Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBIJI medali perak dan satu perunggu dari Olimpiade London 2012 jelas bukan prestasi yang pantas bagi Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk nomor empat di planet bumi. Memang bukan berarti 240 juta penduduk kita tak sanggup mencapai performa dunia. Mulai Olimpiade 1992 sampai 2008, atlet bulu tangkis Indonesia selalu menambang setidaknya satu emas. Hasil ini jelas lebih bagus dibandingkan dengan era tanpa medali, sejak Indonesia pertama kali ikut Olimpiade di Helsinki pada 1952. Ketika di London tak satu emas pun direbut, inilah sinyal terang-benderang betapa pembinaan olahraga Indonesia berjalan mundur.
Mungkin kinerja buruk ini akibat olahraga tak diurus mereka yang ahli. Masih banyak induk organisasi olahraga, termasuk cabang unggulan seperti bulu tangkis, dipimpin pejabat pemerintah atau militer—yang tentu saja tidak berkonsentrasi mengurus olahraga. Sudah tak ada lagi pemimpin dengan kecintaan kepada olahraga seperti M.F. Siregar, yang tatkala memimpin Persatuan Renang Seluruh Indonesia hampir setiap sore memantau catatan waktu atletnya di tepi kolam renang.
Sekarang, pembinaan disalahtafsirkan sebagai usaha merebut medali sebanyak mungkin dengan segala cara. Dalam Pekan Olahraga Nasional, contohnya, sudah lama terjadi bajak-membajak atlet oleh berbagai daerah. Membina atlet, bagi sebagian besar daerah yang berpendapatan besar, diartikan mendatangkan medali dengan "membeli" atlet yang sudah "jadi". Maka tak jarang seorang atlet nasional berpindah-pindah daerah dari satu pekan olahraga ke pekan olahraga berikutnya.
Mungkin saja para pengurus olahraga di berbagai daerah itu meniru apa yang dilakukan pengurus pusat. Dalam pesta olahraga se-Asia Tenggara atau SEA Games, Indonesia termasuk negara yang sangat getol memasukkan cabang olahraga non-Olimpiade. Alasannya tak jauh dari tujuan menambang medali sebanyak mungkin. SEA Games Palembang 2011, umpamanya, memainkan 44 cabang olahraga, padahal Olimpiade London hanya melagakan 26 cabang. Indonesia merebut gelar juara umum berkat banyaknya medali emas dari cabang non-Olimpiade itu.
Gelar itu mungkin mendatangkan prestise, tapi bukan prestasi. Buktinya, hanya sedikit rekor SEA Games yang bisa diperbaiki. Itu pun kebanyakan oleh atlet tamu. Rekor Asia, apalagi dunia, tak tersentuh di SEA Games 2011. Kebiasaan mencari medali sebanyak mungkin ini berakibat Indonesia terengah-engah ketika bertanding di pentas dunia.
Sudah begitu, tak terlihat usaha terpadu untuk memperbaiki pembinaan, misalnya mencari bibit unggul sejak usia dini. Cabang bulu tangkis, umpamanya, kendati sudah menunjukkan prestasi tingkat dunia di masa lalu, tidak juga masuk kurikulum olahraga di sekolah. Kompetisi di tingkat pelajar seperti di masa lalu pun sudah lama mati. Pembinaan hanya dilakukan klub, yang jumlahnya juga sangat terbatas.
Indonesia sebaiknya meniru Ethiopia, negara Afrika yang pendapatan per kapitanya hampir sepersepuluh Indonesia. Menyadari kekuatan anak negerinya pada olahraga lari jarak jauh, sejak Olimpiade Roma 1960, Ethiopia hanya mengirim atlet lari ke Olimpiade. Di London, negara berpenduduk 85 juta itu mengirim 35 atlet, yang semuanya berlaga untuk lari jarak jauh. Di Olimpiade Beijing, Ethiopia merebut empat medali emas. Sampai akhir pekan lalu, di Olimpiade London, Ethiopia sudah merebut dua medali emas. Bahkan negara itu merajai semua lomba maraton terkenal dunia.
Tanpa reformasi total pembinaan olahraga, terutama pada cabang unggulan seperti bulu tangkis, Indonesia hanya akan menjadi figuran di pentas dunia—seperti yang terjadi di Olimpiade London.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo