CERITA berjudul Pesta Meriah dari Masa ke Masa (TEMPO, 2 Agustus, Laporan Utama) antara lain bilang, munculnya partai pemerintah, Golkar, dengan hasil yang luar biasa pada Pemilu 1971 terutama disebabkan dua hal. Pertama, lewat Kokarmendagri yang mewajibkan semua pegawai negeri -- bahkan sampai ke lurah -- memutuskan hubungan dengan semua partai politik. Dan, wajib menjadi anggota dan monoloyalitas pada Golkar. Kedua, peranan Bapilu (Badan Pemilihan Umum), yang digerakkan Jenderal Ali Murtopo (almarhum). Dua penyebab itu, memang, tepat. Tapi kita juga tahu adanya tindakan-tindakan coersion, semacam "kekerasan", baik melalui aparat birokrasi maupun orang-orang swasta yang "dikendalikan" aparat tersebut. Penangkapan juru kampanye intimidasi orang-orang desa, yang bahkan, terpaksa mereka mengungsi ke kota-kota besar konflik-konflik manifes yang cenderung merugikan partai-partai politik semua ini amat berpengaruh terhadap massa khususnya di pedesaan -- untuk "terpaksa" memilih Golkar. Laporan tentang tindakan-tindakan aparat terhadap "massa partai" bukan asing lagi di media massa. Kalau hanya dua faktor seperti TEMPO bilang tentu, paling-paling, Golkar menang tipis, mengingat pegawai negeri tidak lebih dari dua juta. Padahal, dalam kenyatannya, dari 54 juta lebih pemilih, Golkar meraih 34 juta suara (62,80%). Kan, katanya, ABRI tak ikut memberi suara. Biar para pembaca TEMPO dari anak-anak muda, yang mendominasi pemilih pada Pemilu 1987, tak salah penilaian atas menangnya Golkar, sebaiknya TEMPO juga menguraikan bagaimana peri laku birokrasi, termasuk oknum-oknum ABRI, yang menyikapi secara "kekerasan" massa yang pada hakikatnya mendukung partai politik. Tentu, masih ada beberapa faktor lain, tapi tindakan-tindakan "kekerasan" itu lebih menentukan (intervening variable), yang tanpa itu kedua faktor (monoloyalitas dan Ali Murtopo) takkan berarti terhadap kemenangan Golkar yang mutlak. Pada Pemilu 1977 dan 1982 juga masih terlihat kasus-kasus "kekerasan" semacam itu. Untung saja rezeki nomplok "minyak" bisa dijadikan sumber membeli dukungan massa. Adalah menarik kita amati, jika Pemilu 1987 bisa tanpa "kekerasan" dan jujur, sedang ekonomi nasional krisis dan berkurangnya proyek-proyek pembangunan yang selama ini menguntungkan bagi aparat birokrasi. MUCHTAR E. HARAHAP Staf Redaksi SKM Eksponen Jalan K.H.A. Dahlan 3 Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini