PILIHAN Michael Atti Bagio pada Requiem karya Mozart memang
beralasan. Di Eropa, tutur musikus yang pernah duduk di sekolah
tinggi musik di Greinburg, Jerman Barat ini, setiap akhir
November banyak dipergelarkan musik sedih. "Dan mengapa saya
memilih karya Mozart, karena ini yang banyak digemari orang,"
katanya--juga di Indonesia.
Tak berarti dua malam itu, 2-3 Desember, Studio V RRI
Jakarta memang bersuasana muram. Ada yang terasa tak tercapai
dalam pergelaran Requiem yang didukung Paduan Suara Svarna Gita,
orkes gabungan dari sejumlah anggota Orkes Simfoni Jakarta (OSJ)
dan mahasiswa Departemen Musik Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta ini (lihat boks).
Atti Bagio yang bertindak selaku pimpinan pergelaran memang
mengaku. "habis, latihan lengkap dengan orkes hanya dua kali,"
tuturnya, biasa. Ia mcmang menghadapi soal teknis: anggota OSJ
yang ikut main, sebagian adalah pegawai RRI Jakarta, hanya bisa
ikut latihan di luar jam kerja.
Kemudian memang bisa dipaham pergelaran malam itu, yang
terasa kompak tak lain paduan suaranya. Svarna Gita (SG) yang
baru didirikan awal tahun ini beranggotakan para ibu yang dulu
tergabung dalam Bina Vokalia 1, dan beberapa karyawan
perusahaan. Bina Vokalia I sendiri, pernah beberapa kali menang
dalam festival paduan suara untuk seluruh Indonesia. Bahkan Juni
tahun lalu, berkat dukungan Bina Vokalia I itu, Bina Volialil
pimpinan Pranadja meraih juara III dalam festival paduan suara
internasional di Den Haag.
SG yang mendapat tawaran kerja sama dengan orkes gabungan
pimpinan Atti Bagio, lalu mencari pelatih yang dianggap
mampu. Akhirnya orang yang tak asing lagi bagi dunia
musik Indonesia terpilih: Soebronto K. Atmodjo. Semua itulah
agaknya yang mendukung nilai paduan suara malam itu.
Soebronto, 50 tahun, kelahiran Pati, Ja-Teng, memang pernah
belajar di jurusan koor di sekolah tinggi musik di Berlin. Ia
pun mencipta musik: nyanyian untuk piano tunggal, untuk biola,
nyanyian gereja, nyanyian anak-anak dan sejumlah lagu mars--yang
sampai kini belum boleh diperdengarkan. Musikus ini memang
pernah ditahan sehubungan dengan peristiwa G30S--1968-1977.
"Harus diakui repertoar Mozart ini sulit," tuturnya. "Tapi
para anggot. Svarna Gita rajin berlatih." Menurut Soebronto
latihan praktis selama 3 bulan, seminggu dua kali.
Tapi dari 70 vokalis yang tergabung dalam SG, sebagian
memang orang baru --dan ini menimbulkan masalah sendiri. Hanya
saja, berpengalaman memimpin paduan suara sejak 1952 sampai
1962, Soebronto tak begitu khawatir: mereka yang lemah
disisipkan di antara yang kuat.
Hasilnya bagi pelatih paduan suara ini: belum memuaskan
benar, biasa. Itulah sebabnya ia agak ragu ketika ada kabar
paduan suara SG akan keliling Eropa.
Soebronto sendiri kini lebih banyak melatih paduan suara
gereja. Dan sangat penting: ia optimistis terhadap perkembangan
paduan suara di Indonesia. "Hampir setiap instansi mempunyai
paduan suara. Tiap tahun ada lomba -meski baru terbatas pada
paduan suara gereja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini