Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Universitas Brawijaya melobi Surya Paloh agar mau menerima gelar doctor honoris causa.
Menteri Zainudin Amali akan dikukuhkan sebagai profesor tidak tetap Universitas Negeri Semarang.
Salah satu karya ilmiah Zainudin Amali diduga dipublikasikan di jurnal predator.
PAPAN bunga dan puluhan poster bernada protes tersebar di penjuru Universitas Brawijaya di Jalan Veteran, Malang, Jawa Timur, Senin, 25 Juli lalu. Salah satunya bertulisan “Matinya Akal Sehat dan Integritas Intelektual Universitas Brawijaya”. Hari itu Universitas Brawijaya menganugerahkan doctor honoris causa untuk Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raffy Nugraha, mahasiswa Fakultas Ekonomi yang berdemonstrasi menolak pemberian gelar itu, mengatakan atribut unjuk rasa tersebut hanya bertahan dua jam. Petugas protokoler Surya dan pegawai keamanan kampus mencopoti poster-poster itu. “Kampus bisa terus mengobral gelar jika acara penganugerahan ini tak dilawan,” kata Raffy saat dihubungi, Kamis, 11 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan sebelumnya, Universitas Brawijaya juga memberikan gelar profesor kehormatan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Politikus NasDem itu ditetapkan sebagai guru besar bidang manajemen sumber daya alam oleh Fakultas Pertanian.
Surya Paloh dikukuhkan sebagai doctor honoris causa di bidang sosiologi politik oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya. Politikus asal Aceh itu menyampaikan orasi ilmiah bertema “Meneguhkan Politik Kebangsaan”.
Dekan FISIP Universitas Brawijaya, Sholih Muadi, menyebutkan ada beberapa alasan pemberian titel kehormatan kepada Surya. Salah satunya Surya dinilai mendorong iklim politik yang lebih berintegritas dan tanpa mahar. “Komitmennya terhadap anti-politik uang relevan dengan semangat pemberantasan korupsi,” ujar Sholih dalam siaran pers yang dimuat di situs kampus.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali meresmikan lapangan sepakbola sintetis Universitas Negeri Semarang (UNNES), di Kampus Sekaran Gunungpati Semarang, Februari 2022. Dok UNNES
Sejumlah dosen Universitas Brawijaya mengatakan kampus tak pernah mempublikasikan dan menggelar uji publik sebelum memberikan gelar kepada Surya. Kondisi itu berbeda dengan rencana pengukuhan Presiden Joko Widodo sebagai doktor kehormatan beberapa tahun lalu. Waktu itu mayoritas pengajar menolak rencana tersebut karena dinilai mempolitisasi kampus.
Rencana Universitas Brawijaya memberikan titel doctor honoris causa kepada Surya bermula sebelum pandemi Covid-19 merebak pada Maret 2020. Ketua NasDem Kota Malang Hanan Jalil bercerita pernah bertemu dengan seorang pejabat FISIP Universitas Brawijaya di sebuah kafe di Malang. Petinggi kampus itu menanyakan rekam jejak dan prestasi Surya di bidang pers dan politik.
Menurut Hanan, pejabat universitas itu mengungkapkan bahwa Surya pantas menerima gelar doktor kehormatan. “Tapi saya bilang bahwa Pak Surya tak pernah mau diberi gelar-gelar kehormatan seperti itu,” ucapnya.
Rupanya, Universitas Brawijaya serius menjajaki pemberian titel itu. Tim kampus beranggota enam orang mendatangi Surya yang sedang menggelar konsolidasi dengan kader NasDem di Hotel Shangri-La, Surabaya, awal Maret lalu. Hanan dan Ketua NasDem Jawa Timur Sri Sajekti Sudjunadi meminta tim universitas mengutarakan langsung rencana pemberian gelar kepada Surya.
Hanan yang ikut dalam pertemuan itu bercerita, Surya sempat mempertanyakan kelayakannya menerima doctor honoris causa kepada tim Brawijaya. “Saya bertanya begini karena merasa tak pantas menerimanya,” kata Surya seperti ditirukan Hanan.
Surya akhirnya mau dikukuhkan sebagai doktor kehormatan. Tapi ia tak memberi ancar-ancar jadwalnya karena ingin berfokus menyiapkan Rapat Kerja Nasional NasDem yang digelar di Jakarta pada pertengahan Juni 2022.
Rektor Universitas Brawijaya periode 2018-2022, Nuhfil Hanani, menyatakan tak mengetahui usul pemberian gelar untuk Surya. “Tak ada usulan langsung ke saya ketika masih menjabat rektor,” tutur Nuhfil lewat pesan WhatsApp pada Kamis, 11 Agustus lalu. Rektor Brawijaya, Widodo, dan Dekan FISIP, Sholih Muadi, tak merespons permintaan wawancara Tempo.
Seusai acara pengukuhan gelar, Surya mengaku merasa terhormat diberi gelar tersebut. Surya berharap doctor honoris causa yang diperolehnya dapat bermanfaat bagi kemajuan bangsa.
Wakil Ketua Umum NasDem Ahmad Ali mengklaim Surya berkontribusi dalam bidang politik dan demokrasi sehingga layak menerima gelar doktor kehormatan. Namun ia tak mengetahui alasan dan kriteria Universitas Brawijaya memberikan gelar tersebut. “Pengalaman dan pengetahuan beliau sudah melampaui gelar itu sendiri,” kata Ahmad, Kamis, 11 Agustus lalu.
Bukan hanya Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Semarang (Unnes) juga memberikan gelar kehormatan untuk para politikus. Kampus ini berencana menyematkan titel profesor kehormatan untuk Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali pada pekan ketiga Agustus ini. Zainudin adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar.
Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman mengatakan ada sejumlah alasan kampusnya menganugerahkan gelar guru besar kehormatan untuk Zainudin. “Ada alasan akademis, dan prestasinya dalam bidang olahraga telah mendunia,” ucap Fathur Rokhman, yang pernah tersandung kasus plagiarisme jurnal ilmiah dan disertasi.
Sebelumnya, sederet politikus tercatat pernah menerima gelar kehormatan dari Unnes. Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, mendapat gelar doktor kehormatan pada 23 Desember 2020. Sekitar dua bulan kemudian atau pada Februari 2021, giliran Wakil Ketua Umum Golkar Nurdin Halid menerima gelar serupa.
Zainudin Amali mengklaim punya kontribusi di bidang olahraga dengan membuat desain besar olahraga nasional. Konsep tersebut diresmikan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021. “Saya bahkan mendapatkan rekomendasi dari tiga menteri olahraga, yakni Singapura, Malaysia, dan Filipina,” kata Zainudin.
Baca: Dugaan Uang Lelah di Balik Gelar Doctor Honoris Causa Politikus
Pemberian gelar profesor tidak tetap diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Regulasi baru itu mencabut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 88 Tahun 2013, profesor tidak tetap diputuskan menteri atas usul perguruan tinggi dan harus memperoleh rekomendasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dengan aturan baru, syarat rekomendasi wajib dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dihapus.
Zainudin Amali mengatakan ia sudah menunaikan sejumlah kewajiban dosen, seperti mengajar dan menguji karya ilmiah para mahasiswa di Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah. Dia juga menulis di sejumlah jurnal ilmiah, baik yang dipublikasikan penerbit lokal maupun internasional.
Salah satu karya ilmiah Zainudin—ditulis bersama tiga dosen Unnes dan satu atlet sepak bola—berjudul “Evaluation on the Physical Condition of Football Extracurricular Participants before and during the COVID-19 Pandemic”. Riset itu diterima pada 15 April lalu dan terbit di International Journal of Human Movement and Sports Sciences.
Jurnal itu milik Horizon Research Publishing Corporation. Merujuk pada Beallslist.net—situs penyedia daftar jurnal dan penerbit predator—Horizon Research termasuk penerbit yang diduga merilis jurnal predator. Istilah ini merujuk pada jurnal yang tak meninjau naskah dengan benar, memangsa para penulis dengan biaya publikasi, serta menjanjikan pemuatan manuskrip secara cepat.
Kementerian Pendidikan merekomendasikan situs Beallslist.net untuk mengecek daftar penerbit dan jurnal predator. Zainudin Amali mengatakan judul artikel ilmiah tersebut sudah tercantum dalam basis data Scopus. Ini adalah pangkalan data pustaka yang berisi puluhan ribu judul karya ilmiah. “Bila karya itu bisa dilacak di Scopus, berarti tidak terbit di jurnal predator,” tuturnya.
Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Tandiyo Rahayu, mengklaim Zainudin memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kehormatan. Lewat jawaban tertulis yang dikirimkan melalui Zainudin, Tandiyo menyatakan rencana pemberian titel guru besar itu telah dibahas dan disetujui dalam rapat Komisi Profesor dan Senat Unnes. “Kami tak menjumpai ada pihak yang mengkritik atau keberatan,” kata Tandiyo.
Meski demikian, dua guru besar Unnes mengaku tak mengetahui rencana pemberian gelar untuk Zainudin Amali, apalagi dilibatkan dalam rapat pembahasan. “Saya sebagai salah satu profesor di Unnes bahkan tidak pernah mendengar apalagi mengetahui pemberian profesor kehormatan itu,” ujar Bambang Budi Raharjo, guru besar Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Guru besar Fakultas Teknik, Saratri Wilonoyudho, juga tak mengetahui ada forum yang disebut Komisi Profesor sebagaimana diklaim Tandiyo. Di Universitas Negeri Semarang, hanya ada Majelis Profesor beranggota 91 orang. Ia menduga komisi itu hanya terdiri atas segelintir guru besar karena tak pernah diundang rapat yang membahas gelar untuk Menteri Pemuda dan Olahraga.
Saratri mempertanyakan kepatutan pemberian gelar tersebut. Sebab, syarat memperoleh gelar profesor dari jalur reguler saja sangat berat. Ia mencontohkan, dosen harus meraih 850 angka kredit untuk mendapatkan gelar guru besar. Berdasarkan pedoman Kementerian Pendidikan, dosen yang menyandang gelar doktor baru mengantongi 200 kredit.
Sedangkan penulisan jurnal bereputasi internasional hanya mendapat poin sebesar 20-40. “Semestinya pejabat ini punya karya yang luar biasa sehingga tiba-tiba diganjar profesor kehormatan,” kata Saratri.
Penerima gelar doctor honoris causa dan profesor kehormatan mengklaim layak menerima titel tersebut meski diragukan. Zainudin Amali berkukuh mempunyai karya di sektor olahraga, yakni desain olahraga nasional yang diklaim mendongkrak prestasi atlet Indonesia di ajang olahraga seperti SEA Games ke-31 di Vietnam pada Mei lalu. “Itu orisinal dari ide saya,” ucap Amali.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, HUSSEIN ABRI DONGORAN (JAKARTA), ABDI PURMONO (MALANG), JAMAL NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo