Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUHAMMAD Nasier terisak. Suaranya parau dicekam haru. Senin malam, 29 Desember lalu, sekembali dari Rumah Sakit TNI-AD Lhok Seumawe, koresponden SCTV itu berkumpul bersama sejumlah wartawan di Kantor Biro Harian Waspada di Jalan Pasar Inpres. "Kita gagal. Kita semua wartawan di Aceh telah gagal!" katanya. Nasier sangat terpukul atas kematian Ersa Siregar, reporter senior RCTI yang terbunuh dalam sekapan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bagi dia, Ersa sudah seperti guru dan abang. Ersa memang pintar bergaul. Di sekitar Hotel Vina Vira, Lhok Seumawe, banyak warga yang kenal dengannya. Kadang, seusai salat subuh, Ersa menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar hotel sebelum meliput, dan menyapa orang yang berpapasan dengannya. Tapi rupanya peluru tajam tak mengenal Ersa.
Tepat enam bulan ia bersama kamerawan RCTI Fery Santoro, sopir Rahmansyah, dan dua istri perwira TNI-AU disandera GAM, sejak 29 Juni lalu. Wartawan santun dan rajin beribadah itu akhirnya ditemukan terbunuh. Beberapa luka tembak bersarang di tubuhnya setelah terjadi kontak senjata antara prajurit Marinir dan sejumlah anggota GAM di Desa Alue Matang Aron, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, Senin, 29 Desember, pukul 12.30 WIB.
Menurut Panglima Komando Operasi TNI di Aceh, Brigjen TNI George Toisutta, peristiwa itu berawal dari informasi masyarakat kepada Batalion Marinir-6 Satgas Muara di Pos Simpang Ulim sehari sebelumnya bahwa sekelompok anggota GAM melintasi Kampung Bantaian. Senin dini hari, batalion itu mengirim Tim Flores dan Dwipangga beranggota 13 orang untuk memindai lokasi. Mereka dipimpin Letnan Satu (Mar.) Samson Sihotang.
Dari Keude Tuha, kedua tim berpatroli sejauh 12 kilometer melalui Kampung Bantaian, yang berdekatan dengan Kuala Manihan. Di lokasi ini, mereka menemukan jejak dan menggelar stelling. Siangnya, pasukan menemukan jejak kaki mendaki bibir sungai berlumpur. "Di situ jejaknya makin jelas karena jejak di darat lebih mudah ditemukan daripada di air," kata Wakil Panglima Komando Operasi TNI di Aceh, Brigjen (Mar.) Safzen Noerdin.
Pasukan bergerak lambat sambil merunduk. Namun, baru beberapa ratus meter melangkah, mereka disambut tembakan. Baku tembak berkecamuk di sela kegelapan rawa, pohon nipah, dan semak belukar. Setelah sekitar 20 menit, anggota GAM memilih jurus langkah seribu. Pasukan menemukan dua jenazah. Ketika mengangkat jenazah, para prajurit tak langsung mengenali Ersa karena kondisi fisiknya berubah jauh.
Saat ditemukan, kata Safzen, tubuh Ersa tampak jauh lebih kurus. Cambang memenuhi wajahnya. Di kaki dan pahanya terdapat dua bekas luka lama yang cukup serius. Selain mendapati beberapa senjata dan amunisi, pasukan menemukan kamera merek Sony, kartu pers RCTI milik Ersa, dan beberapa kartu ATM atas nama Ersa dan Fery Santoro. Pasukan akhirnya mengenali Ersa. Mereka sempat mengira satu korban lainnya adalah Fery, tapi ternyata bukan.
Kematian Ersa menyisakan kesedihan bagi keluarga dan handai tolannya. Ribuan warga menyaksikan pemakaman Ersa dari rumah duka di Jalan Raya Tuntang 25, Perumnas II Karawaci, Tangerang, Banten, hingga Tempat Pemakaman Umum Astana Raga II di Kampung Carang Pulang, Desa Medang, Pagedangan-Legok. Istri Ersa, Tuti Komala Bintang, bersama ketiga anaknya tampak berusaha tabah menghadapi musibah ini.
Kesedihan juga merayapi insan pers. Di Jakarta dan daerah, digelar renungan dan ungkapan belasungkawa atas kematian Ersa. Betapa tidak. Ersa adalah korban sipil kesekian dalam konflik Aceh dan korban pertama di kalangan pekerja pers. "Terbunuhnya Ersa merupakan antiklimaks yang tragis bagi profesi jurnalis yang meliput darurat militer," kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen, Eddy Suprapto.
Sementara itu, Koordinator Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Dokter Jose Rizal Jurnalis, malah menuduh tewasnya Ersa akibat penolakan RCTI bekerja sama dengan MER-C. "Mereka tidak care dengan nasib wartawan sendiri," ujarnya. Soalnya, sejak Kamis, 25 Desember, MER-C menjalin kontak dengan GAM untuk meminta pembebasan tawanan, termasuk Ersa.
Menurut Rizal, GAM sepakat membebaskan Ersa hari itu. Namun, mereka mengajukan syarat, Rizal harus datang bersama tim RCTI. Ketika ia memberi tahu RCTI tentang kabar itu, pihak RCTI justru menanggapi dingin. "Seseorang yang mengaku dari Desk Krisis RCTI malah tak bersedia ke Aceh karena telah mempercayakan kasus ini kepada TNI," ujarnya.
Karena punya kontak dengan Ishak Daud, seorang Panglima GAM, pihak RCTI mengaku mendengar kabar Ersa baik-baik saja, sehingga tak perlu dikhawatirkan. Padahal, kata Rizal, MER-C mendapat informasi Ersa terkena malaria. Dari kontak dengan GAM, ia mendapat lampu hijau untuk membebaskan Ersa. Ahad, 28 Desember, dijanjikan oleh GAM, ia dapat menjemput Ersa, tapi gagal. "Alasan mereka (GAM), kondisi tak memungkinkan karena TNI sedang beroperasi," kata Rizal.
Namun Wakil Pemimpin Redaksi RCTI, Atmadji Sumarkidjo, membantah tudingan Rizal. Menurut dia, pembebasan Ersa diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Ia membenarkan bahwa MER-C menghubungi RCTI, dan mereka menyambut baik pihak yang ingin membantu, asalkan berkoordinasi dengan PMI dan TNI. "Kalau PMI setuju, ya, akan kita rundingkan tindak lanjutnya," ujarnya.
Memang telah dilakukan beberapa kali negosiasi untuk membebaskan Ersa dan kawan-kawan. Pihak GAM pernah meminta agar penyerahan tawanan dilakukan melalui perantara Palang Merah Internasional dan media asing. Namun TNI menolaknya. Menurut juru bicara Komando Operasi TNI di Aceh, Letkol Yani Basuki, TNI tetap pada keputusan bahwa GAM harus membebaskan tawanan sipil tanpa syarat.
Rizal juga mempertanyakan penyebab kematian Ersa. Dari laporan anggota MER-C di lapangan, diketahui ada beberapa luka tembak di tubuh Ersa. Luka pertama berjarak dua jari di bawah tulang jakun dan tembus sampai di dekat ketiak kanan. "Itu luka baru, berdiameter lebih dari 1 sentimeter," ujarnya. Luka baru lainnya di dada kanan di sela iga kedua, tembus ke belakang ke arah kiri.
Dari laporan anggotanya, Rizal menduga wartawan RCTI itu ditembak dari jarak yang sangat dekat, dengan senjata laras pendek. Sudut tembakannya pun mencurigakan. "Kemungkinan tembakan berasal dari pihak GAM ataupun TNI," ujarnya. Laporan visum luar ini baru diterima keluarga Jumat lalu.
Sejak awal, TNI sudah mengakui, peluru yang membunuh Ersa berasal dari senjata TNI. Safzen menggambarkan, ketika kontak terjadi, air mulai pasang, medannya sangat sulit, dan jarak pandang kurang dari sepuluh meter. "Peluru tak mengenal siapa-siapa, tak tahu yang ditembus itu wartawan," kata Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu. Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, malah menuding GAM memakai Ersa sebagai tameng hidup.
Sjafrie juga membantah dugaan Rizal bahwa Ersa ditembak dari jarak dekat dengan senjata laras pendek. "Pasukan TNI menembak berdasarkan gerakan dan suara. Kami tidak mengetahui ada warga sipil di dalam kelompok itu," katanya. Sebaliknya, pihak GAM membantah tudingan bahwa Ersa dijadikan tameng hidup. Menurut juru bicara GAM, Sofyan Daud, saat terjadi kontak tembak, Ersa dan Fery tengah membuat film dokumentasi tentang kegiatan anggota GAM. "Ersa terlambat mundur lantaran kakinya luka terkena serempetan peluru beberapa pekan sebelumnya," katanya.
Tapi belakangan muncul klaim GAM, pada saat tembak-menembak sebenarnya Ersa telah menunjukkan tanda pengenalnya dan mengaku dirinya wartawan RCTI. Tapi tembakan tak mengendur hingga akhirnya Ersa tertembak. "Ketika ia jatuh, Fery dan anggota GAM lari," begitu bunyi press release yang dikirim dari Norsborg, Swedia, kepada TEMPO.
Karena kesimpangsiuran itu, berbagai pihak menilai perlunya penyelidikan. Menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Zoemrotin, Komisi Nasional berkepentingan mengusut tragedi yang menewaskan warga sipil di medan perang ini. Selain dilindungi hukum humaniter dalam konvensi Jenewa, kejadian ini akan menjadi preseden buruk bila tidak diungkap ke publik.
Pemerintah pun setuju. "Kami tidak ingin dianggap menyembunyikan sesuatu," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi ia menyarankan agar tim itu juga beranggotakan orang yang mengerti teknik dan taktik pertempuran. TNI sendiri tetap bertekad membebaskan Fery dengan damai.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Zainal Bakri (Lhok Seumawe), TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo