Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Arloji Swiss itu Berhenti Berdetak

Widjojo Nitisastro tutup usia. tak selalu percaya mekanisme pasar.

12 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Widjojo Nitisastro adalah perencana pembangunan. Ia mirip arloji Swiss: terperinci, bekerja dengan presisi, dan bereputasi tinggi. Di masa lalu, ia hampir selalu berada di panggung kebijakan, tapi ia bukan aktor yang gandrung lampu sorot dan tepuk tangan. Widjojo bekerja di balik layar dengan diam. Karena itu, ia terkesan kering, berjarak, nyaris tak berwarna. Guru besar emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang kerap diidentikkan dengan arsitektur ekonomi Indonesia di masa Orde Baru itu meninggal pada Jumat dinihari pekan lalu dalam usia 84 tahun.

Apa yang harus kita kenang dari ekonom yang menamatkan doktoral ilmu ekonomi dari University of California at Berkeley pada 1961 ini? Saya memang tak pernah menjadi murid langsungnya di FEUI. Jarak waktu kami terlalu jauh. Tapi saya mengenalnya cukup dekat lewat berbagai diskusi pribadi kami mengenai banyak hal—bukan hanya tentang ekonomi. Widjojo bisa bercerita dengan terperinci mengenai sejarah, buku, cucunya, juga sepak bola.

Saya ingat, satu hari saya menerima sebuah dokumen. Di sampul tertulis "Pribadi", dan di sudut kiri atas ada nama pengirim: Widjojo Nitisastro. Isinya? Jadwal pertandingan Piala Dunia, lengkap dengan komposisi pemain! Dan seperti biasa, Wi­djojo begitu terperinci. Ketika saya mengucapkan terima kasih melalui telepon, ia tertawa dan berpesan: "Jangan kerja terlalu keras."

Kami biasa berdiskusi amat panjang secara terbuka. Tak harus sepakat dalam semua hal, termasuk soal krisis ekonomi global atau efektivitas kebijakan pemerintah. Ia terbuka sekali. Logikanya sangat kuat, cara berpikirnya begitu terperinci, dari konsep sampai implementasi. Diskusi itu biasanya diakhiri dengan tawanya yang khas.

Yang menarik, Pak Widjojo—begitu saya memanggilnya—bukanlah orang yang sepenuhnya percaya kepada mekanisme pasar. Ia seorang Keynesian yang begitu percaya kepada intervensi pemerintah. Itu sebabnya, Badan Perencanaan Pembangun­an Nasional, yang dia ketuai pada awal-awal masa kepresidenan Soehar­to, berperan begitu besar dalam merancang kebijakan ekonomi Indonesia saat itu.

Henry Rosovsky, ekonom besar dari Harvard University, pernah menulis: Indonesia berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara tajam di masa lalu melalui tiga kombinasi kebijakan. Pertama, mendorong pertumbuhan sektor pertanian yang kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang padat karya. Kedua, memberikan akses kepada penduduk miskin untuk pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur. Ketiga, menjaga pertumbuhan penduduk. SD Inpres, Puskemas, dan Program Keluarga Berencana adalah bagian dari apa yang disebut ekonom Walter Falcon dari Stanford sebagai "Widjojo Lexicon" (Kamus Widjojo).

Menarik karena resep ini sampai hari ini masih diusung oleh banyak ekonom, baik yang setuju maupun tak setuju pada pandangan Widjojo. Pihak yang sinis memang menyebutnya Don dari Mafia Berkeley. Uniknya, mereka yang berseberangan pun mengakui pentingnya tiga kombinasi kebijakan di atas.

Saya berkali-kali menyampaikan agar Widjojo menuliskan pengalamannya dalam buku. Ia menjawab (saya kutip dari ingatan), "Saya tak ingin memberikan pembenaran terhadap apa yang saya lakukan di masa lalu. Biar sejarah yang mengha­kimi, tanpa perlu pembelaan dari saya." Ia tetap mencoba menjaga jarak bahkan terhadap pemikirannya sendiri. Saya ngotot meyakinkannya, tapi diskusi berakhir dengan tawa khas Widjojo dan ucapannya, "Terima kasih atas sarannya. Saya pikirkan, ya." Saya tahu, itu artinya dia tak sependapat.

Ekonom terbaik Indonesia itu telah pergi. Ia tak meninggalkan retorika. Ia lebih mirip arloji Swiss yang detak mesinnya hampir tak terdengar. Arloji itu kini berhenti berdetak. Tapi tidak pemikirannya.

Muhammad Chatib Basri,
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus