Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengelola Ekonomi dalam Ketidakpastian

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhamad Chatib Basri*

Ketidakpastian memang tak pernah menjemukan, walau meresahkan. Ia meresahkan karena tak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Itu sebabnya kita kerap mereduksi realitas dan menyimpannya dalam kerangka yang dapat dimengerti dan dikendalikan. Penulis Susan Sontag pernah menyebut interpretasi sebagai balas dendam intelektual terhadap dunia yang tak pasti. Mungkin benar. Perubahan dan ketidakpastian itulah yang kita hadapi saat ini.

Pemulihan ekonomi dunia masih dibayangi ketidakpastian. Kekhawatiran akan kenaikan bunga di Amerika Serikat masih mengganggu pasar keuangan. Gejala perlombaan melemahkan mata uang (competitive devaluation) terjadi. Bukan tak mungkin akan mengarah pada perang mata uang (currency war). Bank Sentral Eropa (ECB) juga baru melakukan kebijakan quantitative easing (QE). Pertanyaan yang muncul: bagaimana dampaknya bagi emerging markets (EM), termasuk Indonesia? Apakah langkah ini akan membuat dampak dari kemungkinan kenaikan Fed Rate dapat diatasi? Lalu bagaimana mengelola ketidakpastian ini?

Saya kira pertanyaan ini penting karena banyak anggapan yang muncul bahwa QE akan membawa dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Tak dapat dimungkiri langkah ECB ini akan memberi dorongan arus modal keluar dari Eropa. Apalagi karena imbal (yield) dari obligasi euro sangat rendah. Bisa dibayangkan, investor dari Eropa berlomba mencari imbal yang lebih tinggi. Arus modal akan mengalir ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Di sini, saya kira kita harus cermat. Ketika Amerika melakukan QE beberapa tahun lalu, posisi EM relatif lebih baik dibanding negara maju seperti Amerika dan negara Eropa, yang saat itu sedang mengalami krisis. Akibatnya modal mengalir ke EM, termasuk Indonesia. Rupiah menguat tajam, pasar keuangan melonjak, dan ekspor Indonesia melompat karena harga komoditas dan energi melesat. Sayangnya, saat ini situasi berbeda. Negara-negara EM justru sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi karena melemahnya harga komoditas.

Selain itu, beberapa negara EM terpaksa memperlambat pertumbuhan guna menjaga stabilitas ekonomi makro karena persoalan defisit transaksi berjalan atau defisit anggaran. Tapering tantrum yang terjadi pada 2013 juga mendorong perlambatan ini. Di sisi lain, kita melihat perekonomian Amerika mengalami perbaikan yang signifikan. Dalam kondisi seperti ini, investor tentu akan mencari imbal hasil investasi yang paling tinggi.

Saya bisa membayangkan negara EM yang mengalami akselerasi pertumbuhan seperti India mungkin akan memperoleh manfaat yang lebih besar dibanding negara EM lain. Selain itu, Amerika, salah satu negara yang paling cerah pertumbuhannya, akan menjadi magnet bagi modal dari Eropa ini. Dan, dengan kapasitas penyerapan pasar keuangan Amerika yang sangat besar, bukan tidak mungkin sebagian besar arus modal dari Eropa akan masuk ke sana. Karena itu, saya melihat dampak dari QE yang dilakukan ECB terhadap Indonesia, walau positif, tidak akan sebesar dampak QE yang dilakukan Amerika pada 2009.

Pertanyaan berikutnya: apakah arus modal yang masuk ke Amerika ini akan mengkompensasi dampak kenaikan bunga Fed—jika akhirnya dinaikkan? Saya kira yang akan terjadi justru masuknya arus modal ke Amerika yang membuat dolar Amerika menguat secara relatif terhadap mata uang lain. Apalagi, pada saat yang sama, banyak negara mulai melakukan langkah menurunkan tingkat bunga. Langkah ini secara tidak langsung mendorong terjadinya competitive devaluation, yang membawa risiko terjadinya perang kurs (currency war). Dalam situasi seperti ini, saya kira menjadi tidak mudah bagi bank sentral Amerika, The Fed, menaikkan bunga. Apresiasi dolar akan cenderung menurunkan ekspektasi inflasi. Tujuan dari kenaikan bunga The Fed justru untuk mengantisipasi naiknya inflasi di masa depan.

Dalam situasi seperti ini, sebenarnya The Fed tidak perlu menaikkan bunga. Saya ingat, dalam pertemuan di G-20 dan IMF Restricted Breakfast Meeting di Washington, Oktober 2014, Gubernur Bank Sentral Amerika Janet Yellen menjelaskan bahwa indikasi yang digunakan The Fed dalam menaikkan bunga adalah angka pengangguran di Amerika di bawah 6 persen dan inflasi mencapai 2 persen. Benar bahwa angka pengangguran saat ini sudah mencapai 5,6 persen, tapi dengan harga minyak yang turun, tampaknya angka inflasi akan sulit mencapai 2 persen.

Harga energi yang murah akan memicu percepatan permintaan di Amerika, sehingga akan mendorong inflasi. Namun tampaknya percepatan permintaan ini tak secepat deflasi yang terjadi akibat penurunan harga energi. Tapi terlalu pagi untuk menyimpulkan. Sebab, dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC), akhir Januari lalu, The Fed menyatakan bahwa mereka akan bersabar melihat waktu yang tepat buat menaikkan bunga. Tampaknya ketidakpastian masih akan tetap bersama kita. Pertemuan FOMC setelah April 2015 akan sangat menentukan. Saya membayangkan, selama ketidakpastian itu terjadi, pasar keuangan di Indonesia, termasuk nilai tukar, masih akan bergejolak. Jika akhirnya The Fed menaikkan bunga pertengahan tahun ini—walau saya ragu terhadap hal itu—saya bisa membayangkan akan terjadi risiko pembalikan arus modal keluar dari Indonesia. Akibatnya nilai tukar rupiah dan mata uang EM lain akan terpukul. Ketidakpastian inilah yang menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Karena itu, dampak positif dari QE yang dilakukan ECB menjadi terbatas.

Pertanyaan penting berikutnya: jika arus modal dari Eropa akan mengalir ke negara yang pertumbuhan ekonominya membaik, mengapa Bank Indonesia tidak mulai menurunkan tingkat bunga saja? Bukankah inflasi sudah mulai menurun? Saya melihat ruang untuk menurunkan tingkat bunga ada, sepanjang dua hal terpenuhi. Pertama, adanya kepastian bahwa The Fed tidak akan menaikkan bunga tahun ini. BI harus secara cermat melihat hal ini. Tentunya BI tak mau kejadian pada 2005 berulang, ketika subsidi bahan bakar minyak meningkat dan BI terlambat (behind the curve) dalam mengantisipasi kenaikan bunga Fed, yang mulai naik sejak 2003, pasar keuangan dan rupiah jatuh. Indonesia masuk krisis mini. Bunga bisa diturunkan jika risiko arus modal keluar dapat diminimalkan.

Kedua, BI memiliki ruang menurunkan bunga jika tekanan dalam defisit transaksi berjalan sudah bisa sepenuhnya diatasi. Kita melihat defisit transaksi berjalan terus menurun sejak 2013, tapi masih pada tingkat yang relatif tinggi. Benar bahwa kita bisa mengharapkan perbaikan neraca perdagangan ke depan. Defisit yang selama ini didorong oleh perlambatan ekspor akibat penurunan harga komoditas akan terbantu oleh penurunan harga minyak yang tajam di sisi impor. Namun, jangan lupa, Cina memotong proyeksi pertumbuhan menjadi 7 persen. Jika Cina melambat, ekspor kita akan menurun lebih tajam lagi. Karena itu, walau defisit transaksi berjalan sudah mulai membaik, kehati-hatian tetap dibutuhkan. Apalagi jika pemerintah terlalu agresif dalam memacu anggaran untuk infrastruktur. Ingat, hampir 70 persen bahan untuk membangun infrastruktur berasal dari impor.

Jika pemerintah terlalu mendadak dan agresif dalam membelanjakan ini, ekspansi anggaran akan memacu defisit transaksi berjalan. Itu sebabnya saya amat memahami dan memberikan apresiasi terhadap kehati-hatian BI. Ruang untuk menurunkan bunga mungkin terbuka ke depan jika dua hal itu bisa dipenuhi. Jika tidak, mungkin pertumbuhan ekonomi kita masih akan ada di kisaran 5,2-5,3 persen. Mungkin tak memuaskan, tapi tak terlalu buruk sebenarnya. Terutama jika kita melihatnya dalam perspektif dunia yang tak pasti ini.

Yang menarik diperhatikan: India. Dalam pertemuan saya di Amerika dan Asia dengan banyak investor besar minggu lalu, mereka melihat kesungguhan yang amat besar terhadap reformasi ekonomi di India. Para Investor memang melihat hal positif dari Indonesia, terutama berkaitan dengan pengalihan subsidi BBM untuk infrastruktur dan kebijakan Bank Indonesia. Yang mengejutkan saya: investor menganggap kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi-Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berkepanjangan dapat mengganggu modal politik Presiden Joko Widodo dalam melanjutkan reformasi ekonomi. Reformasi ekonomi hanya bisa dilakukan jika modal politik terjaga. Itu sebabnya penyelesaian soal politik saat ini jadi penting sebagai penanda komitmen kita terhadap reformasi. Pelik memang, tapi pada akhirnya memerintah adalah membuat pilihan. Saya jadi ingat kalimat tua dari Nigel Lawson, politikus kawakan Inggris: To govern is to choose. To appear to be unable to choose is to appear to be unable to govern. Dan Lawson benar. l

Ekonom, mantan menteri keuangan RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus