TIAP rakyat mendapat pemerintah yang sesuai dengannya, begitu konon kata sebuah peribahasa politik. Dengan sedikit perubahan, tapi dengan validitas yang sama, dapat pula dikatakan: tiap masyarakat mendapat pemimpin yang cocok dengannya. Jenis mencari jenis, dan ukuran mencari ukuran. Tiap kepala mendapat peci yang cocok dengan ukurannya dan tiap kaki menemukan sepatu yang sesuai dengan nomornya. Kalau suatu masyarakat diibaratkan dengan gunung es, maka pemimpin adalah puncaknya. Puncak dapat menjulang atau tersembul ke permukaan laut karena ada gunung es yang memanggulnya ke atas. Sebaliknya, puncak kecil yang mengintip cakrawala menyembunyikan dan sekaligus menyatakan ada gunung besar yang terendam di bawahnya. Pemimpin, dengan demikian, adalah gejala masyarakatnya. Hubungan pemimpin dengan masyarakatnya mirip teka-teki ayam-telur. Apakah pemimpin yang menciptakan masyarakatnya atau masyarakatlah yang membentuk pemimpinnya? Apakah ibu yang melahirkan anak, atau sang anaklah yang melahirkan ibunya? Bukankah tak seorang wanita pun menjadi ibu sebelum anaknya lahir ke dunia? Ditarik konsekuensinya, jenis dan kualitas pemimpin rupanya terkait langsung dengan jenis dan kualitas masyarakatnya. Para pembaca sejarah filsafat Barat mungkin segera mengingat Hegel: hanya masyarakat para hambalah yang menghasilkan seorang tuan ~sebagai pemimpinnya dan hanya masyarakat yang tak sanggup mengontrol akan menghasilkan munculnya pemimpin yang sewenang-wenang. Pemimpin adalah sisi lain dari masyarakatnya. Indonesia yang merdeka dan harus dipersatukan menemukan Bung Karno, sementara Indonesia yang membangun dan memerangi keterbelakangan menemukan tokoh seperti Pak Harto. Persoalan timbul karena dialektika itu tidak pernah sempurna. Tidak setiap anak yang lahir ke dunia menciptakan seorang ibu baru di bumi. Kadangkala anak yang lahir justru menemukan seorang penindas atau bahkan pembunuh potensial dalam diri wanita yang melahirkannya. Tidak setiap zaman yang besar menemukan watak yang besar - begitu Bung Hatta sering mengutip seorang penyair Jerman. Pemimpin rupanya sesuatu yang hanya dapat dimungkinkan kelahirannya tetapi tak pernah dapat dipastikan atau ditargetkan kemunculannya. Pendidikan jelas suatu syarat terpenting untuk pembentukan diri seorang calon pemimpin. Walau demikian, pendidikan calon pemimpin tak banyak berbeda dari pendidikan calon-calon untuk "panggilan hidup" lainnya. IKJ memberi kemungkinan luas untuk pembentukan diri seorang seniman, tetapi tak dapat dijamin bahwa seorang atau beberapa seniman besar akan muncul dari sana. Chairil Anwar dan Affandi bertumbuh dari jalanan dan menjulang dari luar sckolah. IKIP menyediakan kurikulum dan fasilitas untuk pembentukan diri seorang guru atau pendidik, tetapi tak ada kepastian apa pun bahwa seorang Maria Montessori atau John Dewey akan lahir dari sana. Dan seorang pemimpin? Pemimpin adalah penjelmaan kreativitas sosial, seperti halnya t~eori relativitas adalah hasil kreativitas intelektual. PT Pembangunan Jaya muncul dari kreativitas manajerial, komputer ditelurkan oleh kr~ativitas teknologis, dan sebuah sajak dipetik dari kreativitas seni. Ternyata, kreativitas buat sebagian besar masih merupakan rahasia~ kodrat manusia. Kemampuan bisa dicetak oleh pendidikan atau bahkan direkayasa melalui latihan, tetapi kreativitas hanya bisa dipancing, dirangsang, dan ditemukan. Demikianlah, seorang akademikus bisa dicetak tetapi seorang cendekiawan ditemukan. Seorang manajer bisa dicetak tetapi entrepreneur ditemukan. Seorang teknikus bisa dicetak tetapi sang penemu dilahirkan. Seorang ahli kesenian bisa dicetak tetapi seniman mekar dari pohon alam. Demikian pun pejabat bisa dicetak tetapi pemimpin harus ditemukan atau menemukan dirinya. Dalam rumusan lain, kreativitas bukan hanya kemampuan tetapi kemampuan plus. Demikian pun kepemimpinan lebih dari sekadar social know~ho~w. Ada suatu plus besar di belakangnya, yang buat sebagian twrbesar barangkali tak dapat diberikan oleh pendidikan di pertanyaan yang menggoda ialah: apakah pendidikan di sekolah adalah sebab bagi lahirnya kepemimpinan atau hanya kondisinya? Ibarat penerangan listrik, apakah pendidikan lebih mirip arus listrik atau hanya bolam lampunya? Apakah fungsi sekolah terhadap munculnya para pemimpin harus dikualifikasikan sebagai fungsi kausal atau hanya fungsi kondisional? Banyak pertanyaan yang belum terjadi tetapi satu hal jelas dari sejarah kita: Belanda dulu tentulah tidak mendidik Soekarno, Hatta Sjahrir, atau Tjipto Mangunkusumo untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Pendidikan Belanda hanya memberi mereka beberapa perlengkapan yang baik, yang akan sama baiknya dipergunakan untuk menjadi pegawai, profesional, atau bahkan pedagang. Tetapi mengapa perlengkapan-perlengkapan itu kemudian digunakan sebagai alat dan sokoguru kepemimpinan mereka? Ikan berkembang dalam air dan burung mengepak sayapnya di udara. Kita perlu memikirkan lagi: apa gerangan air dan udara untuk bertumbuhnya calon-calon pemimpin?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini