Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjamsu Rahardja
KETEGANGAN persaingan antara hipermarket dan pasar tradisional belakangan ini semakin panas. Perwakilan pedagang pasar mengeluh omzet mereka loyo akibat makin banyaknya hipermarket dan toko modern (minimart dan supermarket). Klaim ini tambah meyakinkan jika melihat kondisi sebagian besar pasar di Indonesia: kumuh, kusam, dan dijejali pedagang kaki lima.
Hiper, di satu sisi, punya konotasi semangat eksesif. Dalam bisnis retail, hipermarket memang eksesif dalam pemasaran, dan menggunakan investasi berskala besar. Akibatnya, retail hipermarket tidak saja mampu menekan harga jual, tapi juga menaikkan posisi tawar mereka dalam membeli produk. Ini adalah hukum ekonomi yang tidak bisa dibantah.
Di sisi lain, pasar tradisional adalah tempat pertemuan langsung antara penawaran pedagang dan permintaan konsumen, on the spot, in real time. Pasar juga punya peran penting dalam sejarah perkembangan kehidupan dan kebudayaan kota-kota di Indonesia. Pertanyaannya, apakah benar hipermarket musuh pasar dan pedagang tradisional.
Masalah pedagang tradisional dan modern di Indonesia bukan kasus unik. Tingginya suku bunga, tersendatnya perbaikan iklim investasi, dan rusaknya infrastruktur telah menimbulkan keengganan berinvestasi di sektor riil. Beratnya beban pesangon juga menambah loyonya penyerapan tenaga kerja sektor formal, khususnya manufaktur. Akibatnya, usaha nonformal skala kecil di sektor perdagangan menjadi alternatif menarik.
Hampir tiap bentuk model usaha retail, baik tradisional maupun modern, memiliki kekhasan yang komplementer bagi konsumen. Berdasarkan survei AC-Nielsen di beberapa kota di Indonesia, pasar segar (wet market) masih menjadi tempat utama konsumen untuk mendapatkan sayuran dan protein segar. Toko dan warung menawarkan keuntungan lokasi dari pelanggan untuk belanja yang sifatnya tambahan (top-up). Adapun hipermarket menawarkan rekreasi, diskon harga, dan pembelian dengan volume besar.
Meski barang yang dijual relatif sama, model retail tradisional dan modern punya segmen pasar sendiri-sendiri. Ini karena antarkelompok mereka bersaing secara monopolistik dan mampu menarik konsumen. Karena itu kompetisi keras sebenarnya terjadi pada intra-type, yakni sesama hipermarket atau supermarket, dan sesama kelompok pedagang tradisional, seperti sesama toko di pasar tradisional, sesama warung, dan sesama kaki lima, yang tingkat barrier to entry-nya dari segi modal minim.
Sebenarnya musuh utama pedagang di pasar tradisional adalah manajemen pasar yang tidak profesional. Ketidaksinkronan antara insentif para manajer pasar dan keinginan pedagang membuat kedua belah pihak berjalan sendiri-sendiri. Umumnya ini terlihat dari desain pasar, penataan, dan operasionalisasi sehari-hari, seperti kebersihan, berkeliarannya preman, dan pedagang yang berjualan di luar. Akibatnya, manfaat renovasi pasar bagi para pedagang dirasakan kecil, padahal kenaikan retribusi tetap. Selang beberapa waktu, pasar itu pun kembali loyo, kumuh, dan semrawut.
JIKA melihat potensi nilai investasi dan pembukaan lapangan kerja baru oleh hipermarket, sebaiknya pemerintah berhati-hati dalam mengatur model usaha ini. Peraturan zoning bagi hipermarket hendaknya merujuk pada rencana penggunaan tata ruang sebaik mungkin bagi kepentingan publik. Zoning yang restriktif akan menimbulkan masalah perlunya terus merevisi peraturan, seperti yang terjadi di Malaysia. Juga zoning restriktif terhadap hipermarket baru akan memberikan proteksi terselubung pada hipermarket yang sudah ada.
Membatasi hipermarket hanya akan menguntungkan yang sudah ada. Selain itu, pembatasan hipermarket akan mengurangi kompetisi dalam kelancaran distribusi barang yang dapat menahan harga. Dalam kondisi sulit, manfaat ekonomi bagi konsumen, berupa harga kebutuhan yang terjangkau, tidak dapat dianggap sepele.
Karena itulah, ketimbang terlalu mengatur hipermarket, pemerintah hendaknya lebih berfokus pada upaya pemberdayaan pasar dan pedagang tradisional. Bagaimanapun, konsumen akan makin peduli terhadap kenyamanan, pelayanan, dan standar higienis.
Untuk itu, mutlak bagi pasar dan pedagang tradisional yang ingin hidup bisa mengikuti ekspektasi konsumen. Caranya dengan perbaikan prasarana umum pasar tradisional oleh pemerintah, mendorong asosiasi pedagang untuk ikut mengelola pasar, dan adanya insentif bagi swasta untuk mendanai renovasi pasar atau kredit kepada pedagang tradisional. Selain itu, perlu pengenalan manajemen retail bagi pedagang tradisional guna menemukan market niche-nya.
Untuk mempromosikan produk usaha kecil dan lokal, juga harus dipikirkan akses produk mereka ke etalase hipermarket. Yang paling mudah adalah meminta alokasi etalase tertentu bagi usaha kecil dengan biaya etalase (slot-fee) lebih rendah dari yang dikenakan terhadap pemasok besar. Pemerintah daerah juga bisa memajaki hipermarket. Penerimaan ini dapat digunakan untuk memperbaiki prasarana umum pasar dan subsidi pedagang atau produsen kecil lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo