Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengintip Siasat Akbar

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA PUN yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional ke-7 pekan depan, dia bisa berjalan ke dua arah yang berlawanan. Ketua umum terpilih nanti bisa berjalan ke arah anti-demokrasi, apabila Partai Beringin kelak hanya dijadikan "kuda tunggang" politik untuk meraih kekuasaan oleh ketua umum atau kelompoknya dengan menghalalkan segala cara. Sang ketua umum bisa juga membawa partai itu ke arah yang berlainan, ke arah yang demokratis. Itu bisa terjadi jika sang ketua umum membangun partai sebagai saluran politik yang efektif untuk mencetak kader-kader terbaik melalui sistem pemilihan yang bersih dan demokratis.

Demokrasi dan Golkar sesungguhnya sebuah paradoks. Golongan Karya?yang mengawali sejarah Partai Beringin?yang dibangun pada 1964, terbiasa hidup dalam kondisi politik yang serba "ditentukan dari atas". Partai bentukan Orde Baru Soeharto itu terbiasa bertanding dalam pemilu yang pemenangnya sudah dijamin pasti?awalnya "demi menangkal komunisme", kemudian "demi kesinambungan pembangunan". Para ketua umum Partai hanyalah perpanjangan lidah dari si penentu jalannya partai di Cendana itu.

Suasana yang lebih terbuka terjadi dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa pada 1998, setelah Soeharto turun panggung. Akbar Tandjung mengalahkan Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjat. Walaupun keduanya tak bebas pengaruh Soeharto, ajang pemilihan ketua umum saat itu dipercaya sebagai yang paling "demokratis" dibandingkan dengan sebelumnya.

Harus diakui, di masa setelah Soeharto jatuh itu, Akbar cukup berhasil meyakinkan publik bahwa yang dipimpinnya adalah Partai Golkar baru, partai pro-reformasi yang bebas kaitan dengan Soeharto dan Orde Baru. Hasil Pemilu 1999 mendukung kampanye Akbar itu. Di tengah caci-maki dan usaha de-Soeharto-isasi di segala bidang, Partai Golkar tampil sebagai pengumpul suara kedua terbanyak dalam Pemilu 1999. Benar bahwa Partai Golkar kehilangan 205 kursi DPR dibandingkan dengan Pemilu 1997, namun partai itu masih meraih 120 kursi DPR?dan berada di urutan kedua setelah PDI Perjuangan yang meraih 153 kursi.

Sangat terasa bahwa Konvensi Partai Golkar pada 2003 menambah kuat anggapan publik bahwa partai ini telah berubah banyak dari asal-muasalnya. Tapi konvensi ini juga yang mulai menguak sisi-sisi yang buruk: kandidat calon presiden bukan hanya mengadu visi dan misi, tapi juga adu kuat mengucurkan "sumbangan" sebagai imbalan atas suara yang didapat. Celakanya, Akbar tak pernah mengumumkan bahwa dirinya bebas dari urusan "sumbangan" ini.

Sisi kurang terpuji terkuak satu per satu. Aturan main konvensi ternyata membolehkan Akbar ikut bertanding, padahal ketua umum diharapkan berdiri sebagai "wasit". Akbar, yang ketika itu tengah menunggu kasasi Mahkamah Agung atas hukuman tiga tahun yang dijatuhkan padanya dalam kasus korupsi, akhirnya ikut lolos ke pentas konvensi. Jelas sederet fakta itu dianggap cacat serius konvensi. Tokoh pemikir agama, Nurcholish Madjid, mundur gara-gara berbagai cacat di konvensi itu.

Kita tahu jalan cerita selanjutnya: Partai Golkar memenangi Pemilu 2004. Wiranto, yang unggul di konvensi, gagal di putaran pertama pemilu presiden. Di putaran kedua, Partai Golkar mendukung habis pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, yang ternyata dikalahkan oleh SBY-Jusuf Kalla?dua tokoh yang pernah seiring dengan Golkar.

Jika direnungkan, ada pesan penting dari kemenangan dalam pemilu legislatif dan kegagalan dalam pemilu presiden yang lalu. Partai Golkar masih diakui sebagai organisasi yang mampu mencetak anggota parlemen yang andal, tapi calon presiden yang diajukannya dianggap tak pantas dipilih sebagai presiden. Rakyat pemilih rupanya belum sepenuhnya percaya bahwa tokoh partai ini cocok dengan semangat reformasi dan demokratisasi yang tengah berjalan.

Anggapan umum itulah yang seharusnya dihayati benar oleh Musyawarah Nasional ke-7 nanti. Agar kompatibel dengan alam demokratisasi, Partai Golkar harus menjadi partai yang mandiri dan dipimpin oleh tokoh yang kredibel. Pemimpin itu harus dia yang bebas intervensi?dari pengaruh para sesepuh ataupun kehendak Istana.

Proses pencarian itu bisa dimulai dengan membuat aturan main Musyawarah yang fair bagi semua pihak?bukan aturan yang hanya menguntungkan ketua umum yang berkuasa. Aturan main Musyawarah juga mutlak perlu membangkitkan partisipasi seluas-luasnya bagi kader partai, termasuk yang berada di tingkat kabupaten?seperti yang sudah dilakukan dalam konvensi lalu. Aturan main itu wajib pula membebaskan Musyawarah dari suap dan sogok?penyelewengan yang makin akrab dalam dunia politik kita, dan terasa makin kencang dilakukan di Partai Beringin.

Aturan main yang bermutu diharapkan melahirkan ketua umum yang berbobot dan mengantongi dukungan yang murni. Sang pemenang semogalah bukan dia yang pernah bersentuhan dengan korupsi, atau bagian dari masa lalu yang ingin dikoreksi.

Siapa pun yang terpilih sebagai ketua umum, dia akan menjadi ukuran bagi massa pemilih: apakah Partai Golkar masih layak diberi kepercayaan lagi, atau sudah tiba waktunya untuk dilupakan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus