MULAI bulan depan, berlaku kenaikan harga pembelian beras & padi
yang diputuskan Bina Graha 28 Oktober lalu. Namun bagi pedagang,
maklumat di Hari Sumpah Pemuda itu rupanya telah menjadi isyarat
untuk menaikkan pula harga penjualan mereka. Hanya sehari
setelah keputusan itu, di Pasar Induk Beras Cipinang harga beras
Saigon Bandung I yang sehri sebelumnya tercatat Rp 120 sekilo
naik 3 perak. Beras C-4 yang rasanya agak lentuk, menanjak dari
Rp 118 menjadi Rp 120 sekilo. Bagai suatu balapan, kenaikan
harga itu diikuti pula oleh harga 17 jenis beras lainnya. Terus
sampai 20 Januari lalu, ketika wartawan TEMPO Yunus Kasim
melakukan observasinya di PIB Cipinang dan beberapa pasar beras
lainnya di Ibukota.
Beras jenis standar Cianjur Kepala misalnya, sudah naik sebanyak
16% dari Rp 160 sekilo menjadi Rp 190. Beras Saigon Bandung I
dalam periode yang sama sudah naik lebih dari 31% menjadi Rp 160
sekilo. Sedang jenis C-4 mencatat kenaikan harga sebesar 28% --
sama dengan kenaikan harga beras jenis BGS Slijp Karawang --
sampai Rp 151. Beras Pelita I naik 29% menjadi Rp 131 sekilo.
"Yang agak murah hanyalah beras eks Hongkong dan Pelita I.
Masing-masing Rp 112 dan Rp 127 sekilo", ujar Atang, pedagang
beras di Los D PIB Cipinang. "Itupun karena droping Dolog Jaya.
Tanpa droping, si Pelita bisa mencapai harga Rp 125 sekilo",
katanya lagi. Akibat lonjakan harga di Pasar Induk, karuan saja
kenaikan di asar-pasar bawahannya lebih terasa lagi. Di Pasar
Senen, beras Cianjur Kepala mencapai Rp 205 sekilo. Sedang beras
Saigon Bandung berkisar antara Rp 165 -- Rp 170 sekilo. Seorang
ayah yang datang berbelanja ke Pasar Minggu mengeluh lantaran
beras Australia di sana harganya sudah Rp 150 sekilo. Padahal di
Cipinang masih Rp 133.
3 Faktor
Menurut para pedagang di Cipinang, kenaikan harga beras ini
mungkin yang tercepat selama 2 tahun terakhir. Tapi kenapa naik?
Macam-macam jawaban mereka. Hanya yang paling banyak dikemukakan
para pedagang adalah naiknya harga pembelian dari petani. "Padi
makin mahal, karena harga pupuk sudah naik", ujar Asen, pedagang
beras asal Karawang. Bersama tiga orang kawannya, tiap hari dia
mencarter sebuah truk Daihatsu untuk menangkut 50 karung beras
dari Karawang ke Cipinang. Sementara itu, pejabat PIB Cipinang
Herdy Sudjad menyebutkan sedikitnya ada tiga faktor penyebab.
Selain keputusan 28 Okober 1975, musim hujan dan masa paceklik
yang biasanya berkisar Nopember s/d Maret ikut mempengaruhi
kenaikan". Pada musim hujan seperti sekarang ini para petani
tidak bisa menjemur padi, berarti suplai ke penggilingan
berkurang. Sedang masa paceklik berarti persediaan beras sendiri
yang kurang-kecuali bila pabrik-pabrik sudah menimbun stok sejak
masa panen. Seperti dikatakan mang Atang yang sudah 13 tahun
dagang beras: "para tengkulak beras di Cianjur dan Sukabumi kini
berebutan membeli beras dari petani untuk dijual ke Jakarta.
Bahkan ada di antara mereka yang memberi uang panjar,
menyebabkan harga terus menanjak".
Pengaruh masa paceklik itu juga tampak dari berkurangnya truk
yang masuk ke luar PIB Cipinang. Beberapa bulan lalu sampai 2800
ton beras masuk ke los dan gudang pasar induk itu. "Kini
rata-rata 2000 ton saja", ujar Sudjad. Beras sebanyak itu
diangkut oleh 150200 truk dan colt dai Solo, Semarang, seputar
Cirebon, Bandung, dan Karawang. Selain meliwati timbangan
Pulogadung, banyak pula yang melalui gerbang selaan Ibukota di
Cibugur. Khususnya beras asal Cianjur dan Sukabumi. Nah, untuk
membendung harga, pertengahan Januari lalu Dolog Jaya mendrop
190 ton beras impor di Cipinang, yang antara lain eks Hongkong
dan Australia. Tapi tidak semua beras yang bertimbun di Cipinang
dimakan oleh warga DKI. Sebab menurut catatan PIB Cipinang,
banyak juga yang dibawa ke luar lagi. Tanggal 12 Januari
misalnya, armada angkutan beras yang ke luar dari Cipinang ke
seluruh pelosok Jakarta tercatat sebanyak 118 colt, sedang yang
ke luar kota jurusan Tanggerang, Serang, Pandeglang dan Bogor
ada 65 truk.
Servis Kaset
Kendati dernikian, pasar induk Cipinang tetap ramai. Grosir
memadati los-los, sedang para pengecer berjejal di antara
timbunan karung berasnya memadali ruangan pasar sampai ke
emperan. Jumlah pedagang di Cipinang -- yang jauh lebih banyak
dari di Gang Lokomotif dan Rawabening dulu, sebelum berdirinya
PIB Cipinang -- menambah persaingan di antara mereka sendiri.
Hingga keuntungan jadi paling banter 2 perak sampai seringgit
sekilo, walaupun harganya sudah begitu tinggi. Maka sudah lumrah
kenaikan harga beras ikut mengangkat harga kebutuhan sehari-hari
lainnya. Di Pasar Senen, ikan teri nasi yang akhir tahun lalu
masih Rp 800 sekilo pertengahan Januari sudah naik menjadi
seribu. Telur ayam negeri naik dari Rp 550 menjadi Rp 650
sekilo, tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Minyak goreng naik dari
Rp 135 menjadi Rp 150 per botol sayur kangkung jadi Rp 50 seikat
kecil.
Dengan alasan angin musim barat, tauke ikan asin di Pasar Senen
sudah mengerek harga ikan teri jengki menjadi Rp 850 sekilo --
100 perak lebih mahal dari sebulan sebelumnya. Sementara cabe
merah juga tambah mahal: Rp 50 per kilo dari harga sebelumnya.
Kenaikan harga itu terang saja merembet-rembet pula ke sektor
usaha lain. Termasuk tarif tukang pijat kelas menengah yang buka
praktek di belakang apotik Polonia. Tanah Abang. Seorang bapak
yang sudah berumur dan doyan dipijat, menjadi tidak enak lagi
badannya selesai otot dan dagingnya digarap. Masalahnya, mulai
Januari lalu tarif sudah naik dari 1000 perak menjadi 1500 per
jam. Alasanya: peningkatan servis yang berupa pemutaran
lagu-lagu kaset guna menghibur para tamu yang sedang asyik. Tapi
sebenarnya, yah harap dimaklumi. Sebab untuk membeli 10 kilo
beras rakyat jenis C-4, yang dulunya masih dapat ditawar dengan
selembar gambar Pak Dirman, sekarang minimal harus ditambah 500
perak, memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini