Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menggali Pancasila Kembali

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Goenawan Mohamad

”Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri”

—Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.

KITA hidup dalam sebuah zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib. Gagasan ”sosialisme ilmiah” yang ditawarkan oleh Marx dan Engels pernah meramalkan tercapainya ”surga di bumi”, sebuah masyarakat tempat kapitalisme hilang dan kontradiksi tak ditemukan lagi. Tapi cita-cita itu terbentur dengan kenyataan yang keras pada akhir dasawarsa ke-8 abad ke-20: Uni Soviet dan RRC mengubah haluan, dengan menerima ”jalan kapitalis” yang semula dikecam. Sosialisme pun terpuruk: ternyata ”ilmiah” bukan berarti ”tanpa salah”, ternyata Marxisme sebuah gagasan yang akhirnya harus mengakui bahwa dunia tak akan pernah bebas dari kontradiksi.

Dewasa ini cita-cita menegakkan ”Negara Islam” mungkin satu-satunya yang masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan. Jika hukum Tuhan adalah hukum yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat.

Dengan kata lain, para penganjur ”Negara Islam” adalah penggagas yang tak membaca sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari 21 abad—sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah ide dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari sabu-sabu kekuasaan.

Para penganjur ide ”Negara Islam” lupa bahwa agama selamanya menjanjikan kehidupan alternatif: di samping yang ”duniawi” yang kita jalani kini, ada kelak yang ”ukhrowi” yang lebih baik. Maka sebuah ”Negara Islam” yang tak mengakui ketidaksempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ”Negara Islam” yang mengakui ketidaksempurnaannya sendiri akan menimbulkan persoalan: bukankah ajektif ”Islam” mengandaikan sesuatu yang sempurna?

Dilema itu berasal dari pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. Ketidaksempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan. Agaknya akan demikian seterusnya.

Pada 1992 Francis Fukuyama mengatakan kita berada di ”akhir sejarah”. Tapi ia tak mengatakan bahwa hidup tak akan lagi dirundung cela. Memang ia merayakan kemenangan ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal yang kini tampak di banyak sudut. Ia ingin menunjukkan bahwa pandangan alternatif yang yakin untuk menggantikan kapitalisme dan demokrasi liberal telah kehilangan daya pikat; ideologi telah berakhir, seperti telah dikatakan Raymond Aron pada 1955 dan Daniel Bell pada 1960. Orang terdorong untuk jadi pragmatis. Tapi ada yang harus dibayar.

”Akhir sejarah akan merupakan sebuah peristiwa yang amat sedih,” tulis Fukuyama. ”Perjuangan untuk diakui, kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita yang sepenuhnya abstrak, pergulatan ideologis sedunia yang menggugah tualang, keberanian, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh perhitungan ekonomis, keprihatinan soal lingkungan dan pemuasan permintaan konsumen yang kian canggih.”

Fukuyama tak sepenuhnya betul. Kini masih ada orang-orang yang terbakar oleh ”kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita”; kita mengetahuinya tiap kali ada seseorang yang meledakkan tubuhnya sebagai alat pembunuh musuh.

Bahkan dalam sebuah proses politik yang ”normal”, tak semua hal digantikan oleh ”perhitungan ekonomis” dan ”pemuasan permintaan konsumen”. Tapi apa yang betul dan tak betul dalam kesimpulan Fukuyama tetap menunjukkan kesadaran zaman ini: nasib manusia adalah ketidaksempurnaan.

* * *

SAYA teringat akan Pancasila. Ketika Bung Karno menjelaskan, seraya membujuk, perlunya Indonesia mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia sebenarnya sedang meniti buih untuk selamat sampai ke seberang.

Sebab itu, jika ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada 1 Juni 1945 itu mengandung beberapa kontradiksi—yang bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno sedang mencoba mengatasi pelbagai hal yang bertentangan yang dihadapi Indonesia.

Kontradiksi yang paling menonjol justru pada masalah Weltanchauung itu. Sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ”dasar filsafat” (Bung Karno menyebutnya philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa adalah sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna”sebuah kecenderungan yang makin keras pada masa ”Orde Baru”, yang menganggap Pancasila itu ”sakti”.

Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan: bagaimana pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti dikatakan Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ”perjuangan faham”? Kata Bung Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ”kawah Candradimuka” yang ”mendidih”, tempat pelbagai ”faham” beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ”kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya”.

Ketika Bung Karno menyebut kalimat ini, ketika ia mengakui bahwa sebuah negara mau tak mau mengandung ”perjuangan sehebat-hebatnya” di dalam persoalan ”faham”, ia menatap ke sebuah arah: ia ingin membuat tenteram kalangan politik Islam. Ia menganjurkan agar ”pihak Islam” menerima berdirinya sebuah negara yang ”satu buat semua, semua buat satu”. Ia menolak ”egoisme-agama”.

Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini: bisa saja suatu saat nanti hukum yang ditegakkan di Indonesia adalah hukum Islamjika ”utusan-utusan Islam” menduduki ”sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat”.

Di sini tampak, perjuangan ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang wajar dan sah. Tapi dengan demikian, Weltanchauung yang dirumuskan sebenarnya bukan fondasi yang kedap, pejal, sudah final dan kekal, hingga meniadakan kemungkinan satu ”faham” menerobosnya dan mengambil alih posisi ”filsafat dasar” itu. Dengan kata lain, Pancasila bukan sesuatu yang ”sakti”.

* * *

PANCASILA justru berarti, karena ia tidak ”sakti”.

Ada tiga kesalahan besar ”Orde Baru” dalam memandang kelima ”prinsip” itu. Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir-hampir keramat. Yang kedua, membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif, si berkuasa. Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.

”Orde Baru” telah memperlakukan Pancasila ibarat Rahwana mengambil alih Sita selama bertahun-tahun. Analogi dari epos Ramayana ini tak sepenuhnya tepat, tapi seperti Sita setelah kembali dibebaskan oleh Rama, Pancasila di mata orang banyak, terutama bagi mereka yang tertekan, setelah ”Orde Baru” runtuh, seakan-akan bernoda: ia tetap dikenang sebagai bagian dari lambang kekuasaan sang Rahwana.

Tapi kita tahu, kesan itu tak benar dan tak adil—sama tak benar dan tak adilnya ketika Rama meletakkan Sita dalam api pembakaran untuk membuktikan kesuciannya.

Kini kita membutuhkan Pancasila kembali, tapi tak seperti Rama menerima Sita pulang: kita tak perlu mempersoalkan ”kesucian”, apalagi ”kesaktian”nya. Kini kita membutuhkan Pancasila kembali justru karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang bergulat melintasi lumpur untuk dengan selamat mencapai persatuan dalam perbedaan. Pidato Bung Karno dengan ekspresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan: penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas.

Dengan kata lain, kita membutuhkan Pancasila kembali untuk mengukuhkan bahwa kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap yang manusiawiyang mengakui peliknya hidup bermasyarakat.

Para pembela ide ”Negara Islam” gemar mengatakan, mereka lebih baik memilih dasar Islam karena Islam datang dari Allah, sedangkan Pancasila itu bikinan manusia. Tapi justru karena Pancasila adalah bagian dari ikhtiar manusia, ia tak mengklaim dirinya suci dan sakti. Dengan demikian ia adalah cerminan dan juga cahaya dari dalam sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya mengandung ”kurang”, karena senantiasa bergulat antara ”eka” dan ”bhineka”.

Sebab itu tepat sekali ketika Bung Karno menggunakan kiasan ”menggali” dalam merumuskan Pancasila. ”Menggali” melibatkan bumi dan tubuh. Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, danseperti halnya hasil bumimenawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Ia tak ”ready-for-use”. Ia tak menampik tafsir yang kreatif. Ia membuka kemungkinan untuk tak jadi doktrin, karena tiap doktrin akan digugat perkembangan sejarahdan sebab itu Bung Karno mengakui: tak ada teori revolusi yang ”ready-for-use”.

Yang juga tampak dalam keterbukaan untuk kreativitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ”sila” mau tak mau harus diimbangi oleh ”sila” yang lain: bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan ”sila” keberagamaan (”Ketuhanan Yang Maha Esa”) tanpa juga diimbangi ”sila” kesatuan bangsa (”kebangsaan Indonesia”), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila kita ingin menerapkan ”sila” nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya.

Memutlakkan satu ”sila” saja akan melahirkan kesewenang-wenangan. Juga tak akan berhasil. Hidup begitu pelik. Masyarakat selalu merupakan bangunan dalam proses, hingga politik, dengan segala cacatnya, merupakan hal yang tak bisa dielakkanbahkan tak bisa dihabisi oleh 100 tahun kekerasan.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan bahasa untuk menangkis 100 tahun kekerasan yang tersirat dalam sikap sewenang-wenang yang juga pongah: sikap mereka yang merasa mewakili suara Tuhan dan suara Islam, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ”mandat” itu datang ke tangan mereka; sikap mereka yang terbakar oleh ”egoisme-agama” dan menafikan cita-cita Indonesia yang penting, agar tiap manusia Indonesia ”bertuhan Tuhannya sendiri”hingga agama tak dipaksakan, dan para penganut tak bersembunyi dalam kemunafikan.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninyaIslam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, ataupun ateisperjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus-menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ”eka”. Kita membutuhkan Pancasila kembali karena tak akan ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha-Benar dan Maha-Besar dan bisa menafikan ketidaksempurnaan nasib manusia.

Jakarta, 11 September 2005

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus