Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Antara Merdeka Utara dan Teuku Umar

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, 31 Desember 2014, Luhut Binsar Panjaitan baru pulang dari liburan di Bali bersama keluarganya. Ia sedang makan siang di rumahnya di Jakarta ketika Menteri Sekretaris Negara Pratikno menelepon memintanya segera ke Istana Negara dalam waktu satu jam. "Saya berangkat ke Istana saat itu juga," kata Luhut tiga pekan lalu.

Luhut baru tahu ia bakal menjabat Kepala Staf Kepresidenan begitu tiba di Istana. Presiden Joko Widodo melantiknya setelah mengukuhkan Laksamana Madya Ade Supandi sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Di lembaga baru setingkat menteri itu, Luhut bertugas memberi masukan kepada Presiden dan mengkomunikasikannya dengan lembaga-lembaga negara.

Hadir dalam pelantikan KSAL, para pejabat tak tahu Luhut bakal dilantik pada hari yang sama sebagai Kepala Staf Kepresidenan, yang digadang Jokowi sejak memenangi pemilihan presiden tahun lalu. "Saya baru tahu sejam sebelum pelantikan," ujar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengkonfirmasi cerita Luhut. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga dikabarkan terkejut oleh pelantikan itu.

Luhut orang dekat Jokowi sejak 1998, ketika keduanya menjalin bisnis mebel. Pensiunan jenderal bintang tiga ini menanggalkan jabatan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar demi mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden. Kepada Tempo dua pekan lalu, Jokowi menyangkal kabar bahwa pelantikan Luhut tak diketahui pejabat lain, termasuk Kalla. "Hadir semua, kok. Tidak tahu bagaimana?" katanya.

Menurut pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto, sejak pelantikan Luhut, ada ketegangan di antara ketua-ketua partai penyokong Jokowi. Bukan rahasia lagi bahwa Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, partai asal Jokowi, berseberangan dengan Luhut sejak 2001.

Waktu itu Luhut mundur dari kursi Menteri Perindustrian dan Perdagangan seiring dengan pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Luhut menolak kembali masuk kabinet ketika Megawati, sebagai wakil presiden, naik menggantikan Abdurrahman. "Saya tak tahu apakah karena itu Ibu Mega tak nyaman dengan saya," ujar Luhut.

Ketegangan keduanya berlanjut dalam penyusunan kabinet pemerintahan Jokowi-Kalla tahun lalu. Luhut terpental dari kursi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dengan kembalinya Luhut menduduki jabatan resmi di sekitar Presiden, kata Hasto, ketegangan itu meruncing lagi.

Untuk mencairkannya, mantan Sekretaris Tim Transisi Presiden Jokowi ini mengontak ajudan Presiden dan menyarankan Jokowi bertemu dengan Megawati. Jokowi setuju. Ia bertamu ke rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, pada 8 Januari 2015. Di situlah, menurut Hasto, Jokowi menyebut Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Sutarman.

Pengajuan Budi Gunawan, kata Hasto, merupakan upaya Jokowi meredakan ketegangan dengan Megawati. Andi Widjajanto mengatakan membuat surat pengajuan Budi ke Dewan Perwakilan Rakyat sebagai calon Kepala Polri atas permintaan Jokowi sebelum bertamu ke rumah Megawati.

Kepastian pencalonan Budi Gunawan cukup meredakan ketegangan Jokowi-Megawati. Ketika ternyata surat pencalonan bocor ke media massa, ketegangan datang lagi. Terutama karena publik masih mengingat sang Jenderal memiliki rekening jumbo yang mencurigakan.

Menurut Hasto, reaksi publik itu dirancang para pembantu Presiden yang tak ingin Budi menjadi Kepala Polri. Sebab, dua hari setelah surat dikirimkan, Hasto bertemu dengan Muradi, ahli politik mantan anggota Tim Transisi. Kepada Hasto, Muradi mengatakan dialah yang membocorkan dokumen itu ke media massa. "Saya diminta Andi Widjajanto," ujarnya kepada Rusman Paraqbueq dari Tempo.

Andi beralasan surat pengajuan itu harus diketahui publik agar masyarakat tahu pencalonan Budi atas rekomendasi Komisi Kepolisian Nasional. "Saya menyelamatkan muka Presiden," katanya.

Pencalonan Budi, menurut Hasto, mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu sebagai tersangka korupsi. Segera setelah itu, dalam proses politik, Megawati, dibantu Kalla, mendesak Presiden Jokowi segera melantik Budi Gunawan.

Bagja Hidayat, Agustina Widiarsi, Ananda Teresia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus