orang tuanya. Itulah mengapa lukisan anak-anak
dari dulu pun bergaya tradisional.
Bukan Mutu
Tapi perubahan sosial, dengan munculnya sekolah yang
memberi kebebasan menggambar plus kontak dengan dunia luar yang
lebih luas, mengubah semuanya. Anak tak lagi melukis tradisional
--dan orangtua pun mungkin tak merasa perlu menurunkan
kepandaian tradisionalnya. "Kemudian lukisan anakanak Bali, ya,
seperti umumnya anakanak sekarang," kata Nyoman Tusan pula.
Akibatnya terasa di Kamasan pada tahun-tahun 1960-70.
Menurut Tusan, waktu itu Desa Kamasan hampir kehabisan pelukis
tak ada kader tradisional baru.
Entah gagasan pertamanya datang dari siapa, 1973 berdirilah
satu kelompok belajar melukis dengan pembimbing Nyoman Mandra
--pelukis muda yang agaknya satu-satunya waktu itu, yang
menguasai senilukis asli yang didambakan .
Itu bukan pendidikan formal dengan jadwal waktu. Anak yang
mau belajar boleh datang kapan saja. Gratis. Bahkan alat dan
perlengkapan melukis disediakan -- maklum kelompok belajar ini
memang mendapat subsidi pemerintah sekedarnya. Itulah mengapa
Nyoman Tusan tertarik membantu mereka pula, dengan membawa
karya anak-anak itu untuk dipamerkan -- dan dijual -- di
Surabaya, Bandung dan Jakarta.
Tujuh tahun sudah berjalan, kini ada sekitar 50 anak, baik
yang putus sekolah maupun yang masih, yang belajar melukis di
situ. Dari segi mutu Nyoman sendiri mengakui belum bisa
dibicarakan. Anak-anak itu tinggal mencontoh saja -- sehingga
ciri masing-masing anak sepetti tak muncul. "Tapi yang
diharapkan dari mereka memang bukan mutu," kata Nyoman.
"Yang penting, ketrampilan menggambar secara tradisional masih
terpelihara. Apakah dari mereka akan muncul seniman besar atau
tidak, bukan tujuan "
Kisah senilukis Kamasan ini agaknya pertanda awal,
bagaimana generasi muda Bali sendiri bisa kehilangan perhatian
terhadap keseniannya. Dan usaha Nyoman Mandra mungkin sangat
berharga. Memang, sebagian besar dari 40 karya anak Kamasan ini
seperti kehilangan kegembiraan kanak-kanak. Lebih terasa sebagai
hasil cetakan dan bukan suara hati. Barangkali memang belum
saatnya. Atau juga karena konsepnya memang bisa berbeda: apakah
yang penting pemeliharaan kekayaan tradisi ataukah karier
pribadi. Dan apakah lukisan anakanak akan dianggap ekspresi dari
sebuah dunia otonom ataukah yang pendidikan ke arah yang lebih
langgeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini