Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anggota DPR: antara sistem

Secara resmi golkar dan 2 parpol mengajukan daftar calon anggota dpr. dari ppp, keluarga naro terangkat dardji siap mengajukan daftar tandingan. pdi mencalonkan anak-anak bung karno, golkar anak-anak pejabat.(nas)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA pencalonan anggota DPR untuk Pemilu 1987, ternyata, berakhir dengan tenang, Sabtu 27 September pekan lalu. Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, selaku Ketua Panitia Pemilihan Indonesia, dalam upacara yang singkat, tak sampai 15 menit, akhirnya, menerima daftar calon sementara para kontestan yang diserahkan oleh ketua umum masing-masing. Daftar calon itu berisi 2.216 nama. Suatu jumlah yang besar dibanding jumlah kursi yang akan diisi, yang cuma 400. Sesuai dengan peraturan, tiap kontestan berhak mengajukan calon dua kali lebih banyak dari kursi yang diperebutkan. PPP dan Golkar mengajukan jumlah sesuai maksimal yang ditentukan, yakni masing-masing 800 nama. Hanya PDI yang paling sedikit, 616 nama. Sebegitu jauh, tampaknya, tak ada protes. Juga, di permukaan, tak ada daftar calon tandingan. Misalnya, yang berasal dari kubu Soedardji di kelompok PPP. Adapun H.J. Naro, hari itu, tampil dengan penuh senyum mengembang. Tak tanggung-tanggung, ia datang dan pergi ke Departemen Dalam Negeri itu, dengan dikawal oleh sekitar 30 anggota Generasi Muda Persatuan, yang berbaju batik necis, dan ber-handie talkie. Bahkan, ia satu-satunya pimpinan orpol yang menyerahkan daftar calon sementara, tanpa sepatah pun mengucapkan kata pengantar. Telah redakah badai pertikaian di tubuh PPP? Telah tundukkah Soedarji cs? Soedardji, salah seorang ketua DPP PPP serta ketua F-PP di DPR, memang tak muncul pada acara resmi itu. Tapi, bukan berarti ia telah mengaku kalah. Pada hari itu, di kantornya di lantai 4 DPR, ia justru tengah asyik mengoreksi daftar calon tandingan yang tengah disiapkannya. Dan, siang itu juga, leat seorang kurir, ia mengirimkannya. "Ada 175 nama yang saya ajukan." Inilah daftar nama sejumlah orang yang memang telah disingkirkan oleh Naro. Antara lain, Syarifuddin Harahap, M.A. Gani Zamroni, Ismail Mokobombang, serta Attabik Ali, putra bekas Rais Am NU Ali Ma'sum. Dan, tentu, Soedardji sendiri. Menurut Soedardji, orang-orang yang diajukannya itulah, "yang justru masih pantas menjadi anggota DPR." Sebagai ketua fraksi, katanya, ia tahu benar siapa yang masih memenuhi kriteria. "Yakni, orang-orang yang loyal pada undang-undang, serta aktif sebagai anggota DPR." Dan daftar yang diajukan Naro? "Kelompok Naro itu hampir tiga tahun tidak efektif sebagai anggota DPR," kata Soedardji. Inilah para anggota DPR, demikian Dardji lebih jauh, yang cuma menjadi robot Naro. "Mereka tidak turut membikin puluhan UU yang dihasilkan DPR," tambahnya. Dan kini? "Malah mereka yang diterima Depdagri. Ini 'kan aneh." Yang menarik ialah, kendati kini sama-sama bermusuhan dengan Naro, toh Ridwan Saidi tidak termasuk dalam daftar Soedardji. "Performance Ridwan itu tak bisa diterima banyak pihak," kata Soedardji. "Ia itu orang muda, yang mendapat predikat intelektual. Tapi, ngomongnya kasar," kata Soedardji. Ridwan Saidi, sebelumnya, tergolong sekubu dengan Naro. Tapi kemudian, ia dinilai bertindak "inkonstitusional". Sebab ia telah bersuara di luar muktamar, menuntut perubahan AD & ART serta khittah perjuangan partai. Yakni, menjadikan PPP sebagai partai terbuka, tak hanya bagi yang beragama Islam. Meski begitu, pada mulanya, namanya masih akan diajukan sebagai calon oleh Naro. "Pak Naro sebenarnya ingin menguji hipotesa Ridwan," kata Mahdi Tjokroaminoto, salah seorang ketua DPP PPP. Yakni, apakah benar PPP tanpa Islam dapat bertahan, malah akan mendapat suara lebih banyak dibanding Pemilu 1982. Untuk menguji gagasan Ridwan itu, Naro berencana menaruhnya di nomor perbatasan. Yakni, sebagai calon no.6, untuk daerah pemilihan DKI Jakarta. Pada Pemilu 1982, putra Betawi itu tampil sebagai calon no. 1. Adapun PPP, kala itu, memenangkan 5 kursi. "Kalau hipotesanya benar, tentu, ia bisa lolos meski dicalonkan pada No.6," kata Mahdi. Tapi, akhirnya, Ridwan tidak dicalonkan sama sekali oleh Naro. "Ia telah lebih dulu terpancing emosi." ujar Mahdi. Yang dimaksud ialah, Ridwan lantas berbicara "macam-macam" secara terbuka. Antara lain, ia menyebut DPP PPP, tak ubah seperti Islam Jamaah. "Ketua Umum dianggap sebagai amir, yang dipatuhi, dan tak terbantah," kata Ridwan. Jadi, "Tidak intelektual." Ridwan sendiri mengaku, "Sudah lama saya tak berpikir tentang pencalonan. Saya tidak terpukau lagi." Ia, katanya, kini menaruh perhatian besar justru pada kelestarian PPP di masa depan. "Karena itu, saya tetap aktif menulis ihwal modernisasi partai di media massa." Sebab, ia yakin benar, tipis harapan bagi PPP dalam jangka pendek ini. "Meski kelompok Naro bergabung dengan kelompok Dardji, suara yang diperoleh tetap akan merosot," katanya, meraba hasil pemilu kelak. Dan, setelah itu, "Naro akan jatuh," katanya. Mengapa? "Pencalonan itu 'kan disusun menurut hawa nafsu. Dalam konflik partai, Naro harus unggul terhadap siapa pun," katanya. Itu disusun tanpa taktik. "Jika dengan taktik, ia harus bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya," katanya. Ihwal kepentingan pribadi inilah, memang, yang banyak disorot berbagai pihak. "PPP akan menjadi partai keluarga," kata Ali Imron Kadir, yang bersama-sama Naro, mengkup Parmusi dari kepemimpinan Mintareja (1970). Buktinya: Naro tak segan menjadikan anaknya, Hussein Naro, sebagai calon jadi dari Jawa Barat. Tak hanya itu. Naro juga menjagokan adiknya, Ir. Wibowo Naro, calon no.2 dari Sumatera Barat. Ada pula yang menyebut, Ny. Yulinar Naro, adik Naro yang baru menjanda, juga dicalonkan dari DKI -- kendati bukan pada nomor jadi. Sampai-sampai di Medan, Naro digelari Ampi, yang berarti, Anak, Menantu, dan Pamili. Tuduhan pada Naro tak cuma ihwal pencalonan yang bersifat nepotisme semata. Tapi, ia juga memasukkan orang-orang dekatnya sebagai calon, tanpa mengindahkan aspirasi cabang maupun wilayah. Contohnya: para calon dari Sum-Ut. Untuk daerah pemilihan Sum-Ut ini, semua calon terpilih pada Pemilu 1982, memang, kini disapu bersih. Mereka adalah Soedardji, Syarifuddin Harahap, Nuddin Lubis, serta Syufri Helmy Tanjung. Tiga nama terdahulu terang terlibat pertikaian dengan Naro. Yang menjadi pertanyaan ialah turut disingkirkannya Helmy. "Ia orang baik. Ia anggota DPR yang baik hubungannya dengan daerah asal pemilihannya," kata sebuah sumber di DPP PPP pada Musthafa Helmy dari TEMPO. Ia sesungguhnya, masih dicalonkan oleh DPW PPP Sum-Ut. "Tapi Naro memang tidak suka padanya, karena Helmy dinilai tidak jelas berada di pihak mana -- apakah di kubu Naro atau Dardji." Yang lebih mengherankan, munculnya calon-calon pengganti, yang tak dikenal massa PPP di Sum-Ut. Misalnya, Ismed Batara Siregar, S.H., yang menjadi calon no.1. "Ia tidak dikenal di Medan," kata suatu sumber pada Bersihar Lubis dari TEMPO. Nah, siapa Ismed ? Ismed kini hampir 60. Ia pernah menjadi atase perindustrian di Tokyo selama hampir 14 tahun (April 1969-Januari 1982). Ayah tiga anak ini kini adalah Presiden Direktur PT Bank Perdania, di Jakarta. "Tidak benar, saya dicalonkan hanya karena punya hubungan pribadi dengan Naro," katanya pada TEMPO. "Naro itu seorang intelektual, tcntu, ia tidak ngawur. Tidak sombong, tentunya, karena saya dinilai berkualitas," tambahnya. Ismed mengatakan, ia mengenal dekat dengan Naro, sebab, "Kami dulu satu alma mater di Fakultas Hukum UI." Yang terang, kubu Naro berpendapat, pencalonan itu telah disusun dengan pertimbangan yang matang. Orang-orang NU, misalnya, meski sudah melepaskan diri dari PPP, tetap mendapat jatah sebanyak 49%. Suatu jumlah yang merosot, memang. Sebab, pada 1982, misalnya, NU mendapat kapling 55%. Yang terang terus meningkat adalah bagian bagi MI, organisasi Naro. Dari 24% pada pemilu lalu, naik menjadi 30%. Adapun generasi muda, sebanyak 10%, dan wanita dari semula 5% kini meningkat menjadi 10%. Kecuali itu, para ulama juga tetap diperhitungkan. Karena itu, misalnya, K.H. Musallim Ridlo, pengurus Syuriah NU Purwokerto, termasuk dicalonkan. "Kami ingin partai ini menjadi stabil," kata Mahdi Tjokroaminoto. "Karena itu, orang yang kami ambil, yang tak akan membuat ulah lagi." Lalu, apa alasan memilih keluarga Naro, seperti Hussein (anak) dan Wibowo (adik)? Naro sendiri selalu menghindar dari pertanyaan TEMPO. Tapi jawaban datang dari DPW PPP Ja-Bar, tempat Hussein dicalonkan. "Hussein dicalonkan bukan karena ia anak Naro. Tapi, karena ia memiliki persyaratan penting yang digariskan partai," kata H.M. Yusuf Anwar Ghofar, Ketua DPW PPP Ja-Bar. Persyaratan itu ialah, berwawasan luas, berakhlak dan berbudi pekerti baik, dan mengetahui secara luas daerah Jawa Barat. Dan, yang lebih penting, ia Wakil Ketua Umum Generasi Muda Persatuan," tambahnya. Bahkan Hussein itu "diperebutkan oleh tiga daerah, yakni Ja-Bar, Sum-Sel, dan Jakarta," tambah Yusuf Anwar. "Dan, ternyata, Ja-Bar-lah yang berhasil merebut Hussein, katanya kepada Aji Abdul Gofar dari TEMPO." Lalu, mengapa tokoh yang gemar dan berani bicara, seperti Amin Iskandar, tak dicalonkan lagi dari Ja-Bar? "Sekarang PPP sedang melakukan regenerasi. Karena itu, yang diajukan terutama calon-calon dari generasi muda." Dan, khusus bagi Amin Iskandar, kesehatannya juga sudah jauh menurun. Adapun Edy Wibowo Naro, meski berdomisili di Palembang, toh dicalonkan dari Sumatera Barat. "Tidak penting di mana seorang calon tinggal," kata Ketua DPW PPP Sum-Bar, H. Yahya. Edy, katanya, merupakan calon murni dari Sum-Bar. "Sejak Pemilu 1982 dia sudah tampil dalam tim kampanye PPP di SumBar. Dia bukan titipan siapa-siapa, tapi kami sendiri yang minta," tambah Yahya. "Ia kami anggap dapat membaca aspirasi dan kondisi masyarakat Sumatera Barat." Kontroversi juga menyeruak di tubuh PDI. Ini khusus menyangkut pencalonan anak-anak Bung Karno, Presiden RI yang pertama. Guruh Sukarno disebut muncul sebagai calon dari DKI Jakarta. Adapun Megawati dikabarkan akan tampil sebagai vote getter untuk daerah Jawa Tengah. Tapi, semua hal itu dibantah oleh Rachmawati Soekarno. Simpang siur ihwal anak-anak Bung Karno itu belum jelas benar. Tapi, dalam pencalonan kali ini, PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi tergolong dapat menyelesaikannya dengan mulus. Ini, kalau mengingat, betapa partai itu sebelumnya dilanda pertikaian terus-menerus, dan relatif stabil setelah kongres yang gagal. "Dalan pencalonan ini, aspirasi dari bawah sangat kami perhatikan," kata Ketua Umum DPP PDI Soerjadi. Para calon itu terutama berasal dari hasil konperensi cabang maupun konperensi daerah. PDI sebenarnya telah memutuskan, tak akan mencalonkan lagi mereka yang telah menduduki kursi DPR untuk dua periode. "Kecuali bagi yang berprestasi," kata Sekjen DPP PDI Nicolaus Daryanto. Karena itu, "dalam daftar calon yang diserahkan, masih terdapat nama-nama lama," tambah Soerjadi. Memang, Ahmad Subagyo, misalnya, masih dicalonkan dari daerah Jawa Tengah. Yang tak dapat ditawar lagi ialah keputusan bahwa para ketua DPD atau DPC tak boleh menjadi anggota DPR setingkat di atasnya. Yang pasti, masalah unsur tidak menjadi pertimbangan penting lagi, seperti di masa lalu. "Ketokohan seseorang sebagai pemimpin rakyat, merupakan salah satu pertimbangan penting. Para calon itu ditarik dari rakyat. Mereka 'kan mewakili rakyat yang dipimpinnya," kata Soerjadi. Tapi, selain aspirasi dari bawah, kualitas orang itu, serta regenerasi juga menjadi pertimbangan yang penting. "Kami ingin mengisi berbagai komisi strategis dengan orang-orang yang berkualitas pada bidang yang bersangkutan," kata Daryanto. Inilah Komisi I (antara lain membidangi hankam dan luar negeri), Komisi II (dalam negeri), Komisi III (hukum), Komisi V (perhubungan dan pekerjaan umum), Komisi IX (pendidikan dan agama), serta Komisi APBN. Sejak awal, PDI akan mendesain siapa-siapa saja kelak, yang akan menduduki komisi-komisi itu. "Sebelumnya, mereka akan dilatih lebih dulu," kata Daryanto. Untuk itu, misalnya, PDI akan membikin kerja sama dengan berbagai lembaga yang kompeten. Misalnya, merintis kerja sama dengan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, dalam latihan yang berkaitan dengan berbagai kemampuan manajemen. seperti, memecahkan persoalan serta mengambil keputusan. Sementara itu, telah dicapai kesepakatan antara Golkar dan PDI. Yakni, dalam hal berbagi sisa suara. Ini berkaitan dengan kelebihan suara yang tidak habis dibagi oleh bilangan pembagi pemilih (BPP). Kesepakatan itu ditandatangani ketua umum dan sekjen masing-masing, 20 September silam. Ia lahir atas inisiatif PDI. Mengapa dengan PDI? "Lho, PPP tidak meminta mengadakan kesepakatan serupa," ujar Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmadja pada Syatriya Utama dari TEMPO. Kesepakatan itu, katanya, khusus untuk suara bagi DPR RI, di tujuh daerah pemilihan. Yakni Sum-Ut, Sum-Bar, Sum-Sel NTB, Kal-Tim, Kal-Sel, dan Maluku. Ketujuh daerah itu dipilih, sesuai dengan hasil konsultasi DPD PDI dan DPD Golkar. Pada pemilu lalu, ada juga kesepakatan. Tapi, sifatnya terbatas antara daerah yang bernegosiasi. Dalam pada itu, pencalonan dari Golkar, hampir tak banyak berubah dari yang pernah diungkapkan TEMPO (6 September 1986). Tapi kejutan kembali terjadi di Riau. Dalam daftar calon sementara DPRD tingkat I Riau, misalnya, Ketua DPRD Haji Masnur tak dicalonkan kembali. Ini, rupanya, masih ekor kasus pemilihan Gubernur Imam Munandar 2 September tahun silam. Karena itu, banyak yang menduga, perolehan suara Golkar di Riau, besar kemungkinan akan menurun. Soalnya, banyak calon yang diajukan di wilayah ini, orang-orang yang tak dikenal masyarakat. Apa kata Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono? "Oh, ya?" jawabnya, ringan. "Untung, dong, kontestan lainnya." Tapi, segera ia meneruskan, "Doktrin kami, mesti kerja keras, agar bisa mendapat 70 persen suara," katanya pada Agus Basri dari TEMPO. Pertambahan perolehan suara itu bukan hal yang mustahil. Sebab, Ketua Umum PB NU, misalnya, menduga banyak warga NU yang akan memilih Golkar. "Terutama di daerah Jawa Barat, dan Jawa Tengah," katanya. Apa pun, di Golkar toh juga terjadi gejala regenerasi lewat anak pejabat. Misalnya, tamilnya Dewi Ria Nasution, 24. Anak Gubernur Sum-Ut Kaharuddin Nasution ini baru muncul ke panggung politik pada Musyawarah Daerah KNPI di Kisaran (1985) ia, dalam hal kemudaan usia, bersaing dengan Hussein Naro. Seperti diketahui, alalah merupakan tradisi, anggota DPR termuda yang akan memimpin DPR/ MPR demisioner -- sebelum terpilih ketua DPR/MR yang baru hasil pemilu. Karena itu, orang ramai membicarakan ihwal munculnya regenerasi "karbitan", serta lebih bersifat nepotisme itu. Sesungguhnya, dalam masyarakat yang makin maju, tentu diferensiasi sosial juga kian luas. Karena itu regenerasi elite mestinya tidak lagi bersandar pada reproduksi biologis, tapi lebih sebagai hasil persaingan kemampuan demokrasi adalah peluasan kesempatan, dan kompetisi. Karena itulah, ada ahli yang bilang, sejarah sebenarnya merupakan kuburan kaum aristokrat. Saur Hutabarat, Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus