Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REVISI terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan memang perlu dilakukan. Mudaratnya jelas banyak. Undang-undang ini dibuat rezim Soeharto untuk mengontrol semua organisasi kemasyarakatan atau ormas kala itu. Semua organisasi tak bisa bebas berserikat. Mereka wajib mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Jika ada yang menolak, seperti Gerakan Pemuda Marhaenis, akhirnya dibubarkan tanpa proses peradilan.
Undang-undang itu juga terasa makin kuno—dan tak berdaya—jika melihat perkembangan ormas sekarang. Sejumlah organisasi kemasyarakatan, dengan mengatasnamakan agama, melakukan kekerasan dan sweeping di sana-sini, nyaris tanpa hambatan. Sejumlah organisasi lain berpawai di jalan raya dengan beratus-ratus sepeda motor sembari menciptakan teror publik. Tak ada tindakan dari aparat keamanan. Pemerintah seperti membiarkan kejahatan tersebut menumpuk dari waktu ke waktu.
Persoalan inilah yang mesti mendapat perhatian dalam rancangan peraturan yang kini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat itu. Ketentuan ini kelak akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, yang selama ini dijadikan payung hukum semua ormas. Dengan definisi yang luas, asalkan didirikan berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, semua jenis ormas tunduk terhadap undang-undang ini. Bukan hanya lembaga asing yang beroperasi di Indonesia seperti Greenpeace Indonesia, bahkan kelompok pengajian pun diatur dengan undang-undang yang sudah ketinggalan zaman ini.
Memang muncul pro-kontra terhadap rancangan peraturan ini. Ada yang menilai undang-undang ini tak perlu, tapi ada yang menganggap justru sangat dibutuhkan. Mereka yang menolak beralasan Undang-Undang Yayasan dan Staatsblad 1870, yang hingga kini masih berlaku, sudah cukup untuk mewadahi organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau perkumpulan. Mereka yang menolak juga curiga undang-undang ini merupakan cara lain pemerintah mengecek asal-usul dana mereka.
Pendapat semacam itu boleh-boleh saja. Tapi, tak bisa dimungkiri, kita memerlukan undang-undang untuk mengatur organisasi kemasyarakatan yang kini jumlahnya lebih dari 60 ribu itu. Kita tak memiliki aturan yang dengan telak, misalnya, dipakai membekukan ormas yang kerap melakukan teror atawa anarkistis. Benar ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tapi undang-undang ini hanya menjerat individu pelakunya, tidak bisa digunakan membubarkan ormas yang "mewadahi" para pelakunya.
Di sini pentingnya undang-undang ormas baru. Pasal 50 rancangan undang-undang ini, misalnya, memuat sejumlah tindakan ormas yang dilarang, seperti mengganggu ketertiban atau merusak fasilitas umum. Tapi itu masih bersifat umum. Kita berharap Dewan Perwakilan Rakyat membuat aturan itu lebih detail, menunjuk dengan terperinci tindakan atau pelanggaran apa saja yang jika dilakukan sebuah ormas bisa membawa konsekuensi ormas tersebut diajukan ke pengadilan untuk dibubarkan.
Bahwa undang-undang tersebut kelak mensyaratkan keuangan sebuah lembaga swadaya masyarakat harus transparan, itu tak perlu dikhawatirkan. Selama dana tersebut didapat dari sumber yang jelas dan untuk kegiatan yang juga jelas, mengapa mesti takut? Justru dengan aturan ini kelak akan terlihat mana LSM yang benar-benar mengabdi untuk masyarakat, mana yang abal-abal.
Kini tugas DPR dan pemerintahlah membuktikan undang-undang ormas ini memang dibuat demi kepentingan publik, bukan untuk mengintervensi kegiatan masyarakat sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo